Minggu, 24 Agustus 2014

Anifa

Dok pribadi Anifa Hambali
Dekat Alun-Alun Sidoarjo, Jum’at, aku lupa tanggalnya.

You part of the story... part of the Tale
Baiklah, kamu entah siapa dalam hidupku. Secara pribadi aku tak mengenalmu. Dalam hati aku belum menjadikanmu sebagai temanku. Kalau tidak ada SASEO, kita mungkin tak pernah bicara satu sama lain. Komunikasi diantara kita terjadi masih dalam batas formalitas, meski canda tawa mulai mengalir lepas.”

 “Aku mengenalmu sepintas  lewat deskripsi data-data, bahwa kamu Anifatul Jannah, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, terkenal cerdas dan gesit. Selain itu ada juga Presenter DTV, Pimpinan umum Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas, ratusan karya tulis dan sebuah novel di semester tiga. oh ya, dan merupakan salah satu Duta untuk Asian Network Youth Friendship dalam program pertukaran pelajar, lalu terbang ke Thailand membuat cemburu kawan-kawan atas kejeniusanmu. Sejauh ini pergerakanmu tidak ada yang mengarah ke jalur politik dan tak signifikan bagi konstelasi birokrasi mahasiswa di fakultas jadi yaa... layar interpol-ku mash menandaimu dengan warna putih. Unit netral.”   
“Jadi kamu masih bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa.”
“tapi hari ini, nona... Narasi hidup-ku tertarik untuk mengamatimu.”

That’s what you’ve been doing all this time, right? Chasing the star?

Dia, tentu saja tak dapat mendengar dialogku. Selain  kusetel terlampau lirih, kuyakin dia masih terlalu lemah untuk merespon. Percayalah, dulu aku juga pernah sakit seperti itu. Aku tahu rasanya. Sangat lemah bahkan untuk tersenyum sekalipun butuh kerja keras. Aku kenal betul kawan-kawan bangsal, sprei putih, suara lirih kipas angin dan selang ac, serta tabung infus.
Lamat-lamat kupandangi dia. Cantik? Tidak. Tapi sedap dipandang lama-lama. aneh saja rasanya air muka yang biasanya selalu tegas dan tak mau kalah dalam argumen itu kini memucat pasi menahan sakit. Aku menebak-nebak ekspresi kru solidaritas menyaksikan the Iron Lady-mereka terkulai lemah tak berdaya. Terbayang juga ekspresi dan sepak terjang-nya di kampus. Aku kenal sedikit wanita yang serupa dengannya. 
Tapi kau memang hebat, kawan... kemarin masih saja aku menyangkal kehebatan dan Agilitas-mu. Hari ini aku mencoba mengerti lebih dalam. Kamu memang hebat dalam jalurmu sendiri. Tapi, at the end of the day, kita memang harus bertemu dengan yang namanya batas. Aku merasa pernah sepertimu. Berlari menerjang apa saja demi mengejar layang-layang yang menari di atas horizon. Tak peduli menggilas beling, tersandung batu, jatuh ke selokan, apa yang terjadi pada kaki dan tubuh, mata tetap saja tertancap pada sasaran. Tapi pelajaran terbaik mungkin ada pada saat harus memutuskan, Kapan harus terus mengejar, kapan harus berhenti dan merelakannya.
Aku merasa kita sama. Bocah-bocah yang dilahirkan dan dibuai dengan mimpi, dibesarkan dengan harapan dan do’a-do’a. Lalu berusaha menggenggam dunia dengan tangan mungil kita. Orang tua lainnya akan berusaha keras menyuruh anak-anaknya belajar. Lain orang tuaku yang tak henti menyuruhku mengurangi tensi belajar agar badanku tak jadi korban. Ayahku saja payah memberiku pengertian bahwa kepintaran bukan segalanya. bahwa sedikit saja sudah cukup asalkan barokah. Aku? Tetap saja tumbuh jadi anak ambisius.
Aku merasa pernah sepertimu, mengejar gelimang prestasi dan pujian. Tapi aku telah lama meninggalkan jalan itu. sejak aku mengalami lonjakan Fungsi Liver dengan angka SGPT mencapai 10035 poin, persis seperti yang kau alami saat ini. Aku orang yang berbeda sekarang. Dulu aku merasa hebat dengan memiliki banyak. Sekarang aku merasa puas dengan berbuat banyak. Dulu aku mengejar peringkat dengan mengalahkan lawan-lawan. sekarang aku mengharap derajat karena memikul tanggung jawab. dulu aku senang karena memimpin, tapi sekarang aku bahagia karena bisa melayani. Pada akhirnya, pelajaran tesulit adalah mengenal diri kita, dalam usaha menjadi seorang manusia sejati.
Tidak salah menjadi sepertimu, anifa. Kamu ideal sebagai seorang akademisi. Mungkin salah satu dari aset terbaik kampus kita. Aku percaya setelah ini kamu masih akan terus mendaki. Seperti itulah seharusnya seorang mahasiswi. Menjadi inspirasi bagi orang-orang disekitarnya. Taufiq tidak ada apa-apanya dibanding kamu. But dear, i share your feeling, i share your pain. Aku paham dan meyakini bahwa tidak sepadan kita mengorbankan hak diri kita demi impian.  Apalagi mereka, orang tua dan orang-orang yang menyayangimu. Daripada dirimu,  merekalah yang selama ini menanggung rasa sakit karena mencemaskanmu keadaanmu. Mereka harus susah karena menyayangi dan peduli padamu. Aku yakin, anifa..  sehat dan riangnya dirimu adalah cukup bagi mereka daripada sejuta prestasi di luar sana. Syukur jika kamu bisa memiliki keduanya.



Rest well, mellonamin... the World awaits you...

0 komentar :

Posting Komentar