Sabtu, 03 Agustus 2013

Ulul Albabi, Ulid Dharari


Surat Ketujuh, 07 Ramadhan 1434 H.
Untuk, Yulia Pangestuti

La Yastawi al-Qaa’iduna minal mu’miniina Ghaiyru Uliddarari wal mujaahiduna fi sabiilillahi biamwalihim waanfusihim. (Q.S. An-Nisa ; 95)

               
Apa kabar Mb Li, aku melihatmu setiap hari dari kejauhan. Nampaknya kamu sudah punya kehidupan baru. dunia baru. yang lebih damai dan menyenangkan. Bersama orang yang penting pula. Aku masih disini mb li. Dunia yang pernah kita singgahi bersama. Banyak hal terjadi sejak itu. Banyak perubahan yang kusaksikan. Banyak benih kecil yang kini jadi pohon rindang banyak pula yang layu tertiup angin.
                Aku ingat dulu kamu melancarkan protes keras pada pengisi forum perihal Shalat Jum’at. Dengan senjata al yaqiinu la yuzalu bi asy syakh. Sampai hari-hari inipun, karakter itu tak pernah berubah. Keras dan lantang menyuarakan pendapat. Terutama kalau menyangkut masalah agama. Sang kekasihpun dibuat pusing kepala menghadapimu yang tanpa tedeng aling-aling. Tak peduli tempat dan kondisi. Bahkan diapun jadi sasaran amuk argumenmu jika terbukti bertentangan. Di forum terbuka pula.
                Aku suka itu, mb li. sejak dulu.   

                Menurutmu, aku pintar kan, mb li?
sebenarnya tidak.
Sebelum berangkat ke kota ini, Kami, aku dan teman-temanku. Dinyatakan (atau dikutuk) tidak akan membawa ilmu yang barakah saat meninggalkan gerbang pondok ini. Bisa kamu bayangkan kan mb li, bagi kita para santri yang rela menjilati tanah demi sebuah kata Barakah, kalimat diatas mirip pengumuman kiamat. Kerangkeng tebal serasa mencengkram kaki-kaki kami saat meninggalkan gerbang Pondok Pesantren saat itu. Terbayang perjuangan berat enam tahun lalu saat kami masih bocah ingusan memasuki gerbang. Setengah diseret orang tua sambil tak henti-hentinya menangis. Cuma bisa menggigit kerah baju saat menyaksikan orang tua kami pergi menjauh. Meninggalkan kami di penjara keras tempat menempa diri ini.
                Dan kalimat itu diucapkan oleh guru kami. Seseorang yang paling kami hormati dan taati.
                Sekaligus paling kami benci.
Dulu aku seorang pemuda yang cerdas. Sebelum jatuh sakit. Sakit itu cukup parah untuk meninggalkan trauma psikologis yang berkepanjangan. Setelah itu aku merasa kemampuan berpikirku menguap sama sekali. Keadaan semakin parah karena aku hidup di Asrama dengan standar tinggi. Ibnu Aqil untuk Ilmu Nahwu, Syarh Nadzam Maqsud untuk sharraf, Husnus Shiyagah untuk Balaghah. Sullam Munawaaraq untuk Mantiq. Manna’ul Qatthan untuk Ilmu Tafsir, Al-Wajiz untuk ushul fiqh, dan sederet kitab-kitab lain yang membuat kepalaku pening dengan melihatnya saja.
                Kesulitan belajarku makin parah mb li. setiap hari, aku jadi santri terdepan yang merasakan Sabetan Rotan di tanganku setiap ta’lim dilaksanakan. Karena setiap muthala’ah, Bacaanku tidak pernah benar. Dewan Asatid menyebutku sebagai Aib asrama. Memalukan dan sebagainya. Berbagai cara kutempuh. Do’a, Riyadhah, tebusan-tebusan, tak ada yang berhasil. Aku menyerah dan hidup sebagai pembenci. Jadi sampah asrama.     
                Aku tidak sendirian, beberapa temanku mengalami nasib serupa. Mereka tidak seberuntung yang lain. Tidak secerdas yang lain. Ketidaktahuan menjelma kebosanan, kebosanan jadi kejenuhan, kejenuhan berubah menjadi penyimpangan, penyimpangan jadi pelanggaran, dan pelanggaran berubah jadi pemberontakan. Alih-Alih mendapatkan bimbingan dari guru yang kami taati dan hormati. Kami malah dimusuhi. Dikucilkan di asrama kami sendiri. Kejelekan kami disebar ke seluruh sekolah agar menjadi contoh yang lain.
                Geram aku melihat para ‘Alim ‘Ulama yang pernah kuanggap ustad itu. Mulai saat itu aku menutup ta’limul muta’allim-ku. Kutanggalkan mentah-mentah ajaran menghormati guru. Geram hatiku melihat tetesan air mata mereka yang dipermalukan saat sidang taftisy . geram aku melihat temanku membenturkan kepalanya ke lemari selepas dikatai qalbul-qashi oleh kepala asrama. Geram aku melihat langkah gontai murid yang dikeluarkan dari asrama karena berargumen menentang dewan musyrif.   
                Mb li, mulai saat itu aku percaya kekuatan persahabatan. Kalangan cerdas binaan dewan musyrifin itupun ditelan kekecewaan serupa. Mereka akhirnya merapat pada kami. Demi seorang teman, mereka merelakan garansi lulus tes taftisy yang diimpikan semua murid. Atau janji beasiswa study ke Kairo dan Yaman. Kami mulai meninggalkan kitab-kitab kami dan berdiri menentang dewan Musyrif. Persetan barakah, persetan seandainya kami masuk neraka. Tidak boleh ada lagi tetes air mata, harapan yang pupus, dan kepala yang diinjak atas nama Barakah.
                Aku keluar dari pesantren diiringi sumpah serapah dan setumpuk dosa pelanggaran peraturan. Menurut ta’lim, samasekali tidak ada cahaya ilmu yang pantas ada padaku. Layaknya santri pada umumnya. Tapi aku bahagia, mengetahui bahwa aku bukan orang culas yang rela mengorbankan sahabat demi selamat dari pelanggaran. Ibu berkata padaku bahwa seorang sakti pernah berkata padanya bahwa jiwa putranya gelap. Bala’ pesantren jatuh padanya. Aku mengangguk membenarkannnya. Itulah aku, ibu. 
               
