Surat Ketujuh, 07 Ramadhan 1434 H.
Untuk, Yulia Pangestuti
La Yastawi al-Qaa’iduna
minal mu’miniina Ghaiyru Uliddarari wal mujaahiduna fi sabiilillahi biamwalihim
waanfusihim. (Q.S. An-Nisa ; 95)
Apa kabar Mb Li, aku
melihatmu setiap hari dari kejauhan. Nampaknya kamu sudah punya kehidupan baru.
dunia baru. yang lebih damai dan menyenangkan. Bersama orang yang penting pula.
Aku masih disini mb li. Dunia yang pernah kita singgahi bersama. Banyak hal
terjadi sejak itu. Banyak perubahan yang kusaksikan. Banyak benih kecil yang
kini jadi pohon rindang banyak pula yang layu tertiup angin.
Aku ingat dulu kamu melancarkan protes keras pada
pengisi forum perihal Shalat Jum’at. Dengan senjata al yaqiinu la yuzalu bi
asy syakh. Sampai hari-hari inipun, karakter itu tak pernah berubah. Keras
dan lantang menyuarakan pendapat. Terutama kalau menyangkut masalah agama. Sang
kekasihpun dibuat pusing kepala menghadapimu yang tanpa tedeng aling-aling. Tak
peduli tempat dan kondisi. Bahkan diapun jadi sasaran amuk argumenmu jika
terbukti bertentangan. Di forum terbuka pula.
Aku suka itu, mb li. sejak dulu.
Menurutmu, aku pintar kan, mb li?
sebenarnya
tidak.
Sebelum berangkat ke kota
ini, Kami, aku dan teman-temanku. Dinyatakan (atau dikutuk) tidak akan membawa
ilmu yang barakah saat meninggalkan gerbang pondok ini. Bisa kamu bayangkan kan
mb li, bagi kita para santri yang rela menjilati tanah demi sebuah kata
Barakah, kalimat diatas mirip pengumuman kiamat. Kerangkeng tebal serasa
mencengkram kaki-kaki kami saat meninggalkan gerbang Pondok Pesantren saat itu.
Terbayang perjuangan berat enam tahun lalu saat kami masih bocah ingusan
memasuki gerbang. Setengah diseret orang tua sambil tak henti-hentinya
menangis. Cuma bisa menggigit kerah baju saat menyaksikan orang tua kami pergi
menjauh. Meninggalkan kami di penjara keras tempat menempa diri ini.
Dan kalimat itu diucapkan oleh guru kami. Seseorang
yang paling kami hormati dan taati.
Sekaligus paling kami benci.
Dulu aku seorang pemuda
yang cerdas. Sebelum jatuh sakit. Sakit itu cukup parah untuk meninggalkan
trauma psikologis yang berkepanjangan. Setelah itu aku merasa kemampuan
berpikirku menguap sama sekali. Keadaan semakin parah karena aku hidup di
Asrama dengan standar tinggi. Ibnu Aqil untuk Ilmu Nahwu, Syarh
Nadzam Maqsud untuk sharraf, Husnus Shiyagah untuk Balaghah. Sullam
Munawaaraq untuk Mantiq. Manna’ul Qatthan untuk Ilmu Tafsir, Al-Wajiz
untuk ushul fiqh, dan sederet kitab-kitab lain yang membuat kepalaku pening
dengan melihatnya saja.
Kesulitan belajarku makin parah mb li. setiap hari,
aku jadi santri terdepan yang merasakan Sabetan Rotan di tanganku setiap ta’lim
dilaksanakan. Karena setiap muthala’ah, Bacaanku tidak pernah benar.
Dewan Asatid menyebutku sebagai Aib asrama. Memalukan dan sebagainya. Berbagai
cara kutempuh. Do’a, Riyadhah, tebusan-tebusan, tak ada yang berhasil. Aku
menyerah dan hidup sebagai pembenci. Jadi sampah asrama.
Aku tidak sendirian, beberapa temanku mengalami nasib
serupa. Mereka tidak seberuntung yang lain. Tidak secerdas yang lain.
