Kamis, 13 November 2014

Ekspedisi Log 7

Drajat, Paciran, 3 November 2014
Waskita
               
       Sedari tadi aku rebahan saja di lantai surau ini sambil mengetuk-ngetukkan kunci sepeda motor. Ada satu jam-an. Kuedarkan sembarangan pandanganku ke pucuk-pucuk daun. Ujung-ujung ranting dan kanopi. Sinar matahari yang berusaha masuk ke celah-celah ranting, rusuk-rusuk atap kayu, triplek plafon, lentera ukir khas jaman baheula yang pitingannya tidak lagi diisi suluh berminyak. Tapi lampu LED. Dan sepotong papan sirap yang digantung di pintu surau. Diukir ke dalam bertuliskan “Masjid Sunan Drajat.” Pikiranku berputar keras berusaha mencerna dan merenungkan sebuah bisikan yang tiba-tiba masuk ke dalam sadar-ku sore ini;

        Waskita!

      
Artinya? aku tidak tahu, lha wong aslinya memang bukan orang jawa. Tapi cukup sering kudengar di syi’ir-syi’ir, manakib, maulid-maulid. Di beberapa amalan juga disebut. Tanpo waton juga menyebutnya. “iku wejangan.. guru waskita.” Sebelum ini, bukan sesuatu yang penting. baru sekarang menyita total seluruh Kernel Memory di otakku.
                Aku bangkit, merasa jika akan segera pusing kalau terus-terusan rebahan sambil berpikir. Mengedarkan pandang ke sekitar kompleks makam. Daripada situs Sunan Giri dan Sunan Gresik. Kukira, kompleks ini yang paling kuat mempertahankan bentuk aslinya pada jaman Sunan Drajat. Tempatnya tidak terlalu tinggi, aneh juga kenapa kok diberi nama ndalem dhuwur, mungkin ada kaitan dengan kompleks sendang dhuwur di barat sana. Level tertinggi tanahnya adalah tempat masjid atau mushalla atau surau ini berdiri. Seolah memang didesain sebagai pusat dari seluruh kompleks. Dari emperannya saja seluruh kompleks yang hampir semuanya ditutupi makam ini terlihat jelas. Di depan sana ada sumur, mungkin dulu dibuat berwudhu para santri sebelum mengaji. Sekarang jadi sumur barokah yang airnya dijual botolan. Di kanan, ada beberapa bekas bangunan, sebagian dipugar jadi kamar mandi umum. Sebagian dibiarkan begitu saja. Mungkin itu asrama para santri. Di depan surau, ada sebatang pohon beringin dan museum dirian pemerintah daerah Lamongan.
                Dan surau ini, Joglo panggung bentuknya, asli arsitektur Jawa Kuna. Seluruhnya dibuat dari kayu berpelitur coklat mengkilat. Aku membayangkan dulu para santri bekumpul melingkar di bawah atapnya. Mengelilingi guru mereka yang sedang mendaras tafsir atau tashawwuf. Nyamuk menggigiti, angin dingin menggelitiki. Dibawah penerangan lampu minyak yang-katanya-bisa merusak mata. Tapi aneh kan, orang dulu ndak ada yang sampai pakai kacamata. Nah, itulah orang dulu. Lain orang sekarang. Pantat gatal saja sudah jadi alasan kuat berhenti belajar.
                Mengapa mereka jadi hebat? Karena guru merekapun bukan orang sembarangan. Mereka bukan sedang melingkari Sarjana, Magistra, Taruna, Tamtama, atau Perwira. Mereka berguru dengan seorang waskita. Sebuah model pendidikan yang teramat sulit ditemukan di zaman serba berorientasi industri macam ini.
                Dalam opiniku, Raden Qosim adalah seorang sosiolognya lamongan, lain dengan Sunan Gresik yang teknokrat dan sunan giri yang politikus-mistikus. Pengetahuannya tentang laut, gelombang, cuaca, dan jenis-jenis ikan mungkin hanyalah semacam entry baginya untuk merebut kepercayaan masyarakat pesisir paciran. Komitmentnya yang paling utama adalah pendidikan dan konstruk sosial. katanya, mendidik itu adalah Mènèhana teken marang wong kang wuta, menunjukkan jalan pada orang-orang yang buta. Mènèhana mangan marang wong kang luwé, ajarkan bagaimana mencari makan bagi orang yang lapar.  Mènèhana busana marang wong kang wuda, Ajarilah bagaimana sopan santun dan kesusilaan pada orang yang telanjang. Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan dan ajarkan bagaimana menemukan perlindungan bagi orang yang kehujanan.
