Halaman Masjid
Nasional Al-Akbar Surabaya, 24 Oktober 2014
The 'Asr
Demi masa, sesungguhnya kita
telah merugi...
Awan-awan
merah. Kecil dan tinggi bergerak lambat beriringan di belakang kubah. Mungkin
cemburu karena tidak bisa mengimbangi kecepatan burung-burung yang terbang
pulang ke sarangnya.
Para awan itu, Kemana kiranya mereka bergerak? Ke
sarangkah seperti para burung. Atau menuju belahan bumi yang lain yang lebih
menjanjikan terang? Berlari dari kejaran gelap yang menyeruak dari timur. Hidup
ini siklus, katanya. Tapi mengapa semuanya punya akhir? Jawabannya adalah
karena siklusnya tak berbentuk lingkaran tertutup, namun seperti sebuah spiral.
Punya ujung punya pangkal. Awan-awan itu bebas mengejar terang. Lain kita
manusia, kalau memang sudah waktunya gelap, gelaplah. Kalau sudah waktunya
mati, matilah...
“sebelas menit lagi...”
Waktu kecil kita
sering didongengkan tentang Batara Kala. Dan dunia yang berjalan diatas
penggaris. Dewa besar berwujud monster mengerikan ini dengan keperkasaannya
menarik dunia tempat kita tinggal dan seluruh kehidupan di dalamnya menuju ke
satu titik; Kehancuran. Hutan, gunung, laut, batu dan tumbuh-tumbuhan semua
ditariknya tanpa kecuali. Yang tegak dirontokkannya, yang kuat dirapuhkannya,
yang muda dituakannya. yang segar dibuatnya layu, dan yang hidup dibuatnya
sekarat. Tak ada yang mampu melawan kehendak sang batara. Semuanya pasrah saja
diseret menuju akhir.
Lepas dari benar
tidaknya legenda itu, apa yang kita bicarakan disini adalah tentang makhluk
tuhan yang paling kuat. Sangat kuat hingga tak satupun mampu menghentikannya.
Konon hanya Dialah yang mampu mengungguli dengan sifat Qadim-nya. Dia tidak
pernah terlambat, tidak pernah pula terlalu cepat. La yastaqdimun, wa la
yasta’hirun. Datang dengan pasti, pergi tanpa disadari. selalu menepati
janji-janji. Komitmentnya tak terbeli, Tegas tak berkompromi. Siapapun yang
sudah tiba pada ajalnya, dirampasnya tanpa tawar-menawar.
Dialah yang membuat karat di besi-besi.
Melayukan kelopak-kelopak. Menggugurkan daun-daun. Dialah yang membuat kulit
kita mengeriput, juga yang memutihkan rambut-rambut. Berita gembira datang
bersamanya, lalu duka muncul selepas kepergiannya. Tak ada seorang panglima,
raja diraja, pendekar sakti mandraguna, maupun seorang kaya-raya, mampu
menghentikannya.
“tujuh menit lagi...”
Manusia
selalu hidup dalam kealpaan-kealpaan. Diberi kesempatan untuk memilih, lalu menggunakan
sebagian kecilnya untuk berbuat benar, sisanya untuk kesalahan-kesalahan.
Setengah jam taat disusul enam jam maksiat. Menghabiskan sedikit waktu dalam
ingat, lalu berlama-lama dalam lalai. Manusia menanam kebaikan di pagi hari.
lalu menebar keburukan sepanjang hari.
Maka,
dia yang hayy dan Qayyum, benar-benar serius saat bersumpah atas
nama waktu, makhluknya yang paling perkasa. Megasistem jagat raya yang selalu
konsisten menjaga protokol sunnatullah. Surat Al-Ashr adalah yang paling pendek
diantara semuanya. Hanya butuh sepuluh detik untuk membacanya. Sebuah
peringatan yang tegas dan gamblang. Hidup yang diberikanNya pada kita adalah
transaksi. Jual-beli kita untuk kehidupan kelak di akhirat. Setiap hari kita
berdagang dengan setiap nafas yang kita hembuskan. Berlomba menanam bekal.
