Gedung SAC,
Jum’at, 6 Juni 2014
The child without a name, grow
up to be a hand,
To watch you, to shield
you, or kill on demand
Seismograf hidup
bergerak dinamis. Tapi tidak akan lama lagi.
Lamat-lamat
kuperhatikan seksama garis lurus yang melintang di telapak tanganku kiriku. itu
Dulu, seorang dukun urut mewanti-wanti ummi agar melarangku menggunakan tangan kiri untuk menyepak
teman-temannku. Waktu itu aku memang kedapatan beberapa kali berkelahi. Dia tak
sadar bisikannya terdengar juga olehku.
“tangannya
mengkel, Nyi.. bisa sakit
temannya. Kalau kena.”
Ummi
tidak pernah menjawabnya selidikanku. Mengkel sendiri aku tak tahu
artinya. Istilah orang dulu. Beliau cuma menegaskan untuk menuruti perintah si
tukang urut. Bersambung. Aku pagi ini sedang duduk sendiri di kantor Lembaga
Pengembangan Kewirausahaan dan Bisnis Islam (LPKBI). Bermesraan dengan hening.
Tetap saja hening meskipun AC sialan itu selalu ribut kalau dihidupkan. Mbak
Sherli dan Nikma harusnya sudah datang. Huaayy, mungkin beberapa menit lagi.
Percayakah
kamu pada ramalan garis tangan? Aku embuh ya. Garis lurus di telapak
tangan ini lazim disebut Simian Line. Konon, cuma 3% dari penduduk dunia yang
memilikinya. Dan aku salah satunya. Aku malas memercayai semua tafsiran tentang
arti garis ini. Semuanya spekulatif dan khayali. Yang aku pahami adalah garis
ini punya arti yang tidak main-main. Seakan rangkaian takdir teruntai di setiap
inchi-nya.
It can be my savior, or the cause of my
destruction
Selama ini aku mampu
membangun hal-hal mengagumkan dengan tangan kananku. Tapi, kawan.. aku mampu
menghancurkan lebih banyak daripada yang mampu aku buat. Ah, aku sebenarnya
enggan mengingat-ingat ini lagi. sejak kecil jadi penyendiri. Karena diriku
memang rawan menghancurkan sesuatu. Piring dan perabotan rumah tak terhitung
lagi. dulu ada satu unit komputer. Baru saja selesai direparasi oleh ayah. Aku
cuma memegangnya sekali, sirkuit power supply-nya langsung
hangus. Spiker masjid bernasib serupa. Terus berlanjut pada tahun-tahun
selanjutnya saat masuk sekolah. OSIS MTsNj masa kepengurusanku dipecat secara
tidak hormat. Program setoran kitab dulu macet toal akibat ulahku. Syukur
Ta’limul Qur’an MORqu berhas kupertahankan. Tapi BES dan BLS MAKnj tak selamat.
Kudengar tak bangkit lagi hingga sekarang.
Aku menyaksikan banyak
hal yang mesti berakhir saat aku didalamnya.
Dan
sekarang, pagi ini juga dengan tangan ini pula, aku akan membunuh organisasi
yang baru lahir ini, once and for all...
Aku
bangkit menuju dispenser mengambil segelas air. Meneggak habis isinya. Lalu
Memain-mainkan gelasnya di atas meja.
Sudah lewat 15 menit. Mereka berdua belum juga datang.
Jadi, menurut kalian apakah aku ini semacam doom
bringer? Seorang yang diutus untuk mencabut untai terakhir dari tenggorokan
sebuah eksistensi untuk kemudian lenyap selamanya? Tapi SASEO memang sudah
sekarat. Dilanjutkan pun sama saja menyiksa diri. UINSA Friday Market produk
unggulannya menderita kerugian defisit yang tidak main-main tiap minggunya.
Semua event-nya tak satupun sukses terlaksana, emm.. ada satu. hijab and
fashion week. Itupun kocar-kacir dihantam hujan deras dan angin.
Ah,
baiklah itu semua cuma kegagalan, sesuatu yang niscaya dari setiap proses.
Perkara defisit keuangan bisa direkayasa biar berbalik untung. Itu kan fungsi
kita dilatih entrepreneurship? Event yang tidak terlaksana karena tak diakui
birokrasi? Tinggal banting setir saja jadi lembaga independen tanpa ikatan ke
kampus. Toh, kampus tidak pernah meberikan apa-apa pada kita. nanti hasilnya
kita nikmati penuh. Tanpa harus lewat ini-itu. Seratus persen jadi milik kita.
guru-guru seratus persen mendukung. Mentor melimpah. Usaha sebesar apapun bisa
dimulai dari nol. Lalu, kenapa mesti bubar?hah? kenapa? Egoismu sendiri? Apa
takut?
“Pyakk...”
gelas aqua kosong tak bersalah itu remuk dihantam kepalanku
“karena
kita telah kehilangan satu hal yang paling penting, militansi dan loyalitas!”
Dan
bagiku tidak perlu berpikir dan melihat terlalu jauh lagi. nasib SASEO tidak
lain selain mati. Aku sendiri, ketua timnya penerus bos haris, akan membunuhnya.
Dan mengakhiri penderitaannya untuk selamanya. Karena ketidakpastian itu selalu
membuat siapapun menderita. Lebih baik tegas sekarang. Daripada terus-terusan la
yamutu wa la yahya. Hidup segan, matipun ogah.
Para
punggawanya entah kemana. Kupanggil buat rapat terakhir saja mereka tidak
merespon. Nampaknya lelah karena makan kecewa mulai dari hari-hari pertama. Aku
paham, setelah ini kawan-kawan tak perlu khawatir lagi. heh, naif sekali tujuh
puluh peserta Pelatihan Pengelolaan Bisnis Jasa itu. Teriak-teriak semangat
berkomitment dan bercita-cita ingin sukses. Mencak-mencak di depan panggung
berlomba merebut perhatian para mentor. Ketemu kesulitan sedikit saja ngacir
entah kemana. Jatuh-jatuhnya tinggal sepuluh orang. But after all, we’are
the great team ever.
“hayo...
ngelamunin siapa..???”
Ah,
mbak sherli sudah muncul rupanya. Diikuti nikma di belakang. Kami bertiga jadi
semakin akrab akhir-akhir ini. Ngobrol berjam-jam diselingi ngakak tak karuan.
Benar tebakanku, cuma mereka bertiga yang hadir. Ok, that should be enough
to--
Keputusan
yang akan aku ambil ini akan mengakhiri semuanya. Ya Allah, tiga bulan ini
sungguh menyenangkan. Aku serasa memiliki keluarga baru. Bos wafa, Bos haris,
mbak sherli, nikma, Riska, Riski, Mbak Nia, Anifa, Sari, Jefri, fadli, Bu
Andre, Bu Wigati, pak Umam dan yang lainnya. Aku seakan terangkat dari kesepian
tahun ‘Amul Hazn ini. Aku menikmati aktivitas “sok ngantor” selama semester
enam ini. Waktu duha yang hening di kantor ini. Siang yang sejuk saat mencuri
waktu tidur, dan sore yang jingga setiap pulang kerja. Dengan keputusanku pagi
ini, semua itu bakal hilang. Tapi terima kasih, tuhan. aku paham ini cuma sebuah fase.
terlebih, fuhh...
Yellowshine Rose, aku tidak akan melihatnya lagi.
“loh.. ayo katanya
rapat..”
“iyo sek mbak cher,
salae telat.. oke ekhm..”
Let the Requiem,
begin...
0 komentar :
Posting Komentar