Peserta
MAPABA sudah berhasil kumasukkan ke kamar dan kusuruh tidur. Aku turun dari
Aula, mengambil Jaket dan mengancingkannya rapat ke tubuh. Berusaha menangkis
serangan dingin udara Puncak Prigen yang mulai turun. Paska rapat panitia OC
yang dramatis berhiaskan tawa dan tangis barusan, Aku penasaran apa saja yang
dilakukan teman-temanku. Terutama pasangan pak ketua dan bu ketua yang jadi
pemeran utamanya. Kuambil posisi agak jauh di seberang jalan depan villa.
Ditemani segelas kopi untuk sekedar pengusir kantuk. Tanahnya tinggi, jadi aku
leluasa memperhatikan dua insan yang saling berpelukan. Erat dan mesra.
Aku berlari sekuat tenaga. Mendaki jalan curam yang menanjak naik itu.
Udara dingin pegunungan selepas matahari tenggelam seakan menjepit paru-paruku.
Tas punggung dan megafon yang kubawa ini seperti menarikku ke bawah. Di
pikiranku Cuma terbayang wajahnya yang menahan sakit. Kudengar sakit seperti itu
bisa membuat seorang perempuan pingsan. Aku tak peduli apapun. Yang penting,
aku bisa menolongnya, aku bisa berbuat sesuatu untuknya. Saat nafas ini seakan
mau habis, villa tempat MOM KPI 2012 terlihat. Aku bersorak dalam hati, sedikit
lagi...Tapi...
Tak ada kata lagi untuk
diucapkan. Airmatanya bahkan tak cukup mewakili suasana haru di tempat itu.
Dadanya sesak naik turun membendung perasaan bahagia. Mungkin ribuan terima
kasih dirasanya tidak akan cukup untuk mewakili perasaannya pada sang kekasih.
Dia hanya dapat mendekat, mengucap permisi dan…
Di Halaman
fakultas ini, Ada dua hal yang mampu membuat darahku berdesir hebat. Satu,
Bendera Kuning yang mengepak tertiup angin. Proud And Glorious. Bangga
aku jadi salah satu Ksatria yang berjuang dibawah naungannya. Bangga mendengar
teriakan ratusan bibit-bibit pejuang yang baru mekar. Bangga akan barisan
teman-temanku. Serta Bangga, menyadari bahwa akulah pemimpin mereka.
Kalau aku, karena mungkin keseringan,
jadi rasanya tidak terlalu menjengkelkan, tidak terlalu sakit, dan tidak
terlalu nyesek. Bahkan datar-datar saja. Dunia ini jadi lebih tentram kalau aku hidup dengan semua orang
yang tidak mempedulikanku. Daripada harus hidup dengan sorot mata dan ribuan
kamera yang tertuju padaku (Halaah… Sok Artis!) Tapi ini lain. Ini adalah salah
satu kind of dicuekin yang
benar-benar bikin stress berat. Mungkin dulu saat Nonik mengirimkan pesan
melalui Rifda yang berbunyi “Gantung,” seperti ini rasanya. Nyesek!
Pernahkah kau sepertiku kawan,saat karir akademikmu demikian lancarnya,
nilaimu tetap stabil di atas angin, organisasimu berjalan dengan baik. Kau
memiliki rasa hormat bawahanmu, dikagumi banyak orang, Berhasil melalui
tahap-tahap pembelajaran yang tak mampu dilakukan orang lain, Dengan prestasi
ini dan itu, Namun saat kau terdiam memikirkannya, kau sadar, Dirimu samasekali
tidak Bahagia?!
For my Beloved Sisters,
Intan Maria Paramitha, Uswatun Chasanah, and Yusrainia Achmada
Abi Marah besar.
Wajar, bayangkan, aku
melewatkan acara Khatmil Qur’an yang Cuma setahun sekali demi acara Reuni
teman-tema alumni SD Dabasah 5. Mengejutkan bagaimana tuhan membawa dan memutar
masa lalumu sebegitu nyatanya. Tepat dihadapan matamu. Disaat-saat seperti ini
pula. Tapi, ini kulakukan demi melihatnya lagi, bertemu dia lagi. Potongan Puzzle
yang hilang dari hidupku.
Dimana bahagiamu diletakkan? Di suatu tempatkah? Pada
sebuah bendakah? Atau pada suatu waktukah? Atau jangan-jangan, pada seseorang?
Lalu, mana yang terbaik bagi kita diantara keempat pilihan diatas?
Pandanganku kabur melihat jalanan
yang berlari di luar jendela. Tekanan darah sudah terlalu lemah untuk sampai ke
saraf mata. Aku bahkan nyaris tak bisa mempertahankan tegak leherku. Horizon
langit berlatar tol juanda bergoyang seperti kapal karam. Meskipun setengah tak
sadar, aku masih bisa melihat dalam remang, sang surya terbit untukku…
Senin
itu penerbitan New News begitu lancarnya. Para pelanggan terpuaskan. Isi berita
semakin bagus. Perwajahan makin apik. Kinerja redaksi sudah mulai teratur.
