Madura
Strait, 25 Oktober 2014
Convegeance
Ketika
dua entitas berdiri berdampingan, bagaimana kamu menyebutnya?
Kebetulan,
Keberuntungan, Takdir, Nasib, atau mungkin... Jodoh?
Aku
baru saja bangun tidur. Mendapati diri berada di geladak KMP jokotole. Di atas
selat madura. Lagi. pandangan belum kembali. Objek-objek di sekitar masih blur
dan kelabu meski perlahan-lahan menajam. Pun demikian suara-suara ribut
mulai naik volumenya hingga mencapai frekuensi normal. Dan butuh beberapa saat
hingga penginderaan berfungsi secara penuh.
Data
yang ditampilkan otak mengonfirmasi bahwa aku memang sedang berada di atas geladak. Berangkat mengendarai
valinor selepas subuh tadi setelah semalaman begadang di Ampeldenta. Tapi
jiwaku sedang tidak disini. Tapi berpijak di sebuah ruang mistis. Aku menegadah
ke langit, mataharinya tetap terik meski diselimuti awan putih. lama kupandangi
malah semakin mirip sebuah lukisan. dan tiba-tiba warna semua obyek disekitar
memudar dan suara ribut mesin kapal mengecil. Digantikan suara dengung panjang.
Sebuah
kesadaran baru lagi. masuk pagi ini.
Umpama
garis waktu yang diciptakan tuhan adalah sebuah Flowchart. Dan kita adalah line chart-nya. Maka seismograf hidup mencatatkan
garis-garis takdir pada selembar kertas waktu yang panjang. Setiap orang
berbentuk sebuah line. Dan tidak pernah ada line yang benar-benar lurus.
Semuanya turun naik seiring kehidupan yang mereka jalani. Hanya saja. Ada line
yang amplitudonya rendah. Ada yang tinggi, ada yang sudut suspensinya tajam,
ada yang landai. Tergantung bagaimana orang tersebut lakukan dalam hidupnya.
Rasanya baru kemarin di geladak
ini menemani kawan-kawan berwalimatul ‘ursy, Perjalanan melewati selat madura
adalah moment emosional bagiku. Itu seperti sebuah pengalaman batin yag tak
terlupakan sejak kecil. Moment yang mengajarkan aku tentang dua kata, pertemuan
dan perpisahan. Nur Istiqomah, Surabaya,
kawan-kawan metro-ku dan Selat madura, adalah dua hal yang sama sekali
berbeda dunia. Mereka ada di dua dimensi. Beberapa hari yang lalu, dua takdir
hidup itu bertemu. Salah, bersinggungan. fajrul, bukhori dan sahrul, nonik dan
rifda, farid, tia dan iis, line-line itu pernah berada begitu dekat denganku.
Semakin dekat, akhirnya bersinggungan, lalu kemudian melebar saling menjauhi
satu sama lain. Entah akan bertemu lagi di masa depan atau tidak. Itulah
firasat yang kurasakan sekarang.
Orang-orang di dunia membangun
mitos dari persinggungan-persinggungan. Nenek moyang kita adalah orang yang
gemar membaca tanda-tanda. Di laut, darat dan langit. Bintang, angka, simbol,
ukiran, lalu rentetan-rentetan peristiwa dibaca dengan penafsiran. Dibuatkan
pola-pola. Orang-orang tertarik untuk memitoskan sesuatu yang bersinggungan,
seperti Faktor Persekutuan terbesar, atau kelipatan persekutuan terkecil. Atau
sesuatu yang linier, persamaan atau pertidaksamaan, angka-angka kembar, seperti
orang-orang yang melangsungkan pernikahan di tanggal 10-10-2010 atau kiamat
yang terjadi di tanggal 12-12-2012.
Manusia suka memitoskan angka tujuh, karena
diceritakan di kitab-kitab suci. Sehingga dibuatlah tujuh keajaiban dunia.
Tujuh samudra tujuh benua, empat puluh tujuh ronin. Juga menaruh sial di angka
tiga belas. Mengharap berkah di bilangan-bilangan ganjil. Tiga dan sebelas.
Menulis legenda tentang dua belas bintang. Manusia suka pada simbol-simbol,
garis berseberangan tanda larangan, garis melintang tanda bahaya. Segitiga
tegak bagi laki-laki. Segitiga terbalik bagi perempuan. Enam sudut bintang
simbol sataniyah, dan delapan sudut untuk bintang kebajikan.
Itulah hidup, kadang sesuatu terasa amat menjadi
bagian dari hidup kita. secepat kilat kemudian menjadi sesuatu yang asing sama
sekali. Orang-orang datang di kehidupan kita, sekedar tahu, mengenal, sebagian terasa
sangat dekat, beberapa terasa seperti bagian dari diri kita. orang-orang yang
dicintai seketika berubah menjadi musuh abadi. Orang-orang datang, akan pergi
juga pada akhirnya. Kerajaan berdiri, negeri negeri dibangun, akan runtuh pula
pada akhirnya. Tentara-tentara penakluk, kemudian terkubur jua di tanah.
Pijakan-pijakan tak ada yang pernah benar-benar kuat. Semusim sebuah ide tampak
seterang kebenaran, masa selanjutnya tampak seperti lelucon bodoh. sejarah
berulang. Kemarin tragedi masih menyayatkan kesedihan, sekarang malah lucu
kalau diingat. Apa yang kita bela seakan seperti sebuah keyakinan sempurna,
juga kadang tak lebih dari kebohongan belaka.
Jadi, apakah hidup ini semacam perjudian?
Menurutku tidak,
karena tak ada yang diciptakan oleh sang kreator sebagai suatu yang sia-sia.
Kesejajaran, persinggungan, koherensi, relasi, divergenitas, konjungsi,
permutasi, semuanya punya makna. Simbol dan rajah punya tafsiran. Semuanya
bekerja dalam koridor sunnatullah. dengan ketajaman indra dan kedalaman pengetahuan
kita mampu membaca hidup ini, mebaca alam semesta ini. terlalu utopis kalau
kita ingin membaca kehendak tuhan, namun kita dibekali dengan
perhitungan-perhitungan, prediksi, pembacaaan, analisa, intuisi, perasaan.
Seharusnya itu cukup membuat kita menjadi makhluk yang tamyiz-nathiq.
Tahu apa yang akan diperbuat, tahu apa yang harus dipersiapkan.
Kita memang makhluk
kecil di jagat raya ini, dengan tangan yang terlalu kecil untuk membuat
perubahan. Tapi di jagat raya sibernetik ini, apa yang kita lakukan, sekecil
apapun, berpotensi merubah konstellasi elemen-elemennya. Semuanya, dimensi
satu-dua-tiga-empat. Terhubung oleh garis-garis ajaib. Yang tidak kuat akan
perubahan yang terjadi, akan segera musnah dari peredaran, sedang apa yang tak
cukup kuat membunuhmu, akan membuatmu menjadi semakin kuat.
Pahit ataupun manis,
jangan sampai gagal memetik hikmahnya.
What doesn’t kill
ya, will make ya stronger!
0 komentar :
Posting Komentar