                Benar-benar tak habis pikir, betapa arah pendidikan yang selama ini kita jalani anjlok dari rel kebijaksanaan. Tak heran jutaan manusia jenius dilahirkan, namun menjadi tak lebih dari manusia satu-dimensi seperti kata Mark Horkheimer. Hanya jadi budak modernitas yang dilempar di pabrik-pabrik. Otak mereka yang cemerlang tak sedikitpun membawa kebaikan terhadap sesama manusia. Adanya malah semakin memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan. Berjuta manusia jenius lahir, sebanyak itulah kerusakan dan korupsi akan timbul. Jauh lebih besar skalanya daripada yang dilakukan oleh sekumpulan orang bodoh. berjuta teknologi baru diciptakan, secepat itu pulalah kita akan didorong menuju kiamat peradaban. Karena mereka telah lupa, karena kita telah lupa, bahwa mendidik manusia sejati, tidak sesempit mendidik seorang pekerja.
“Ah, biar saja, mungkin nanti juga ketemu artinya.” Gumamku sambil melangkah menuju pesarean. Ritual terakhir sebelum hari Asyura Berakhir beberapa jam lagi.
Cuma lingkaran-lingkaran itu, yang masih kapabel dalam menghasilkan manusia-manusia unggul yang nyambung antara otak dan hatinya. Dan syukurnya, aku sedikit dari anak-anak muda yang masih sempat nututi. Merasakan pendidikan dalam lingkaran-lingkaran  temaram itu. Seperti kataku. Orang hebat tidak lahir dari keluarga sejahtera makanan enak lingkungan bersih. Begitupun mendidik-cetak seorang manusia sejati tidak cukup dengan model-model canggih yang ditawarkan sekolah-sekolah modern masa kini.  Orang-orang hebat lahir dari pesantren, tempat sempit pengap temaram yang serba kurang. kurang makan kurang tidur kuran layak kurang penerangan kurang wawasan. Yang kadang secara kejam diidentikkan dengan penjara, tempat orang tua menjebloskan anaknya yang sudah tak kuat lagi untuk dididik.
Dan sekarang, entah tinggal berapa lingkaran yang masih menyala di bumi ini.
                Baiklah, pulang dari sini, kita akan cari dan temukan arti kata itu..
Kita diperintah untuk belajar, sejak dalam ayunan hingga ke liang lahat, kata orang-orang supaya pintar. Kelak bisa jadi dokter atau pejabat. Namun, kemudian kita sadar pintar saja tidak cukup. Kita harus cerdas. Mampu menggunakan kepintaran itu untuk menecahkan masalah dan membantu kita dalam setiap kesulitan. Itupun tak cukup, kitapun harus tumbuh menjadi bijak. Mampu menggunakan kemampuan-kemampuan itu dengan cara yang terpuji, dengan porsi yang sesuai, juga demi tujuan yang bernilai.
Pintar, cerdas, bijaksana, indera dan pikiran telah menyala. kitapun dituntut sering-sering berlatih, supaya kuat, sakti, dan digdaya. Kemudian menggunakan semuanya untuk meraih hal-hal yang diimpikan di dunia. Menjadi kaya, masyhur dan ternama.

Namun hari ini, terma-terma diatas tak akan lagi kuperhatikan, karena ternyata, dalam proses mencapai cita-cita luhur ini, tidak cukup, pandai, cerdas dan bijaksana. kita harus terus mendaki hingga meraih Waskita.

Aut vaniam inveniam aut faciam!
I’ll either find a way or make one!

  

0 komentar :

Posting Komentar