Candle, Lantern, and Torch
Keajaiban
tidak datang dari dunia peri,
ia datang dari giri kedaton,
Seram
dan tua.
Dibangun tujuh tingkat, oleh seorang berjubah coklat.
Akankah
aku jadi seperti itu?
Membayangkannya, aku
dirasuki kebanggaan. Juga sedikit ngeri.
Tapi, seaneh dan
sekaku apapun ayah, toh, ia tetap punya istri.
Yah, putri campa
mungkin terbaring disini. Entah dalam keikhlasan, sadar penuh ia tidak salah
mencintai seorang missionary man meski tanpa balas, ataukah dalam rintih
panjang akan cinta yang layu tak bersambut. Apapun itu, aku tidak setuju jika
Raden Paku yang disalahkan. Aku tahu benar apa yang beliau hadapi saat membabat
giri kedaton yang dikenal sebagai alas culas tak berperadaban, baik wong
kasar maupun wong alusnya sama-sama ganas tak ramah pada
pendatang. Putri Campa? Hanya seorang anak bangsawan vietnam yang jatuh cinta
pada integritas pria yang dikenalnya. Jadi apa yang salah? Risalahnya? Yang
benar saja, masyarakat pedalaman gresik
itu tak mungkin lepas dari tahayul jika Sunan Ampel tidak mengirim putranya.
Putri
campa hanyalah sebuah lilin. Lilin yang jatuh cinta pada sebuah obor. Jika ia
terpisah, ia akan redup dan padam, jika berhasil menyatu, ia akan terbakar. Dan
si Obor itu, adalah Ainul Yakin, Alias
Joko Samudro, Alias Prabu Satmoto, Alias Raden Paku, Alias Kanjeng Susuhunan
Giri, Putra Raden Ali Rahmatullah. Kobarnya menghidupkan tanah tandus desa
giri. Nyalanya menerangi pesisir utara Gresik. Namanya menggaung hingga ke
seantero negeri.
Even today, Giri kedaton masih
memancarkan imej seramnya saat kukunjungi. Lebih seram dari pesarean Sunan
Ampel dan Sunan Gresik. Makam sunan giri terletak di puncak bukit. Dicapai
melalui tangga batu sepanjang seratus meteran. Di kiri kanan penuh makam. Ada
gapura khas jaman kuna yang dijaga dua patung monster mirip ular naga.
Aku dan linor sempat seperti orang bodoh memutari lokasi parkir wisata mencari
dimana gerangan makamnya. Ealah ternyata masih sekitar 300an meter dari situ.
Sampai di desa giri, barulah skema historis dakwah Sunan Giri yang kubaca dari
buku-buku mulai sedikit demi sedikit menjelma menjadi nyata.
Desa ini terhampar
sepanjang lereng bukit. Tanahnya kutebak pasti tandus. sebagian besar ditumbuhi
rumput liar dimana-mana. Daerah kebomas ini agaknya memang daerah gersang. What
kind of people kira-kira yang tinggal di tempat ini saat beliau datang.
Masyarakat yang temperamen, berbudaya mistik. terpencil dan terisolir akibat
ketidakmerataan kebijakan pembangunan kerajaan
majapahit yang mulai keropos pasca perang paregreg. Terlalu jauh dari
kutaraja, terlalu jauh untuk dijangkau
karesidenan surabaya, juga terlalu jauh dari binaan kadipaten tuban. Minim
akses transportasi air dan sulit dijangkau lewat darat. Tradisi Hindu-Buddha
cukup untuk membentuk cara hidup mereka, namun tak cukup efektif untuk masalah
ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itulah, saat Sunan Giri
datang dengan tatanan dan sistem, masyarakat disini mulai takluk ke pangkuan
islam. desa Giri semakin ramai pasca
berdirinya pesantren Giri. Orang-orang dari luar jawa bahkan berduyun-duyun
datang. Pesantren ini kelak berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang
diperhitungkan. Lalu berkembang lagi menjadi sebuah kerajaan. Giri Kedaton
namanya. Kerajaan ini adalah kerajaann-nya para santri. Para sasmita, para
waskita. Tegak berdiri sampai puluhan tahun hingga runtuh oleh mataram di
kemudian hari.
Dan..... masih banyak
hal yang bisa dikagumi di situs ini. unsur mistisnya, kenangan sejarahnya,
warisan budayanya. Tapi waktu sudah sore, saatnya kembali ke surabaya. Aku
melangkah menuruni tangga menuju valinor yang dijaga bapak parkir desa giri
yang baik hati. tahun depan semoga bisa kesini lagi. amin
Keajaiban
kawan, tidak selalu datang dari tempat indah bertabur bunga. Pun demikian,
orang-orang hebat tak lahir dari keluarga sejahtera makanan enak lingkungan
bersih, kadang dari tempat-tempat tandus dan gersang inilah orang-orang itu
lahir. Apakah mereka abadi? Tidak! Kebal senjata? Bisa terbang? Juga tidak!
Sakti mandraguna? Mungkin tidak! Merekapun lahir, hidup, dan mati seperti kita.
kadang menangis dan tertawa seperti biasanya. Apa yang membuat mereka hebat adalah
pilihan hati mereka. Mereka memilih sajadah yang keras daripada kasur yang
empuk. Memilih berpuasa saat kebanyakan yang lain berpesta pora. Memilih derma
saat yang lain berlomba menjadi kaya.
Apa yang membuat
mereka hebat adalah saat mereka memutuskan untuk hidup tidak hanya untuk
kebahagiaan diri sendiri. Mereka memutuskan untuk menjadi lilin. Atau tidak
hanya sekedar lilin, tapi sebuah lentera, atau lebih dari itu sebuah obor yang
menjadi suluh perjuangan, pengobar kebajikan. Dan seharusnya, itulah pilihan yang
harus—setiap laki-laki—ambil dalam hidupnya.
Pada
akhirnya, kesaktian para wali yang utama, adalah perubahan yang mereka
ciptakan, serta warisan yang mereka tinggalkan.
Nah,
kauputuskan jadi apakah dirimu?
Lilin,
Lentera, ataukah Obor?
0 komentar :
Posting Komentar