Kamis, 13 November 2014

Ekspedisi Log 2

Madura Strait, 25 Oktober 2014
Convegeance
               
Ketika dua entitas berdiri berdampingan, bagaimana kamu menyebutnya?
Kebetulan, Keberuntungan, Takdir, Nasib, atau mungkin... Jodoh?

               
       Aku baru saja bangun tidur. Mendapati diri berada di geladak KMP jokotole. Di atas selat madura. Lagi. pandangan belum kembali. Objek-objek di sekitar masih blur dan kelabu meski perlahan-lahan menajam. Pun demikian suara-suara ribut mulai naik volumenya hingga mencapai frekuensi normal. Dan butuh beberapa saat hingga penginderaan berfungsi secara penuh.
          Data yang ditampilkan otak mengonfirmasi bahwa aku memang sedang  berada di atas geladak. Berangkat mengendarai valinor selepas subuh tadi setelah semalaman begadang di Ampeldenta. Tapi jiwaku sedang tidak disini. Tapi berpijak di sebuah ruang mistis. Aku menegadah ke langit, mataharinya tetap terik meski diselimuti awan putih. lama kupandangi malah semakin mirip sebuah lukisan. dan tiba-tiba warna semua obyek disekitar memudar dan suara ribut mesin kapal mengecil. Digantikan suara dengung panjang.
            Sebuah kesadaran baru lagi. masuk pagi ini.  
        Umpama garis waktu yang diciptakan tuhan adalah sebuah Flowchart. Dan kita adalah line chart-nya. Maka seismograf hidup mencatatkan garis-garis takdir pada selembar kertas waktu yang panjang. Setiap orang berbentuk sebuah line. Dan tidak pernah ada line yang benar-benar lurus. Semuanya turun naik seiring kehidupan yang mereka jalani. Hanya saja. Ada line yang amplitudonya rendah. Ada yang tinggi, ada yang sudut suspensinya tajam, ada yang landai. Tergantung bagaimana orang tersebut lakukan dalam hidupnya.
        Rasanya baru kemarin di geladak ini menemani kawan-kawan berwalimatul ‘ursy, Perjalanan melewati selat madura adalah moment emosional bagiku. Itu seperti sebuah pengalaman batin yag tak terlupakan sejak kecil. Moment yang mengajarkan aku tentang dua kata, pertemuan dan perpisahan. Nur Istiqomah, Surabaya,  kawan-kawan metro-ku dan Selat madura, adalah dua hal yang sama sekali berbeda dunia. Mereka ada di dua dimensi. Beberapa hari yang lalu, dua takdir hidup itu bertemu. Salah, bersinggungan. fajrul, bukhori dan sahrul, nonik dan rifda, farid, tia dan iis, line-line itu pernah berada begitu dekat denganku. Semakin dekat, akhirnya bersinggungan, lalu kemudian melebar saling menjauhi satu sama lain. Entah akan bertemu lagi di masa depan atau tidak. Itulah firasat yang kurasakan sekarang.
         Orang-orang di dunia membangun mitos dari persinggungan-persinggungan. Nenek moyang kita adalah orang yang gemar membaca tanda-tanda. Di laut, darat dan langit. Bintang, angka, simbol, ukiran, lalu rentetan-rentetan peristiwa dibaca dengan penafsiran. Dibuatkan pola-pola. Orang-orang tertarik untuk memitoskan sesuatu yang bersinggungan, seperti Faktor Persekutuan terbesar, atau kelipatan persekutuan terkecil. Atau sesuatu yang linier, persamaan atau pertidaksamaan, angka-angka kembar, seperti orang-orang yang melangsungkan pernikahan di tanggal 10-10-2010 atau kiamat yang terjadi di tanggal 12-12-2012.
Manusia suka memitoskan angka tujuh, karena diceritakan di kitab-kitab suci. Sehingga dibuatlah tujuh keajaiban dunia. Tujuh samudra tujuh benua, empat puluh tujuh ronin. Juga menaruh sial di angka tiga belas. Mengharap berkah di bilangan-bilangan ganjil. Tiga dan sebelas. Menulis legenda tentang dua belas bintang. Manusia suka pada simbol-simbol, garis berseberangan tanda larangan, garis melintang tanda bahaya. Segitiga tegak bagi laki-laki. Segitiga terbalik bagi perempuan. Enam sudut bintang simbol sataniyah, dan delapan sudut untuk bintang kebajikan. 
Itulah hidup, kadang sesuatu terasa amat menjadi bagian dari hidup kita. secepat kilat kemudian menjadi sesuatu yang asing sama sekali. Orang-orang datang di kehidupan kita, sekedar tahu, mengenal, sebagian terasa sangat dekat, beberapa terasa seperti bagian dari diri kita. orang-orang yang dicintai seketika berubah menjadi musuh abadi. Orang-orang datang, akan pergi juga pada akhirnya. Kerajaan berdiri, negeri negeri dibangun, akan runtuh pula pada akhirnya. Tentara-tentara penakluk, kemudian terkubur jua di tanah. Pijakan-pijakan tak ada yang pernah benar-benar kuat. Semusim sebuah ide tampak seterang kebenaran, masa selanjutnya tampak seperti lelucon bodoh. sejarah berulang. Kemarin tragedi masih menyayatkan kesedihan, sekarang malah lucu kalau diingat. Apa yang kita bela seakan seperti sebuah keyakinan sempurna, juga kadang tak lebih dari kebohongan belaka.
Jadi, apakah hidup ini semacam perjudian?
Menurutku tidak, karena tak ada yang diciptakan oleh sang kreator sebagai suatu yang sia-sia. Kesejajaran, persinggungan, koherensi, relasi, divergenitas, konjungsi, permutasi, semuanya punya makna. Simbol dan rajah punya tafsiran. Semuanya bekerja dalam koridor sunnatullah. dengan ketajaman indra dan kedalaman pengetahuan kita mampu membaca hidup ini, mebaca alam semesta ini. terlalu utopis kalau kita ingin membaca kehendak tuhan, namun kita dibekali dengan perhitungan-perhitungan, prediksi, pembacaaan, analisa, intuisi, perasaan. Seharusnya itu cukup membuat kita menjadi makhluk yang tamyiz-nathiq. Tahu apa yang akan diperbuat, tahu apa yang harus dipersiapkan.
Kita memang makhluk kecil di jagat raya ini, dengan tangan yang terlalu kecil untuk membuat perubahan. Tapi di jagat raya sibernetik ini, apa yang kita lakukan, sekecil apapun, berpotensi merubah konstellasi elemen-elemennya. Semuanya, dimensi satu-dua-tiga-empat. Terhubung oleh garis-garis ajaib. Yang tidak kuat akan perubahan yang terjadi, akan segera musnah dari peredaran, sedang apa yang tak cukup kuat membunuhmu, akan membuatmu menjadi semakin kuat.

Pahit ataupun manis, jangan sampai gagal memetik hikmahnya.


What doesn’t kill ya, will make ya stronger!

0 komentar :

Posting Komentar