Selasa, 19 Agustus 2014

Filosofi Balon Cita

Lab Komputer, Selasa 17 Juni 2014

www.tempo.co.id
Ah, Hebat bu Cita.
Entah dia bermaksud melakukannya, ataukah kesan ini hanya aku yang menangkap.

Masing-masing kita diberi sebuah balon. Dan kita diperintahkan untuk menuliskan nama masing-masing di balon tersebut. Aku aras-arasen mengikuti titah bu dosen yang entah pendidik entah artis ini. Aku tidak
paham maknanya, tidak tahu maksudnya. Lagipula, dari hampir semua anggota kelas RTV yang membelalakkan perhatiannya, sejak awal aku memang kurang suka pada mata kuliah beliau. apa sebab? Karena aku benci pada hal-hal yang bersifat non-substantif. Otak  idealis supra-rasional pengikut Kantian punyaku menolak mentah-mentah ajaran palsu untuk melakukan hal yang kurang memiliki bobot ilmiah ataupun tak jelas dasar filosofisnya.
Belum jelas. Baru  kepikiran sekarang. Hehe, maaf ya bu...

Kita diperintahkan keluar, berkumpul sejenak di depan kelas. Lalu diperintahkan masuk lalu mengambil balon bertuliskan nama kita sendiri diantara tumpukan balon yang telah dikumpulkan tadi. Anggota kelas ini pun berhamburan berebut mencari balon bertuliskan namanya sendiri. Mau kuumpamakan seperti apa? Ayam yang berebut jagung, atau burung Nasar yang berebut bangkai? Yang manapun yang kalian suka. Aku diam saja di belakang. Melirik bu cita yang senyum-senyum sendiri di meja dosen. Selama ini aku selalu menatap beliau dengan tatapan ngantuk, sekarang baru perhatianku berhasil direbut.
hal-hal seperti inilah yang kusuka, Beyond Perception, hanya pure reason yang bisa menangkap maksudnya. Sesuatu yang... tidak  mungkin kawan-kawanku sadari. Bahwa mereka sedang diamati, Diprediksikan, dan digiring melakukan sesuatu. Dan mereka melakukannya persis seperti yang diinginkan Bu Cita.
Haha, keren bu, anda “membaca” kami, i like it!
Kuambil balonku terakhir bersama punya muhaimin. Dan duduk kembali di belakang. Mereka yang berhasil mengambil balon terlebih dahulu duduk manis penuh kemenangan. Salah! Kita baru saja mempertontonkan tabiat hewani milik kita  yang seharusnya mampu dikendalikan kesadaran “manusiawi” kita sebagai insan yang dibekali sejuta pengetahuan.
******
Aku terus memikirkan episode tersebut hingga hari ini. Sekarang insiden “Berebut Balon” itu sedang terjadi. Tepat di depan mataku.  Benar adanya, bahwa disaat lapar dan membutuhkan, manusia bisa sangat egois. Dalam hal tertentu bisa jada ganas dan brutal. Melebihi hewan. Saking khawatirnya tidak mendapatkan tempat Magang Profesi, teman sekelas bisa saling melempar tatapan curiga. Gumaman sinis berseliweran seperti hantu. Rasan-rasan merebak seperti wabah. Yang satu sudah berlari mencuri start kuatir keduluan yang lainnya, yang sudah punya ancang-ancang menutup mulut rapar-rapat khawatir tempat magangnya direbut orang lain. Yang sudah hampir pasti diterima menegaskan agar jangan ada yang mengajukan lamaran ke tempat yang sama.
Ah, kawan-kawanku....
Seberapa pentingnyakah hal ini hingga kalian mengabaikan asas-asas musyawarah dan pertemanan?

Disudut lab komputer, aku duduk diam. malas berbuat. Memijit-mijit kepalaku sendiri. Mendadak pusing melihat wajah-wajah cantik dan tampan itu tampak seperti burung Nasar. Nasib magangku sendiri embuh! Tadinya mau mebentuk The Dream Team. kelompok hebat yag berisi orang-orang hebat yang akan melakukan hal-hal hebat. Sudah tergambar di otak ini akan melakukan hal ini dan itu. Eh, ternyata para Hero di kelas sudah punya kelompok masing-masing. Aku ditinggalkan. Hebat!, cepat sekali... mau mengajukan lamaran ke salah satunya pun pasti ditolak.   

Hah, embuh!

       

2 komentar :

  1. egois udah kayak basic needs aje, gak egois = tersingkir
    itu yg aku tangkep..
    bisa jadi anda adalah burung nasar yang tidak egois sama sekali

    BalasHapus