Surabaya, 7
Oktober 2014
Our, day has come. It’s
drawn, in the sky...
So don’t, shed a tear now. Be
thankful, for the time...
Musim-musim
hujan selalu jadi masa-masa yang berat. Di awal kuliah dulu, hampir setiap
sabtu pagi harus kehujanan sepanjang buduran-siorajo-waru-surabaya. Saat-saat
itu hati sedang diradang kelelahan belajar. Plus ketidakpuasan terhadap
berbagai sajian proses yang mesti dijalani.
Kelak, ketidakpuasan itu berkembang
jadi kebencian. Lama sebelum berhasil dimaafkan. Cuacanya dingin dan cepat
sekali berubah. Suasananya redup bikin malas dan ngantuk. lips of deceit,
darkness surrounding, street, forgotten face, cukup mewakili. Megobati
sepi-sepi.
Kadang kepala seperti
mau pecah ingin keluar dari lingkaran dinamika ini. tulisan, penerbitan,
deadline, kewajiban belajar serta ketaatan konyol ke seorang pembimbing. Sedang
kawan-kawan di seberang, yus, yani, mir, farid, mia, semuanya menawarkan
manisnya waktu-waktu bersama dan renyahnya tawa-tawa. Setiap jam yang
dihabiskan terasa amat berarti. Kadang ingin keluar dan melompat kesana. Tapi
tidak! Jangan sekali-kali berbuat seperti itu. Mereka mungkin syarat-syarat
kebahagiaan, Tapi semua dinamika ini adalah syarat-syarat biar aku tumbuh jadi
kuat.
Waktu memutuskan untuk
benar-benar melangkah keluar dari pintu rumah KMJ, diikuti langkah bodoh keluar
dari rumah besar ARTA, aku baru sadar jalan-jalan basah, panjang, dan sepi
menanti di depan, musim hujan akan terasa lebih buruk lagi. lebih dingin dan
sepi. Mendung akan menyulap semuanya jadi benar-benar kelabu tak berwarna.
Suasanya yang merubah seorang pemberani jadi pengecut. Hati dan semangat bisa
mati kapan saja. Saat itu ditemani lonely day, tentative, the last fight,
04.00 AM, dan Not Ready to Die.
Even worst.
Yah, bagaimanapun
masa-masa itu sudah berhasil dilalui. Dan begitulah hidup, seperti perjalanan.
Kadang jalannya benar-benar panjang seperti melintasi grand canyon di
amerika. Atau jalan yang membelah kaldera Yellowstone. 400 Km melewati tanah
tandus tak berpenghuni. Suplai harus benar-benar dihemat. Survival harus
benar-benar diperjuangkan. Syukurlah akhirnya di kejauhan ada pom bensin. Cukup
untuk re-supply, beli makanan, atau mengistirahatkan tubuh. Bagiku,
rumah inilah pom bensin itu. Oase di tengah gurun pasir. Dan pom bensin di
tengah yellowstone. Tepat berteduh sementara dari dinginnya hujan dan angin
basah.
Tapi sekali lagi ini
adalah pos. Bukan tujuan kita. sebentar lagi kaki harus kembali dilangkahkan.
Kulit harus siap lagi menghadapi tusukan tetes-tetes air. Persiapan harus
kembali dilakukan.
Rasanya baru kemarin
meninggalkan chamber of griev di selatan sana. Perasaan berat hati waktu
itu segera terbalas dengan suasana rumah organisasi yang amat ceria dan semarak
di siang hari, Serta aman tenteram malam hari. Tak terasa sekarang harus pindah
lagi, menuju etape selanjutnya. Akan dirindukan selalu denting disenchanted
di malam hari dan dentuman facade of reality di pagi hari.
Di rumah ini aku
disembuhkan. Dari berbagai luka dan kepedihan. Di rumah ini aku tak pernah
kesepian. Karena sahabat-sahabat terbaik selalu menemani siang dan malam. Musim
hujan memang selalu jadi masa-masa yang berat, namun aku suka musim hujan di
bawah atapnya. Saat menarik selimut berlindung dari segala dingin dan basah.
Tertidur lelap di bawah pendaran lilin berharap esok yang cerah saat kita
membuka mata. Dari rumah ini insyaallah, hujan akan mulai reda, konflik dan
pertentangan mulai padam. Yang layu akan kembali mekar. Yang menangis akan
kembali tersenyum. Dan kendati bukan
sebuah puncak kejayaan, aku bersyukur bahwa inilah masa-masa dimana badai telah
berlalu. Dan keadaan, di semua sisinya, mulai membaik. Seperti sebuah
rekonstruksi molekular.
Farewell, House of
sanctuary!
0 komentar :
Posting Komentar