Rabu, 15 Oktober 2014

Cinta, dan Ideologi (2)

Tretes, 27 Oktober 2014
              
Kita hidup di masa yang dikatakan Weber sebagai Value-Leden

Karena kadang-kadang nilai keadilan, kesetaraan, penegakan asas-asas, disiplin, intoleransi serta konsistensi dan kontinuitas terlalu mahal untuk ditegakkan.
Dilema selalu menghadang. Menegakkannya tanpa pandang bulu beresiko pecahnya pertengkaran. Kita harus megesampingkan persahabatan dan siap terasing sebagai pahlawan kesiangan. Membiarkan setiap pelanggaran asas dengan alasan toleransi akan menyebabkan tumpulnya hukum. Benar semuanya rukun, namun kita tetap saja terasing sebagai pemegang teguh prinsip-prinsip, namun tak mampu mewujudkannya dalam lingkungan yang kolusif dan penuh toleransi kebablasan.
       Akhirnya semua diam, memilih berada di titik terbawah dari spiral of silence. Semuanya menjaga jarak. Lebih baik tidak berteman daripada nanti punya musuh. Lebih baik tidak bicara takut salah. Lebih baik dibiarkan saja takut nanti membikin masalah yang lebih besar. Aku menyesal, kadang-kadang tidak bisa setegas Abu Bakar Khalifatu Rasulullah saat memerangi kaum murtad dan membentak kepala suku bani Ghatafan yang menolak mebayar zakat. Dia, waktu itu, tak sedikitpun berpikir untuk menukar perintah agama demi persatuan. Apapun resikonya. Shadaqta, ya khalifata rasulillah!
Tidak ada yang istimewa dari Villa balai diklat PWNU jatim ini. selain tempatnya yang pucuk sendiri. Mengalahkan villa puncak prigen. Selain lokasi yang terisolir, juga terkenal akan keangkerannya yang, aku dan kawan-kawanku sendiri telah membuktikannya. Bangunannya lantai tiga. namun tidak akan terlihat dari akses utama tretes-pandaan, bahkan orang tidak akan menyangka di ujung jalan kecil yang menghilang dibaik belukar itu ada villa berlantai tiga. dulu sering dipakai untuk pelatihan-pelatihan oleh berbagai lembaga. Lalu ditinggal selama bertahun-tahun karena salah pengelolaan. Aku dan angkatanku semasa menjadi Organizing Comitte (OC) yang memakainya kembali untuk pertama kali. Yah, kuakui itu MAPABA paling horor yang pernah ada.

Disini tertulis ; keseimbangan hati seorang pemimpin.
Itu saat aku mash seorang pemuda yang resah akan pilihan antara cinta dan ideologi. Terkadang aku keras mempertahankan asas-asas. Namun, disaat lain juga dilemahkan oleh perasaan diri sendiri. Pilihan apa yang kupunya? Menjadi dingin tak berhati namun teguh menegakkan prinsip-prinsip? Ataukah menjadi lembut dan terlalu lemah hingga nilai-nilai dinodai? Mungkin itulah mengapa kini tuhan mencabut matriks kepemimpinan yang pernah ditanamkannya pada diriku dahulu. Karena aku selalu saja bimbang dengan pilihan-pilihan itu.
kini kepribadian hebat itu seakan tak tersisa. Aku tinggal sendiri. Di puncak tebing ini. menatap hampa ke kejauhan. Selalu melamunkan kemana perginya Mar’atus Shalihah, Shard of Prominence-ku. Era kemunculannya saat kita dituntut untuk arif terhadap kemasyhuran yang kita miliki. Kemana perginya Khairatun Nisa, Shard of Endurance-Ku, Era kemunculannya saat kita dituntut untuk selalu tahan menghadapi tekanan di masa-masa kewajiban kita. kemana perginya Yusrainia Achmada, era kemunculannya saat kita dituntut untuk bijaksana menyikapi kehilangan. Dan kemana perginya Nur Istiqamah, Shard of Allegiance-Ku. Kemunculannya saat kita dituntut untuk selalu setia. Mulai dari puncak kejayaan dahulu, hingga lubang kehinaan hari ini.
Aku tidak pernah lupa. Aku tidak pernah diam menyikapinya.
Mereka kini hilang. Hilang dari kehidupanku. Menjadi tak lebih dari bayang-bayang yang aku sendiri berusaha percaya mereka pernah ada. Tapi biarlah, semangat dan pelajaran yang diberikan bersamaan dengan mereka tetap kuat tertanam dalam diriku. Aku insaf dan sadar bahwa selamanya hati seorang pemimpin selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan pelik. Biarlah daun layu gugur karena terlalu lama terpapar matahari. Biarlah pohon mengering karena terlalu lama menaungi. Ideologi-ideologi besar itu selalu harus ditegakkan dengan harga mahal. Perlu hati yang cukup kuat dengan jiwa yang kokoh tempat mereka bisa bersemayam. Maka ide-ide besar tak akan mati. Manusia-manusia hebat tak akan berhenti lahir. Dan arus-arus perubahan akan tetap mengalir.
Kelak jika satu hati seorang pemimpin mati, ideologi-ideologi besar itu tetap akan menemukan tempatnya kembali. Di hati yang lain.  Yang cukup kuat dan mau berkorban, untuk menegakkan asas-asas. Menjunjung nilai-nilai.

Sembari mengatupkan tangan di depan dada. Aku menghadapkan diri pada seluruh villa. Wadah besar organisasi. Dan orang-orang yang mati-matian mempertahankannya di bawah sana. Berusaha mengetuk pintu langit dengan sisa-sisa kesalehan yang entah masih ada. Chanting...
Semoga spirit tetap terwarisi. Semoga keberanian akan tetap terwakili. Semoga ideologi-ideologi besar itu tetap tegak dan hidup. meskipun demi itu, banyak hal yang harus layu dan mati.

Cinta dan ideologi,
dua arus besar yang memompa darah di pembuluh nadi.

        

how can blood be our salvation?
and justify the pain that, we've been cost trough all... the time,
will i learn what truly sacred, 
will i redeem my soul.
will truth, set me free.

0 komentar :

Posting Komentar