Sedari
tadi aku rebahan saja di lantai surau ini sambil mengetuk-ngetukkan kunci
sepeda motor. Ada satu jam-an. Kuedarkan sembarangan pandanganku ke pucuk-pucuk
daun. Ujung-ujung ranting dan kanopi. Sinar matahari yang berusaha masuk ke
celah-celah ranting, rusuk-rusuk atap kayu, triplek plafon, lentera ukir khas
jaman baheula yang pitingannya tidak lagi diisi suluh berminyak. Tapi
lampu LED. Dan sepotong papan sirap yang digantung di pintu surau. Diukir ke
dalam bertuliskan “Masjid Sunan Drajat.” Pikiranku berputar keras berusaha
mencerna dan merenungkan sebuah bisikan yang tiba-tiba masuk ke dalam sadar-ku
sore ini;
This
is the grave of a man who is sure to be forgiven by Allah and be granted
happiness by The All-Gracious, the teacher of princess and adviser to sultans
and viziers, friend of the poor and destitute. The great religious teacher:
Malik Ibrahim, renowned for his goodness. May Allah grant His pleasure and
grace, and bring him to heaven. He died on Senin, 12 Rabi' al-Awwal, 822 Hijri.
Wajah
mengantuk, sandal butut yang berbeda kiri dan kananya. Sarung dan surban lusuh,
seperangkat alat bertahan hidup di dalam tas punggung, tasbih melingkar di
pergelangan tangan.
Halaman Masjid
Nasional Al-Akbar Surabaya, 24 Oktober 2014
The 'Asr
Demi masa, sesungguhnya kita
telah merugi...
Awan-awan
merah. Kecil dan tinggi bergerak lambat beriringan di belakang kubah. Mungkin
cemburu karena tidak bisa mengimbangi kecepatan burung-burung yang terbang
pulang ke sarangnya.
So don’t, shed a tear now. Be
thankful, for the time...
Musim-musim
hujan selalu jadi masa-masa yang berat. Di awal kuliah dulu, hampir setiap
sabtu pagi harus kehujanan sepanjang buduran-siorajo-waru-surabaya. Saat-saat
itu hati sedang diradang kelelahan belajar. Plus ketidakpuasan terhadap
berbagai sajian proses yang mesti dijalani.