Waskita
Sedari
tadi aku rebahan saja di lantai surau ini sambil mengetuk-ngetukkan kunci
sepeda motor. Ada satu jam-an. Kuedarkan sembarangan pandanganku ke pucuk-pucuk
daun. Ujung-ujung ranting dan kanopi. Sinar matahari yang berusaha masuk ke
celah-celah ranting, rusuk-rusuk atap kayu, triplek plafon, lentera ukir khas
jaman baheula yang pitingannya tidak lagi diisi suluh berminyak. Tapi
lampu LED. Dan sepotong papan sirap yang digantung di pintu surau. Diukir ke
dalam bertuliskan “Masjid Sunan Drajat.” Pikiranku berputar keras berusaha
mencerna dan merenungkan sebuah bisikan yang tiba-tiba masuk ke dalam sadar-ku
sore ini;
Waskita!
Aku
bangkit, merasa jika akan segera pusing kalau terus-terusan rebahan sambil
berpikir. Mengedarkan pandang ke sekitar kompleks makam. Daripada situs Sunan
Giri dan Sunan Gresik. Kukira, kompleks ini yang paling kuat mempertahankan
bentuk aslinya pada jaman Sunan Drajat. Tempatnya tidak terlalu tinggi, aneh
juga kenapa kok diberi nama ndalem dhuwur, mungkin ada kaitan dengan
kompleks sendang dhuwur di barat sana. Level tertinggi tanahnya adalah tempat
masjid atau mushalla atau surau ini berdiri. Seolah memang didesain sebagai
pusat dari seluruh kompleks. Dari emperannya saja seluruh kompleks yang hampir
semuanya ditutupi makam ini terlihat jelas. Di depan sana ada sumur, mungkin
dulu dibuat berwudhu para santri sebelum mengaji. Sekarang jadi sumur barokah
yang airnya dijual botolan. Di kanan, ada beberapa bekas bangunan, sebagian
dipugar jadi kamar mandi umum. Sebagian dibiarkan begitu saja. Mungkin itu
asrama para santri. Di depan surau, ada sebatang pohon beringin dan museum
dirian pemerintah daerah Lamongan.
Dan
surau ini, Joglo panggung bentuknya, asli arsitektur Jawa Kuna.
Seluruhnya dibuat dari kayu berpelitur coklat mengkilat. Aku membayangkan dulu
para santri bekumpul melingkar di bawah atapnya. Mengelilingi guru mereka yang
sedang mendaras tafsir atau tashawwuf. Nyamuk menggigiti, angin dingin
menggelitiki. Dibawah penerangan lampu minyak yang-katanya-bisa merusak mata.
Tapi aneh kan, orang dulu ndak ada yang sampai pakai kacamata. Nah, itulah
orang dulu. Lain orang sekarang. Pantat gatal saja sudah jadi alasan kuat
berhenti belajar.
Mengapa
mereka jadi hebat? Karena guru merekapun bukan orang sembarangan. Mereka bukan
sedang melingkari Sarjana, Magistra, Taruna, Tamtama, atau Perwira. Mereka
berguru dengan seorang waskita. Sebuah model pendidikan yang teramat sulit
ditemukan di zaman serba berorientasi industri macam ini.
Dalam
opiniku, Raden Qosim adalah seorang sosiolognya lamongan, lain dengan Sunan
Gresik yang teknokrat dan sunan giri yang politikus-mistikus. Pengetahuannya tentang
laut, gelombang, cuaca, dan jenis-jenis ikan mungkin hanyalah semacam entry baginya
untuk merebut kepercayaan masyarakat pesisir paciran. Komitmentnya yang paling
utama adalah pendidikan dan konstruk sosial. katanya, mendidik itu adalah Mènèhana
teken marang wong kang wuta, menunjukkan jalan pada orang-orang yang buta. Mènèhana
mangan marang wong kang luwé, ajarkan bagaimana mencari makan bagi orang
yang lapar. Mènèhana busana marang
wong kang wuda, Ajarilah bagaimana sopan santun dan kesusilaan pada orang
yang telanjang. Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan dan ajarkan
bagaimana menemukan perlindungan bagi orang yang kehujanan.