Usaha kami terseok-seok selama setahun kini mulai membuahkan hasil. Pak Rektor
menerima dengan senyum. Apresiasi datang dari berbagai arah. Popularitas mulai
terkerek naik. Pujian senior pun semakin sering. Bahkan, dekan Fakultas Adab,
menyempatkan diri duduk denganku membincangkan media kami.
Moment indah tak bisa terjadi dua kali. Ini buktinya.
Maunya sih, ingin ngulang masa jalan-jalan seru ke stasiun semut bersama mb
Yus, Pak jendral, mb Mia, dan mb Mir. Eh, ternyata keadaan berubah jadi aneh,
beberapateman tidak menerima telpon
atau smsku. Salah satu alasan mau keluar sama yang lain. Bahkan ada salah
seorang yang entah sengaja atau tidak menonaktifkan Handphone-nya. Loh-loh-loh, onok opo iki...
Apa yang
membuatku sangat bersyukur adalah, aku pernah menjadi bagian dari tempat ini.
Tanah sejuta Barakah. Dibangun oleh para wali allah dan dihuni oleh orang-orang
mulia. Melahirkan para manusia-manusia shaleh yang turut mewarnai dunia. Nah,
rupanya Surabaya sudah berhasil mengubah penampilanku dari seorang santri
menjadi potongan seorang preman. Jadi, tak ada yang melihatku sebagai seorang
alumni. Alih-alih malah seorang pelaku curanmor yang masuk ke Harlah, Ah...
Tanpa
sadar, Kupilih laut sebagai storage dari
semua kenangan dalam hidupku. Semua momen indah dalam hidupku terjadi dekat
laut. satu di pantai ini, Satunya lagi tanjung kodok lamongan. Sedikit di camplong,
siring kemuning dan pasir putih. Termasuk, akhir-akhir ini aku sedang terobsesi
dengan seseorang yang kuibaratkan sebagai “Laut”. (haha, kenapa kebetulan sekali ya?)
Tanpa
sadar, Kupilih laut sebagai storage dari
semua kenangan dalam hidupku. Semua momen indah dalam hidupku terjadi dekat
laut. satu di pantai ini, Satunya lagi tanjung kodok lamongan. Sedikit di camplong,
siring kemuning dan pasir putih. Termasuk, akhir-akhir ini aku sedang terobsesi
dengan seseorang yang kuibaratkan sebagai “Laut”. (haha, kenapa kebetulan sekali ya?)
Jadi, baru-baru ini, tuhan mengacak-acak diriku dengan rentetan
kejadian yang begitu cepat.
otakku yang terlalu lambat tak mampu
mengejar dan mencatat takdir tuhan walau satu bab-pun dalam blog? Tapi baiklah,
ini Edisi Qadha dari semuanya.
Kamis, 21
Juni 2012
Laut
selat Madura yang beriak rupanya melukiskan wajah kakek dengan cukup jelas,
dari dulu, sorot matanya tak pernah berubah, sejak aku lahir, hingga dewasa.
Tatapan yang penuh rasa kebanggaan. Hanya untukku, tidak untuk cucunya yang
lain.
Pagi ini, aku berdiri di lantai 4 fakultas adab, melempar pandangan pada cakrawala baru kota Surabaya yang masih menggeliat naik. Dua puluh tahun, fiq!, Dua Puluh tahun kita berdiri dalam pertarungan ini. Tanganmu sudah terkoyak habis, kakimu sudah gemetar, Hatimu sudah hancur tak berbentuk. Bahumu sudah retak menahan beban.
Ya Allah, aku lelah sekali…
Dua Puluh Tahun, fiq!
Kita menahan rasa sakit itu, Kita simpan Tangisan dalam diam. Mencoba terus bertahan. Kendati harapan sudah lama hilang, tidur dalam gelisah, dikejar mimpi yang terus menyiksa. Impian yang tak henti menguras seluruh energy hidup yang kita miliki. Terkapar dalam penat. Diseret kebingungan, disergap ketidakpastian, dicekam kegelisahan. Tanpa Jeda, Tanpa Henti, Tanpa Akhir
Hanya Mahasiswa yang mampu membangkitkan kekuatan
itu..
People power…
Kami ada di bawah tatapan garang personil
kepolisian anti huru-hara. Mereka berbaris rapi di belakang barikade barbed wire tiga silinder. Tactical shield di tangan kiri,
pentungan di tangan kanan. Pistol berepeluru karet terselip di pinggang.
