Kita
hidup di masa yang dikatakan Weber sebagai Value-Leden
Karena kadang-kadang nilai keadilan,
kesetaraan, penegakan asas-asas, disiplin, intoleransi serta konsistensi dan
kontinuitas terlalu mahal untuk ditegakkan.
Dilema selalu menghadang.
Menegakkannya tanpa pandang bulu beresiko pecahnya pertengkaran. Kita harus
megesampingkan persahabatan dan siap terasing sebagai pahlawan kesiangan.
Membiarkan setiap pelanggaran asas dengan alasan toleransi akan menyebabkan
tumpulnya hukum. Benar semuanya rukun, namun kita tetap saja terasing sebagai
pemegang teguh prinsip-prinsip, namun tak mampu mewujudkannya dalam lingkungan
yang kolusif dan penuh toleransi kebablasan.
Akhirnya semua diam,
memilih berada di titik terbawah dari spiral of silence. Semuanya
menjaga jarak. Lebih baik tidak berteman daripada nanti punya musuh. Lebih baik
tidak bicara takut salah. Lebih baik dibiarkan saja takut nanti membikin
masalah yang lebih besar. Aku menyesal, kadang-kadang tidak bisa setegas Abu
Bakar Khalifatu Rasulullah saat memerangi kaum murtad dan membentak kepala suku
bani Ghatafan yang menolak mebayar zakat. Dia, waktu itu, tak sedikitpun
berpikir untuk menukar perintah agama demi persatuan. Apapun resikonya.
Shadaqta, ya khalifata rasulillah!
Tidak ada yang
istimewa dari Villa balai diklat PWNU jatim ini. selain tempatnya yang pucuk
sendiri. Mengalahkan villa puncak prigen. Selain lokasi yang terisolir, juga
terkenal akan keangkerannya yang, aku dan kawan-kawanku sendiri telah
membuktikannya. Bangunannya lantai tiga. namun tidak akan terlihat dari akses
utama tretes-pandaan, bahkan orang tidak akan menyangka di ujung jalan kecil
yang menghilang dibaik belukar itu ada villa berlantai tiga. dulu sering
dipakai untuk pelatihan-pelatihan oleh berbagai lembaga. Lalu ditinggal selama
bertahun-tahun karena salah pengelolaan. Aku dan angkatanku semasa menjadi
Organizing Comitte (OC) yang memakainya kembali untuk pertama kali. Yah, kuakui
itu MAPABA paling horor yang pernah ada.
Disini tertulis ;
keseimbangan hati seorang pemimpin.
Itu saat aku mash
seorang pemuda yang resah akan pilihan antara cinta dan ideologi. Terkadang aku
keras mempertahankan asas-asas. Namun, disaat lain juga dilemahkan oleh
perasaan diri sendiri. Pilihan apa yang kupunya? Menjadi dingin tak berhati
namun teguh menegakkan prinsip-prinsip? Ataukah menjadi lembut dan terlalu
lemah hingga nilai-nilai dinodai? Mungkin itulah mengapa kini tuhan mencabut
matriks kepemimpinan yang pernah ditanamkannya pada diriku dahulu. Karena aku
selalu saja bimbang dengan pilihan-pilihan itu.
kini kepribadian hebat
itu seakan tak tersisa. Aku tinggal sendiri. Di puncak tebing ini. menatap
hampa ke kejauhan. Selalu melamunkan kemana perginya Mar’atus Shalihah, Shard
of Prominence-ku. Era kemunculannya saat kita dituntut untuk arif terhadap
kemasyhuran yang kita miliki. Kemana perginya Khairatun Nisa, Shard of
Endurance-Ku, Era kemunculannya saat kita dituntut untuk selalu tahan
menghadapi tekanan di masa-masa kewajiban kita. kemana perginya Yusrainia
Achmada, era kemunculannya saat kita dituntut untuk bijaksana menyikapi
kehilangan. Dan kemana perginya Nur Istiqamah, Shard of Allegiance-Ku.
Kemunculannya saat kita dituntut untuk selalu setia. Mulai dari puncak kejayaan
dahulu, hingga lubang kehinaan hari ini.
Aku tidak pernah lupa.
Aku tidak pernah diam menyikapinya.
Mereka kini hilang.
Hilang dari kehidupanku. Menjadi tak lebih dari bayang-bayang yang aku sendiri
berusaha percaya mereka pernah ada. Tapi biarlah, semangat dan pelajaran yang
diberikan bersamaan dengan mereka tetap kuat tertanam dalam diriku. Aku insaf
dan sadar bahwa selamanya hati seorang pemimpin selalu dihadapkan pada
pilihan-pilihan pelik. Biarlah daun layu gugur karena terlalu lama terpapar
matahari. Biarlah pohon mengering karena terlalu lama menaungi.
Ideologi-ideologi besar itu selalu harus ditegakkan dengan harga mahal. Perlu
hati yang cukup kuat dengan jiwa yang kokoh tempat mereka bisa bersemayam. Maka
ide-ide besar tak akan mati. Manusia-manusia hebat tak akan berhenti lahir. Dan
arus-arus perubahan akan tetap mengalir.
Kelak jika satu hati
seorang pemimpin mati, ideologi-ideologi besar itu tetap akan menemukan
tempatnya kembali. Di hati yang lain.
Yang cukup kuat dan mau berkorban, untuk menegakkan asas-asas.
Menjunjung nilai-nilai.
Sembari mengatupkan
tangan di depan dada. Aku menghadapkan diri pada seluruh villa. Wadah besar
organisasi. Dan orang-orang yang mati-matian mempertahankannya di bawah sana.
Berusaha mengetuk pintu langit dengan sisa-sisa kesalehan yang entah masih ada.
Chanting...
Semoga spirit tetap
terwarisi. Semoga keberanian akan tetap terwakili. Semoga ideologi-ideologi
besar itu tetap tegak dan hidup. meskipun demi itu, banyak hal yang harus layu
dan mati.
Cinta dan ideologi,
dua arus besar yang
memompa darah di pembuluh nadi.
will i learn what truly sacred,
will i redeem my soul.
will truth, set me free.
0 komentar :
Posting Komentar