Benar-benar
tak habis pikir, betapa arah pendidikan yang selama ini kita jalani anjlok dari
rel kebijaksanaan. Tak heran jutaan manusia jenius dilahirkan, namun menjadi
tak lebih dari manusia satu-dimensi seperti kata Mark Horkheimer. Hanya jadi
budak modernitas yang dilempar di pabrik-pabrik. Otak mereka yang cemerlang tak
sedikitpun membawa kebaikan terhadap sesama manusia. Adanya malah semakin
memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan. Berjuta manusia jenius lahir,
sebanyak itulah kerusakan dan korupsi akan timbul. Jauh lebih besar skalanya
daripada yang dilakukan oleh sekumpulan orang bodoh. berjuta teknologi baru
diciptakan, secepat itu pulalah kita akan didorong menuju kiamat peradaban.
Karena mereka telah lupa, karena kita telah lupa, bahwa mendidik manusia
sejati, tidak sesempit mendidik seorang pekerja.
“Ah,
biar saja, mungkin nanti juga ketemu artinya.” Gumamku sambil melangkah menuju
pesarean. Ritual terakhir sebelum hari Asyura Berakhir beberapa jam lagi.
Cuma
lingkaran-lingkaran itu, yang masih kapabel dalam menghasilkan manusia-manusia
unggul yang nyambung antara otak dan hatinya. Dan syukurnya, aku sedikit
dari anak-anak muda yang masih sempat nututi. Merasakan pendidikan dalam
lingkaran-lingkaran temaram itu. Seperti
kataku. Orang hebat tidak lahir dari keluarga sejahtera makanan enak lingkungan
bersih. Begitupun mendidik-cetak seorang manusia sejati tidak cukup dengan model-model
canggih yang ditawarkan sekolah-sekolah modern masa kini. Orang-orang hebat lahir dari pesantren,
tempat sempit pengap temaram yang serba kurang. kurang makan kurang tidur kuran
layak kurang penerangan kurang wawasan. Yang kadang secara kejam diidentikkan
dengan penjara, tempat orang tua menjebloskan anaknya yang sudah tak kuat lagi
untuk dididik.
Dan sekarang, entah
tinggal berapa lingkaran yang masih menyala di bumi ini.
Baiklah,
pulang dari sini, kita akan cari dan temukan arti kata itu..
Kita diperintah untuk
belajar, sejak dalam ayunan hingga ke liang lahat, kata orang-orang supaya
pintar. Kelak bisa jadi dokter atau pejabat. Namun, kemudian kita sadar pintar
saja tidak cukup. Kita harus cerdas. Mampu menggunakan kepintaran itu untuk
menecahkan masalah dan membantu kita dalam setiap kesulitan. Itupun tak cukup,
kitapun harus tumbuh menjadi bijak. Mampu menggunakan kemampuan-kemampuan itu
dengan cara yang terpuji, dengan porsi yang sesuai, juga demi tujuan yang
bernilai.
Pintar, cerdas, bijaksana,
indera dan pikiran telah menyala. kitapun dituntut sering-sering berlatih,
supaya kuat, sakti, dan digdaya. Kemudian menggunakan semuanya untuk meraih
hal-hal yang diimpikan di dunia. Menjadi kaya, masyhur dan ternama.
Namun
hari ini, terma-terma diatas tak akan lagi kuperhatikan, karena ternyata, dalam
proses mencapai cita-cita luhur ini, tidak cukup, pandai, cerdas dan bijaksana.
kita harus terus mendaki hingga meraih Waskita.
Aut vaniam inveniam
aut faciam!
I’ll either find a
way or make one!
0 komentar :
Posting Komentar