Kamis, 13 November 2014

Farewell, House of Sanctuary

Surabaya, 7 Oktober 2014

Our, day has come. It’s drawn, in the sky...
So don’t, shed a tear now. Be thankful, for the time...

       Musim-musim hujan selalu jadi masa-masa yang berat. Di awal kuliah dulu, hampir setiap sabtu pagi harus kehujanan sepanjang buduran-siorajo-waru-surabaya. Saat-saat itu hati sedang diradang kelelahan belajar. Plus ketidakpuasan terhadap berbagai sajian proses yang mesti dijalani.
Kelak, ketidakpuasan itu berkembang jadi kebencian. Lama sebelum berhasil dimaafkan. Cuacanya dingin dan cepat sekali berubah. Suasananya redup bikin malas dan ngantuk. lips of deceit, darkness surrounding, street, forgotten face, cukup mewakili. Megobati sepi-sepi.
     Kadang kepala seperti mau pecah ingin keluar dari lingkaran dinamika ini. tulisan, penerbitan, deadline, kewajiban belajar serta ketaatan konyol ke seorang pembimbing. Sedang kawan-kawan di seberang, yus, yani, mir, farid, mia, semuanya menawarkan manisnya waktu-waktu bersama dan renyahnya tawa-tawa. Setiap jam yang dihabiskan terasa amat berarti. Kadang ingin keluar dan melompat kesana. Tapi tidak! Jangan sekali-kali berbuat seperti itu. Mereka mungkin syarat-syarat kebahagiaan, Tapi semua dinamika ini adalah syarat-syarat biar aku tumbuh jadi kuat.
      Waktu memutuskan untuk benar-benar melangkah keluar dari pintu rumah KMJ, diikuti langkah bodoh keluar dari rumah besar ARTA, aku baru sadar jalan-jalan basah, panjang, dan sepi menanti di depan, musim hujan akan terasa lebih buruk lagi. lebih dingin dan sepi. Mendung akan menyulap semuanya jadi benar-benar kelabu tak berwarna. Suasanya yang merubah seorang pemberani jadi pengecut. Hati dan semangat bisa mati kapan saja. Saat itu ditemani lonely day, tentative, the last fight, 04.00 AM, dan Not Ready to Die.  
        Even worst.         
       Yah, bagaimanapun masa-masa itu sudah berhasil dilalui. Dan begitulah hidup, seperti perjalanan. Kadang jalannya benar-benar panjang seperti melintasi grand canyon di amerika. Atau jalan yang membelah kaldera Yellowstone. 400 Km melewati tanah tandus tak berpenghuni. Suplai harus benar-benar dihemat. Survival harus benar-benar diperjuangkan. Syukurlah akhirnya di kejauhan ada pom bensin. Cukup untuk re-supply, beli makanan, atau mengistirahatkan tubuh. Bagiku, rumah inilah pom bensin itu. Oase di tengah gurun pasir. Dan pom bensin di tengah yellowstone. Tepat berteduh sementara dari dinginnya hujan dan angin basah.
       Tapi sekali lagi ini adalah pos. Bukan tujuan kita. sebentar lagi kaki harus kembali dilangkahkan. Kulit harus siap lagi menghadapi tusukan tetes-tetes air. Persiapan harus kembali dilakukan.
       Rasanya baru kemarin meninggalkan chamber of griev di selatan sana. Perasaan berat hati waktu itu segera terbalas dengan suasana rumah organisasi yang amat ceria dan semarak di siang hari, Serta aman tenteram malam hari. Tak terasa sekarang harus pindah lagi, menuju etape selanjutnya. Akan dirindukan selalu denting disenchanted di malam hari dan dentuman facade of reality di pagi hari.
      Di rumah ini aku disembuhkan. Dari berbagai luka dan kepedihan. Di rumah ini aku tak pernah kesepian. Karena sahabat-sahabat terbaik selalu menemani siang dan malam. Musim hujan memang selalu jadi masa-masa yang berat, namun aku suka musim hujan di bawah atapnya. Saat menarik selimut berlindung dari segala dingin dan basah. Tertidur lelap di bawah pendaran lilin berharap esok yang cerah saat kita membuka mata. Dari rumah ini insyaallah, hujan akan mulai reda, konflik dan pertentangan mulai padam. Yang layu akan kembali mekar. Yang menangis akan kembali tersenyum.  Dan kendati bukan sebuah puncak kejayaan, aku bersyukur bahwa inilah masa-masa dimana badai telah berlalu. Dan keadaan, di semua sisinya, mulai membaik. Seperti sebuah rekonstruksi molekular.
        Farewell, House of sanctuary!

0 komentar :

Posting Komentar