Ketidaktahuan menjelma kebosanan, kebosanan jadi kejenuhan, kejenuhan berubah
menjadi penyimpangan, penyimpangan jadi pelanggaran, dan pelanggaran berubah
jadi pemberontakan. Alih-Alih mendapatkan bimbingan dari guru yang kami taati
dan hormati. Kami malah dimusuhi. Dikucilkan di asrama kami sendiri. Kejelekan
kami disebar ke seluruh sekolah agar menjadi contoh yang lain.
Geram aku melihat para ‘Alim ‘Ulama yang pernah
kuanggap ustad itu. Mulai saat itu aku menutup ta’limul muta’allim-ku. Kutanggalkan
mentah-mentah ajaran menghormati guru. Geram hatiku melihat tetesan air mata
mereka yang dipermalukan saat sidang taftisy . geram aku melihat temanku
membenturkan kepalanya ke lemari selepas dikatai qalbul-qashi oleh
kepala asrama. Geram aku melihat langkah gontai murid yang dikeluarkan dari
asrama karena berargumen menentang dewan musyrif.
Mb li, mulai saat itu aku percaya kekuatan
persahabatan. Kalangan cerdas binaan dewan musyrifin itupun ditelan kekecewaan
serupa. Mereka akhirnya merapat pada kami. Demi seorang teman, mereka merelakan
garansi lulus tes taftisy yang diimpikan semua murid. Atau janji
beasiswa study ke Kairo dan Yaman. Kami mulai meninggalkan kitab-kitab kami dan
berdiri menentang dewan Musyrif. Persetan barakah, persetan seandainya
kami masuk neraka. Tidak boleh ada lagi tetes air mata, harapan yang pupus, dan
kepala yang diinjak atas nama Barakah.
Aku keluar dari pesantren diiringi sumpah serapah dan
setumpuk dosa pelanggaran peraturan. Menurut ta’lim, samasekali tidak
ada cahaya ilmu yang pantas ada padaku. Layaknya santri pada umumnya. Tapi aku
bahagia, mengetahui bahwa aku bukan orang culas yang rela mengorbankan sahabat
demi selamat dari pelanggaran. Ibu berkata padaku bahwa seorang sakti pernah
berkata padanya bahwa jiwa putranya gelap. Bala’ pesantren jatuh
padanya. Aku mengangguk membenarkannnya. Itulah aku, ibu.
Tentu ayah
khawatir dengan apa yang akan terjadi kelak dalam hidupku. Beliau menanamkan
semacam piranti lunak dalam diriku. serta sebuah supremasi sebagai seorang
pencari ilmu.
Aku masih ingat, beliau menyebutnya, ‘ilmal mahzum
Itulah aku mb li, seorang ‘Ulid darar, kendati tidak sesuai
dengan konteks ayat diatas. Kelak aku akan berjibaku dengan fitnah. Berlumur
lumpur kesalahan. Berkubang Aib dan Dosa. Karena di semesta ini, harus ada
tanah yang rela diinjak. harus ada malam
yang membuat bintang terlihat terang. Harus ada kotoran yang bisa membuat
sekuntum bunga subur mekar. Harus ada bangkai yang memastikan makhluk lain bisa
makan. Karena ilmu tidak selesai dengan bagaimana kita menjadi pintar. Menghias
diri dengan prestasi-prestasi. Tidak selesai dengan menghafal ribuan ayat dan
hadist. Terjun di forum-forum mematahkan argumen lawan.
Terima
kasih atas pujiannya, Mb li. aku bahagia mengingatnya. Maaf aku cuma segenggam tanah. Kadang ditetesi air sungai
kebijaksanaan, Sering pula dijatuhi kotoran, jadi kuburan bangkai yang menyebarkan
bau busuk ke segala penjuru.
Minggu-minggu
ini, aku masih menanti cahaya ilmal Mahzum itu disorotkan lagi padaku.
Berharap,
aku tahu bagaimana bertindak yang benar, berkata yang benar.
0 komentar :
Posting Komentar