Martajasah,
25 Oktober 2014
Total Pilgrimme
Wajah
mengantuk, sandal butut yang berbeda kiri dan kananya. Sarung dan surban lusuh,
seperangkat alat bertahan hidup di dalam tas punggung, tasbih melingkar di
pergelangan tangan.
Attahiyyatul
mubarakatus shalawatut thayyibatu lillah..
Perkenalkan, aku
seorang Pilgrim...
Martajasah kuyakin
juga seramai ini seabad yang lalu. Saat Syaikhona Kholil bin Abd. Latif masih
hidup. diramaikan oleh deru semaan al-Qur’an, manakib, nadzam dan shalawat.
Pertama kali sampai ke tempat ini, dulu bersama mendiang anum Habibi. Waktu itu
aku masih kecil. Belum kenal akan legenda grand master yang konon adalah
guru bagi sebagian besar pendiri pesantren-pesantren besar di Jawa Timur ini.
cerita-cerita hebat menyelimuti sejarah
hidupnya yang didendangkan dalam sebuah kidung berbahasa madura. Kidung itu
sering diputar di kantin Bahax PP. Nurul Jadid. Jadi teman sarapan sebelum
berangkat sekolah. Belum lagi yang beredar di majelis-majelis taklim. Konon
beliau pernah membentak sebidang tanaman cabai karena tak kunjung memerah
matang. Seketika itu juga cabai-cabai itu matang. Kebanyakan mistis dan ajaib.
Tapi kini, saat mengetahui konstruk sosial, warisan intelektual dan
kebijaksanaan, pemikiran dan sepak terjangnya, kekagumanku malah semakin
melambung. Jauh diatas cerita-cerita mistis tadi.
Beliau yang
menginisiasi konferensi ‘ulama yang kelak melahirkan jami’iyah Nahdlatul
‘Ulama. Beberapa kiai muda melapor pada beliau bahwa the danger is imminent.
Ada bahaya mendekat. Lebih bahaya dari meriam belanda dan pistol jepang.
Namun ini bahaya akidah. Bahwa ada sekelompok orang yang baru datang dari
mekkah. Mengeluarkan fatwa bahwa wirid setelah sholat tidak perlu lagi.
melarang do’a qunut. Dan mengharamkan tahlil. Beliau dengan gaya kharismatiknya,
mengeluarkan pernyataan tegas, mistis, khas para waliyullah kelas satu. “yuriidu
ay yuthfi’a kalaamallaha biafwahihim!.”
Sekarang Martajasah
sudah megah. Dibangun oleh Bupati Bangkalan RKH. Fuad Amin. Dulu, masjidnya
masih seukuran kecil. Dikelilingi rumah-rumah dan bangunan tak bertuan.
Jedingnya masih asli. Hanya satu deret khusus para santri. Sekarang masjidnya
lantai dua. Kubahnya hijau dengan dua menara. Halamannya luas. Deret pemandian
besar juga disediakan bagi para pengunjung. Ada minimarket. Juga sentra PKL.
Souvenir berjejer sepanjang jalan. Halaman parkir yang nyaris mengalahkan
terminal kota bangkalan. Martajasah sudah berubah. Tapi gelombang kharismatik
Syaikhona Kholil, still engulfs the area...
Jam 08.32
Selepas melaksanakan
ritual wajib di depan pesarean, sambil sedikit-sedikit selfie secara kurang
ajar di depan makam, Kurebahkan tubuh di di emperan masjid. Menatap langit di
samping atap masjid. Menikmati semilir angin pagi. Menikmati kesunyian di
tengah keramaian ini. mungkin ini sedikit saja dari nikmatnya pengalaman Hulul
yang dirasakan oleh Hasan al-Banna. Diajarkan oleh Syaikh Abdul Jalil.
Kusempatkan melihat
keramaian para pengunjung. Wajah mereka riang. Sumringah. Tua, muda, anak
kecil, laki-laki dan perempuan. Bersama rombongan, keluarga, kolega, kelompok
pengajian, rekan sekantor, atau mungkin pasangan. Hanya aku yang tak punya
kelompok. Aneh memang terasa, namun mereka sepertinya tak satupun
menghiraukanku. Bahkan keamanan masjid. Mereka berlalu saja disampingku. Begitupun
rombongan jama’ah-jama’ah itu. Mereka melaluiku seperti air melalui batu. Aku
seperti makhluk tak terlihat.
Yah, mungkin itulah
filosofi seorang peziarah. Karena sesungguhnya kita semua peziarah di dunia
ini. digambarkan dalam Al-Hikam seorang
yang sadar akan kesementaraan dunia dan keabadian akhirat adalah anak dagang,
yang mampir di sebuah negeri, mencari bekal bakal pulang nanti. Begitu
dagangannya habis, ia akan segera kembali. Dan anak gembala, yang menunggui
domba-dombanya di padang rumput. Ia sadar domba-domba itu bukan miliknya, hanya
dititipkan. Begitu selesai, domba-domba itu akan segera diambil oleh
pemiliknya, dan ia cukup senang dengan beberapa keping upah.
Hulul, adalah
saat kita kembali pada hakikat dasar kita sebagai seorang peziarah. Miskin tak
punya apa-apa, asing tak dikenal. Suatu saat tuhan memang meletakkan kita dalam
keadaan kita memiliki segalanya. kehidupan yang indah, kawan –kawan yang
menyenangkan. Kehormatan dan kebesaran, cinta dan kasih sayang. Tapi, ada suatu
saat pula, dimana kita harus sadar bahwa semua bisa begitu cepat hilang. Dan
kita kembali pada hakikat dasar, debu yang diterbangkan angin. Asing di tanah perantauan. Dan, itulah yang
diajarkan tuhan pagi ini padaku.
Kuputar langkah menuju
gerbang pesarean. Saatnya kembali
ke Surabaya.
Untuk menjadi seorang
peziarah, kawanku, melangkah masuk ke ruangan Audiensi tuhan, kamu perlu lepas,
lepas dari segala keduniawian yang menyertaimu, lepas dari beban dan
nomenklatur yang dilekatkan padamu, lepas dari semua ingatan akan orang-orang
disekitarmu. Miskinlah! Asinglah! Karena itulah dirimu akan menjadi suci. Tanpa
beban dan noda. Seperti Nabi kita SAW yang dibedah dan disucikan di air
Zam-Zam. Untuk kemudian diundang ke sidratul muntaha untuk brifing
perintah sholat.
Miskinlah kawan!,
asinglah! Siapa tahu, kita dikaruniai kesempatan mengunjungi ruangan Audiensi,
tempat kita bisa mengintip sang pencipta. Seperti Idris, Isa, dan Muhammad SAW
Qulna Ya idriisa..
Fahla’ Na’layka! Fainna hadzal makaanil Muqaddasi tuwa...
0 komentar :
Posting Komentar