Dibelakang mereka, disiagakan half –truck yang dilengkapi water cannon. Belum lagi sengatan batara surya diatas kepala kami.
Teman-teman tak pernah membuatku berhenti tertawa, semester dua baru saja berlangsung satu hari, namun serangkaian kejadian lucu sudah terjadi. Mulai dari Iis yang menabrak tempat sampah, Lia dan Anisa yang berdebat masalah “Burung” dengan supardi. Hingga syahrul yang mendadak sakit setelah umpan bola dari kosma menghantam tepat di selangkangannya.
Hatiku
masih berisi sumpah serapah pada Elimarandul-Rithrandril. Hingga tidak begitu
sadar akan pintu yang aku masuki. Baru tatkala masuk ke dalam ruangan yang
samasekali asing itu, Aku tercengang. Ransel melorot saja tanpa terasa.
Langkahku pelan ke tembok yang masih baru itu. Dengan sangat hati-hati
kusentuh.kususurkan jari-jariku disana.
Memang,
Pak Tua, aku tidak mau menafikan ajaran Sayyidina Ali Karramallahu Wajha tentang
lima obat hati. Tapi buat diriku sendiri, aku menetapkan prosedur tambahan.
Mengantisipasi agar tidak kehilangan kontrol seperti waktu pertama kali kena serangan
dulu. Prosedur ini tidak berdasar teori ilmiah manapun. Cuma didapat dari
pengalaman saja. Heh, aku bukan jurusan Psikologi.
Ah,
Banyak omong kau, cepat ke intinya, punggungku mulai sakit menunggu ceritamu
Baiklah Pak Tua, Dia hebat,
kendati tidak seindah senyuman putri Luthien legenda bangsa kalian, diamnya
saja sudah membuatku kecut. Kalau “dia” punya pesona saat tertawa, maka “dia”
punya pesona saat diam.
Judul
diatas diambil dari musik orkestra gubahan Timothy Pinkham. Nadanya enak. Merdu
mendayu, setiap loncatan nadanya seperti menghibur diri ini. Memang
kupersiapkan untuk moment seperti ini. Selalu kudengarkan di bis saat
perjalanan pulang. Sesaat sebelum masuk perbatasan Situbondo-Bondowoso.
Dari
jauh, mereka sudah tampak. Hijau, Tegak, Membisu, garang, magis, misterius dan
diselimuti kabut.
Pernyataan
senada dilontarkan 1400 tahun lalu oleh seorang komandan perang, saat
pasukannya berhasil memenangkan perang ‘Gila’ yang jika dilihat dari sudut
logika manapun, tak mampu mereka menangkan. “Raja’na min jihatil ashgar, ila
jihatil akbar” katanya dengan tegas. Membuat sebagian besar orang di
dekatnya melongo. Itu pernyataan bodoh jika saja tidak diucapkan oleh utusan
terakhir tuhan bagi manusia.
Bus Armada sakti warna hijau melesat diatas di atas
pantura, melahap perlahan kilometer demi kilometer menuju kembali ke Surabaya. Liburan yang
menyenangkan Usai, saatnya berpisah selama satu setengah bulan kedepan. Tiga
hari yang singkat itu, telah berhasil membuat masing-masing hati kami
berkecamuk. Bedanya, ada yang pintar menyembunyikannya dalam tawa keceriaan,
ada yang tidak.
Pilihan
lho ya, Bukan kesempatan untuk memilih. Pilihan tidak harus lebih dari satu.
Kadang apesnya, pilihan itu Cuma ada satu. Dan kita terpaksa memilihnya. Lebih
apes lagi, kadang pilihan ada banyak. Namun kita hanya bisa memilih satu.
Seperti dalam Scene film X-Men First Class, Prof. Charles Xavier yang berusaha
melobi Eric “Magneto” agar tidak jadi
melakukan tindakan yang menyulut perang. Beliau berusaha menjelaskan tentang
pentingnya perdamaian antar umat manusia. Namun Eric memberikan jawaban yang
amat sederhana, namun logis,;“Peace, was
never an Option” . artinya, seandainya dia tidak dituntut untuk
mempertahankan Ras bangsa Mutant dari serangan manusia. Dia akan memilih damai.
Tepat Pukul 14.00 kita sampai di tujuan. Rumah
keluarga besar Lailatur Rasyidah.
Sambutan hangat. Itu yang aku (gag tau kalo temen2) rasakan. Beberapa golongan santun mengucapkan salam,
ada kris yang langsung ke inti permasalahan “LAPAAAAARRRR…!” serunya tanpa
dosa. Coba tebak, tuan rumah langsung berpikir, Habis berapa kilo aku tarlagi
ini? Plak! Ya tuhan, mengapa aku punya teman macam ini?
Masjid Darul Maghfur, Jetak Paciran, 17 Januari 2012
Ini yang membuatku
ditertawakan Yus sampai sekarang.