                 Tentu ayah khawatir dengan apa yang akan terjadi kelak dalam hidupku. Beliau menanamkan semacam piranti lunak dalam diriku. serta sebuah supremasi sebagai seorang pencari ilmu.
                Aku masih ingat, beliau menyebutnya, ‘ilmal mahzum

                Itulah aku mb li, seorang ‘Ulid darar, kendati tidak sesuai dengan konteks ayat diatas. Kelak aku akan berjibaku dengan fitnah. Berlumur lumpur kesalahan. Berkubang Aib dan Dosa. Karena di semesta ini, harus ada tanah yang rela diinjak.  harus ada malam yang membuat bintang terlihat terang. Harus ada kotoran yang bisa membuat sekuntum bunga subur mekar. Harus ada bangkai yang memastikan makhluk lain bisa makan. Karena ilmu tidak selesai dengan bagaimana kita menjadi pintar. Menghias diri dengan prestasi-prestasi. Tidak selesai dengan menghafal ribuan ayat dan hadist. Terjun di forum-forum mematahkan argumen lawan.     

Terima kasih atas pujiannya, Mb li. aku bahagia mengingatnya. Maaf aku cuma  segenggam tanah. Kadang ditetesi air sungai kebijaksanaan, Sering pula dijatuhi kotoran, jadi kuburan bangkai yang menyebarkan bau busuk ke segala penjuru.

Minggu-minggu ini, aku masih menanti cahaya ilmal Mahzum itu disorotkan lagi padaku.
Berharap, aku tahu bagaimana bertindak yang benar, berkata yang benar.   

















0 komentar :

Posting Komentar