Kamis, 13 November 2014

Ekspedisi Log 3

Martajasah, 25 Oktober 2014
Total Pilgrimme
Wajah mengantuk, sandal butut yang berbeda kiri dan kananya. Sarung dan surban lusuh, seperangkat alat bertahan hidup di dalam tas punggung, tasbih melingkar di pergelangan tangan. 
Attahiyyatul mubarakatus shalawatut thayyibatu lillah..
Perkenalkan, aku seorang Pilgrim...

               
Martajasah kuyakin juga seramai ini seabad yang lalu. Saat Syaikhona Kholil bin Abd. Latif masih hidup. diramaikan oleh deru semaan al-Qur’an, manakib, nadzam dan shalawat. Pertama kali sampai ke tempat ini, dulu bersama mendiang anum Habibi. Waktu itu aku masih kecil. Belum kenal akan legenda grand master yang konon adalah guru bagi sebagian besar pendiri pesantren-pesantren besar di Jawa Timur ini.
 cerita-cerita hebat menyelimuti sejarah hidupnya yang didendangkan dalam sebuah kidung berbahasa madura. Kidung itu sering diputar di kantin Bahax PP. Nurul Jadid. Jadi teman sarapan sebelum berangkat sekolah. Belum lagi yang beredar di majelis-majelis taklim. Konon beliau pernah membentak sebidang tanaman cabai karena tak kunjung memerah matang. Seketika itu juga cabai-cabai itu matang. Kebanyakan mistis dan ajaib. Tapi kini, saat mengetahui konstruk sosial, warisan intelektual dan kebijaksanaan, pemikiran dan sepak terjangnya, kekagumanku malah semakin melambung. Jauh diatas cerita-cerita mistis tadi.
Beliau yang menginisiasi konferensi ‘ulama yang kelak melahirkan jami’iyah Nahdlatul ‘Ulama. Beberapa kiai muda melapor pada beliau bahwa the danger is imminent. Ada bahaya mendekat. Lebih bahaya dari meriam belanda dan pistol jepang. Namun ini bahaya akidah. Bahwa ada sekelompok orang yang baru datang dari mekkah. Mengeluarkan fatwa bahwa wirid setelah sholat tidak perlu lagi. melarang do’a qunut. Dan mengharamkan tahlil. Beliau dengan gaya kharismatiknya, mengeluarkan pernyataan tegas, mistis, khas para waliyullah kelas satu. “yuriidu ay yuthfi’a kalaamallaha biafwahihim!.”
Sekarang Martajasah sudah megah. Dibangun oleh Bupati Bangkalan RKH. Fuad Amin. Dulu, masjidnya masih seukuran kecil. Dikelilingi rumah-rumah dan bangunan tak bertuan. Jedingnya masih asli. Hanya satu deret khusus para santri. Sekarang masjidnya lantai dua. Kubahnya hijau dengan dua menara. Halamannya luas. Deret pemandian besar juga disediakan bagi para pengunjung. Ada minimarket. Juga sentra PKL. Souvenir berjejer sepanjang jalan. Halaman parkir yang nyaris mengalahkan terminal kota bangkalan. Martajasah sudah berubah. Tapi gelombang kharismatik Syaikhona Kholil, still engulfs the area...
Jam 08.32
Selepas melaksanakan ritual wajib di depan pesarean, sambil sedikit-sedikit selfie secara kurang ajar di depan makam, Kurebahkan tubuh di di emperan masjid. Menatap langit di samping atap masjid. Menikmati semilir angin pagi. Menikmati kesunyian di tengah keramaian ini. mungkin ini sedikit saja dari nikmatnya pengalaman Hulul yang dirasakan oleh Hasan al-Banna. Diajarkan oleh Syaikh Abdul Jalil.
Kusempatkan melihat keramaian para pengunjung. Wajah mereka riang. Sumringah. Tua, muda, anak kecil, laki-laki dan perempuan. Bersama rombongan, keluarga, kolega, kelompok pengajian, rekan sekantor, atau mungkin pasangan. Hanya aku yang tak punya kelompok. Aneh memang terasa, namun mereka sepertinya tak satupun menghiraukanku. Bahkan keamanan masjid. Mereka berlalu saja disampingku. Begitupun rombongan jama’ah-jama’ah itu. Mereka melaluiku seperti air melalui batu. Aku seperti makhluk tak terlihat.
Yah, mungkin itulah filosofi seorang peziarah. Karena sesungguhnya kita semua peziarah di dunia ini.  digambarkan dalam Al-Hikam seorang yang sadar akan kesementaraan dunia dan keabadian akhirat adalah anak dagang, yang mampir di sebuah negeri, mencari bekal bakal pulang nanti. Begitu dagangannya habis, ia akan segera kembali. Dan anak gembala, yang menunggui domba-dombanya di padang rumput. Ia sadar domba-domba itu bukan miliknya, hanya dititipkan. Begitu selesai, domba-domba itu akan segera diambil oleh pemiliknya, dan ia cukup senang dengan beberapa keping upah.
Hulul, adalah saat kita kembali pada hakikat dasar kita sebagai seorang peziarah. Miskin tak punya apa-apa, asing tak dikenal. Suatu saat tuhan memang meletakkan kita dalam keadaan kita memiliki segalanya. kehidupan yang indah, kawan –kawan yang menyenangkan. Kehormatan dan kebesaran, cinta dan kasih sayang. Tapi, ada suatu saat pula, dimana kita harus sadar bahwa semua bisa begitu cepat hilang. Dan kita kembali pada hakikat dasar, debu yang diterbangkan angin.  Asing di tanah perantauan. Dan, itulah yang diajarkan tuhan pagi ini padaku.
Kuputar langkah menuju gerbang pesarean.  Saatnya kembali ke Surabaya.
Untuk menjadi seorang peziarah, kawanku, melangkah masuk ke ruangan Audiensi tuhan, kamu perlu lepas, lepas dari segala keduniawian yang menyertaimu, lepas dari beban dan nomenklatur yang dilekatkan padamu, lepas dari semua ingatan akan orang-orang disekitarmu. Miskinlah! Asinglah! Karena itulah dirimu akan menjadi suci. Tanpa beban dan noda. Seperti Nabi kita SAW yang dibedah dan disucikan di air Zam-Zam. Untuk kemudian diundang ke sidratul muntaha untuk brifing perintah sholat.
Miskinlah kawan!, asinglah! Siapa tahu, kita dikaruniai kesempatan mengunjungi ruangan Audiensi, tempat kita bisa mengintip sang pencipta. Seperti Idris, Isa, dan Muhammad  SAW

Qulna Ya idriisa.. Fahla’ Na’layka! Fainna hadzal makaanil Muqaddasi tuwa...







                

0 komentar :

Posting Komentar