Rencananya, Sore ini kami mau pergi ke pantai.
Kegiatan bersenang-senang pertama sebelum acara inti ke WBL besok. Sholat ashar dulu, biar tenang dan tidak
dimarahi tuan rumah (Hei.. Lillahi Ta’ala-nya mana?). setelah shalat
ashar kami; Fahmi, Bos Wafa, Bukhori, Farid, Yani dan aku duduk-duduk melepas
lelah di emperan masjid. Entah berkah entah musibah, Sang Muadzin yang melihat
kami, sekelompok pemuda tempat harapan tumpuan masa depan cita-cita estafet
perjuangan penerus nasib nusa bangsa serta agama. mendadak perlu memberi kami
nasihat.
Pasti temen-temen rada jengkel melihat keegoisanku
yang selalu mengajak jalan kaki. Yah, bisa Kupahami. Kalau kaki mulus seindah
punya mereka, eman kalau dimakan panasnya aspal, kalau kakiku ya modelnya udah
seperti ini. Nyaman saja walaupun digoreskan ke beling atawa paku. Tapi mari
kita lihat sisi baiknya.
Masih ingat waktu kita Osjur tempo hari?. Semuanya
serasa begitu spesial saat kita berjalan bersama-sama, bercanda, tertawa,
saling gojlok satu sama lain. Matahari sepanas itu tak mampu membuat kita
kepanasan. Jarak 1,4 KM pun tak terasa. Bukan main-main ini, 1,4 KM! kalau Ussy
di suruh beli tahu sendirian ke pasar yang jauhnya 1,4 KM dari rumahnya, pasti
dia akan segera memonyongkan mulut sambil mengeluarkan kata-kata mutiara
khasnya “Preketek!”
Matahari
yang cerah. Menyambut pagi hari 18 Januari di tahun kiamat (2012, kata film
sih). Sepagi itu selepas dari pantai kami bersiap-siap. (dengan mandi atau
makan).
Nah,
ini dia yang kubilang kalau cewekk-cewek terkena virus Lamanian Dandanitos kronisStadium 4, Lihat kris yang bersikap Qona’ah , menerima apa adanya bau
badannya yang memang sudah segitu. Tak perlu mandi atau ritual lain. Sama
seperti kamar cowok, persiapan tidak segaduh di kamar cewek. Parfum
bersemprotan kesana kemari bagaikan fogging nyamuk demam berdarah. Kerudung
diputar putarkan ke kepala lalu dihiasi dengan bandulan yang bersinar. Jangan
lupa teplak-teplok pipi pakai bedak setebal kira-kira tanggul lumpur lapindo.
Tebak siapa yang paling panik
waktu mendengar kata-kata rumah sakit hantu? Tepat! Icha. Siapa Lagi?.
Sepanjang antrian, kakinya tak henti-henti berjingkat digojlok temen-temen yang
lain. Apalagi mendengar teriakan-teriakan pengunjung lain yang masih di dalam,
maupun yang baru saja keluar. Apalagi dia punya fobia gelap. Haha, dasar anak
mami.
Tiang pancang setinggi kira-kira sepuluh meter.
Tempat duduk. Dan Integrasi rantai katrol didalamnya. Apalagi kalau bukan Drop
zone. Wahana-wahana pemacu adrenalin seperti ini adalah kesukaanku. Mari kita
coba. Sembilan orang pertama yang dapat kesempatan maju lebih dahulu.
Diantaranya Ussy sama Mir yang kulihat di sampingku.
Dengan semangat teman-teman berlari ke pintu wahana
Crazy car, dari namanya saja, aku bisa membayangkan wahana macam apa ini.
Katanya sih, jangan bilang pernah ke WBL kalau belum bisa menaklukkan wahana
ini. Waw, seperti apa ya? Mari langsung kita coba.
Dengan sedikit rasa dendam pada Ahmad Yani yang bikin
aku basah di wahana Tembak taufiq, eh, tembak ikan, kami melangkah pada barisan
wahana terakhir. Letaknya di tepi laut. Walaupun tak setinggi drop zone atau crazy car, wahana-wahana ini
punya tantangan alami tersendiri mengingat letaknya yang tepat berada di sisi
tanjung kodok. Paus dangdut tak terlalu menarik untuk diceritakan. Mari
langsung ke Jet Coaster.
Yah, bagaimanapun keinginan kakek tak bisa dibantah lagi. Walaupun Setumpuk tugas Ketua Angkatan PMII plus kru magang LPM Ara Aita yang nyaris membikin kepala pecah masih kocar-kacir, Tak urung juga aku naik bus kota menuju tanjung perak. Menerobos hujan. Ini kepulanganku yang pertama ke madura semenjak menjadi mahasiswa.