Hidup yang diberikannya amat pendek, sependek surat al-‘Ashr. maka manusia,
adalah makhluk yang paling merugi karena memiliki banyak kesempatan, namun
hanya mendapat sedikit manfaat.
“tiga
menit lagi...”
Cara
hidup kita, kawan... adalah cermin bagaimana kita menghargai
kesempatan-kesempatan tersebut. Menghargai setiap tarikan nafas yang
dianugerahkan pada kita. Sudah semestinya kita sadar bahwa al-ashr
setiap hari mencabuti umur dari tubuh ini. sudah saatnya kita menjadi seekor
ayam yang gelisah, mengumpulkan bahan makanan sebelum gelap. Saatnya menjadi
tupai yang tergesa-gesa, mengumpulkan suplai sebelum musim dingin. Dan saatnya
menjadi burung camar, yang selalu siap dengan perlindungan sehabis gelap.
“Satu menit...”
Kuhadapkan wajah ke langit sore ini. tepat di
tengah halaman masjid yang luas. Di tengah kesibukan lalu-lintas
manusia-manusia metropolitan. Mencoba menghadapkan diri pada hadirat sang Maha
Kuasa. Aku ingin Dia tahu. Bahwa aku berusaha untuk selalu ingat. berusaha
untuk selalu waspada. Mawas pada perdagangan usia dengan al-ashr. aku
berusaha untuk tidak tertipu. tidak membayarkan waktuku untuk membeli apapun
yang tak berguna untuk kehidupan selepas maghrib. Aku ingin Dia tahu, bahwa diantara
seluruh kepadatan lalu lintas ini, pengabdian dan ketaatan padanya adalah yang
utama. Aku ingin dia tahu, bahwa muharram ini, adalah waktu-waktu yang ingin
kuhabiskan untuk mendengar bisikan-bisikan Ilhamnya.
“Allahu Akbar...
Allahu Akbar....”
“Inilah Muharram,
inilah hari-hari dimana langit membukakan barikade gaibnya. Hari-hari yang
diperuntukkan bagi mereka yang memilih untuk membayarkan seluruh waktunya untuk
pengabdian dan ketaatan. Semuanya tanpa sisa. Tanpa kembali. Hari ini para
ksatria berlutut menyarungkan pedangnya. Bersiap memasuki etheral form. Akupun
begitu, kendati masih tertatih-tatih menirukan mereka. Dan tiang cahaya
berpilin itu naik mendaki cakrawala. Berusaha meraih slot-slot gaib kaya energi
dan kebijaksanaan.
Ini channeling spell
ketiga-ku. Dan entah butuh berapa muharram lagi untuk menjadi seperti
mereka. Namun kita harus berangkat, Kita harus berhijrah, kita harus mulai
berani meninggalkan lingkaran yang nyaman. Keluar menembus bahaya. Kita harus
berubah, kita harus berbenah. Kita harus tumbuh menjadi kuat dan bijaksana. the
quest still lay before us. Risalah belum habis, zaman belum berhenti.
Perjuangan belum selesai selama maghrib belum tiba. Kesempatan masih belum
habis selama nafas masih bersemayam di dada.
Segala puji bagimu,
sang Abadi pemilik waktu.
Yang hadir tanpa
permulaan. Tegak tanpa berkesudahan
Inilah tahun yang
baru, kesempatan yang kuterima.
Berilah aku
perlindungan, dari setan dan bala tentaranya.
Juga perlindungan,
dari diri ini, yang selalu mendorong pada keburukan
Sibukkanlah dia,
dengan cinta dan sesuatu yang mendekatkan kepadamu.
Dengan kasih
sayangmu, wahai pemilik kekuatan dan kehormatan
Amin
0 komentar :
Posting Komentar