Kamis, 13 November 2014

Ekspedisi Log 5

Giri Kedaton, 25 Oktober 2014
Candle, Lantern, and Torch
               
 Keajaiban tidak datang dari dunia peri, 

ia datang dari giri kedaton,
Seram dan tua. 
Dibangun tujuh tingkat, oleh seorang berjubah coklat.
         Omong-omong tentang cinta, apa kira-kira yang ada dipikiran Raden Paku saat mengacuhkan Putri Campa yang jelas-jelas menaruh hati padanya. Adakah memang suatu ketika, saat seorang laki-laki telah dibebani risalah maha berat, Ditempeli ketaatan dijejali dedikasi dicekik loyalitas, perlahan hatinya akan mengeras. Matanya akan tegak lurus ke depan. Dan ia tak mampu lagi merasakan kasih sayang, indahnya cinta, jelitanya bunga-bunga, dan manisnya gula-gula?.
                Akankah aku jadi seperti itu?
Membayangkannya, aku dirasuki kebanggaan. Juga sedikit ngeri.
Tapi, seaneh dan sekaku apapun ayah, toh, ia tetap punya istri.
               
Yah, putri campa mungkin terbaring disini. Entah dalam keikhlasan, sadar penuh ia tidak salah mencintai seorang missionary man meski tanpa balas, ataukah dalam rintih panjang akan cinta yang layu tak bersambut. Apapun itu, aku tidak setuju jika Raden Paku yang disalahkan. Aku tahu benar apa yang beliau hadapi saat membabat giri kedaton yang dikenal sebagai alas culas tak berperadaban, baik wong kasar maupun wong alusnya sama-sama ganas tak ramah pada pendatang. Putri Campa? Hanya seorang anak bangsawan vietnam yang jatuh cinta pada integritas pria yang dikenalnya. Jadi apa yang salah? Risalahnya? Yang benar saja, masyarakat  pedalaman gresik itu tak mungkin lepas dari tahayul jika Sunan Ampel tidak mengirim putranya.
                Putri campa hanyalah sebuah lilin. Lilin yang jatuh cinta pada sebuah obor. Jika ia terpisah, ia akan redup dan padam, jika berhasil menyatu, ia akan terbakar. Dan si Obor itu, adalah Ainul Yakin,  Alias Joko Samudro, Alias Prabu Satmoto, Alias Raden Paku, Alias Kanjeng Susuhunan Giri, Putra Raden Ali Rahmatullah. Kobarnya menghidupkan tanah tandus desa giri. Nyalanya menerangi pesisir utara Gresik. Namanya menggaung hingga ke seantero negeri.
                 Even today, Giri kedaton masih memancarkan imej seramnya saat kukunjungi. Lebih seram dari pesarean Sunan Ampel dan Sunan Gresik. Makam sunan giri terletak di puncak bukit. Dicapai melalui tangga batu sepanjang seratus meteran. Di kiri kanan penuh makam. Ada gapura khas jaman kuna yang dijaga dua patung monster mirip ular naga. Aku dan linor sempat seperti orang bodoh memutari lokasi parkir wisata mencari dimana gerangan makamnya. Ealah ternyata masih sekitar 300an meter dari situ. Sampai di desa giri, barulah skema historis dakwah Sunan Giri yang kubaca dari buku-buku mulai sedikit demi sedikit menjelma menjadi nyata.
Desa ini terhampar sepanjang lereng bukit. Tanahnya kutebak pasti tandus. sebagian besar ditumbuhi rumput liar dimana-mana. Daerah kebomas ini agaknya memang daerah gersang. What kind of people kira-kira yang tinggal di tempat ini saat beliau datang. Masyarakat yang temperamen, berbudaya mistik. terpencil dan terisolir akibat ketidakmerataan kebijakan pembangunan  kerajaan majapahit yang mulai keropos pasca perang paregreg. Terlalu jauh dari kutaraja,  terlalu jauh untuk dijangkau karesidenan surabaya, juga terlalu jauh dari binaan kadipaten tuban. Minim akses transportasi air dan sulit dijangkau lewat darat. Tradisi Hindu-Buddha cukup untuk membentuk cara hidup mereka, namun tak cukup efektif untuk masalah ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itulah, saat Sunan Giri datang dengan tatanan dan sistem, masyarakat disini mulai takluk ke pangkuan islam.  desa Giri semakin ramai pasca berdirinya pesantren Giri. Orang-orang dari luar jawa bahkan berduyun-duyun datang. Pesantren ini kelak berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang diperhitungkan. Lalu berkembang lagi menjadi sebuah kerajaan. Giri Kedaton namanya. Kerajaan ini adalah kerajaann-nya para santri. Para sasmita, para waskita. Tegak berdiri sampai puluhan tahun hingga runtuh oleh mataram di kemudian hari.
Dan..... masih banyak hal yang bisa dikagumi di situs ini. unsur mistisnya, kenangan sejarahnya, warisan budayanya. Tapi waktu sudah sore, saatnya kembali ke surabaya. Aku melangkah menuruni tangga menuju valinor yang dijaga bapak parkir desa giri yang baik hati. tahun depan semoga bisa kesini lagi. amin
                Keajaiban kawan, tidak selalu datang dari tempat indah bertabur bunga. Pun demikian, orang-orang hebat tak lahir dari keluarga sejahtera makanan enak lingkungan bersih, kadang dari tempat-tempat tandus dan gersang inilah orang-orang itu lahir. Apakah mereka abadi? Tidak! Kebal senjata? Bisa terbang? Juga tidak! Sakti mandraguna? Mungkin tidak! Merekapun lahir, hidup, dan mati seperti kita. kadang menangis dan tertawa seperti biasanya. Apa yang membuat mereka hebat adalah pilihan hati mereka. Mereka memilih sajadah yang keras daripada kasur yang empuk. Memilih berpuasa saat kebanyakan yang lain berpesta pora. Memilih derma saat yang lain berlomba menjadi kaya.
Apa yang membuat mereka hebat adalah saat mereka memutuskan untuk hidup tidak hanya untuk kebahagiaan diri sendiri. Mereka memutuskan untuk menjadi lilin. Atau tidak hanya sekedar lilin, tapi sebuah lentera, atau lebih dari itu sebuah obor yang menjadi suluh perjuangan, pengobar kebajikan. Dan seharusnya, itulah pilihan yang harus—setiap laki-laki—ambil dalam hidupnya.

Pada akhirnya, kesaktian para wali yang utama, adalah perubahan yang mereka ciptakan, serta warisan yang mereka tinggalkan.

Nah, kauputuskan jadi apakah dirimu?
Lilin, Lentera, ataukah Obor?

  


0 komentar :

Posting Komentar