Drajat, Paciran, 3 Oktober 2014
Seven Commandments
Inilah
janji yang kubuat dengan diriku sendiri. Langit dan Bumi jadilah saksi.
Baiklah,
dengan satu tarikan nafas panjang, kuayunkan langkah menuruni tangga-tangga
batu di kompleks dalem ndhuwur. Menuju pintu keluar. Di setiap anak tangga yang
kupijak, kumantapkan hati untuk merengkuh pilihan yang kubuat sore ini. ya,
inilah konsepsi, inilah prinsip, inilah jalan yang dipilih oleh seorang
laki-laki, yang memutuskan untuk mengikuti jejak manhajpara leluhur.
Adalah
KH. Zaini Abdul Mun’im, guru dan pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid dimana
aku tumbuh dan menghabiskan sebagian besar masa kecil, yang berujar begitu
mantapnya, bahwa “Seluruh hidupku, kuwakafkan dalam perjuangan meniggikan
agama allah.” Yang berarti bagi dalam hidup kita, setelah ini.. bukan
semata apa yang dapat kita miliki, namun apa yang dapat kita perbuat, apa yang
mampu kita berikan pada semesta ini, pada agama ini. sama dengan komitmen yang
diajarkan Raden Qosim Syarifuddin Kanjeng Susuhunan Drajat pada kita sore hari
ini. serta yang diajarkan oleh seluruh Ulama guru-guru kita di masa lalu. Bahwa
hidup adalah to preserve and charge.
Benar, mungkin sudah
waktunya berhenti bermanja-manja dengan gejolak hati, mungkin sudah saatnya
berhenti bermain-main dengan masa muda. Mungkin sudah saatnya berhijrah dari
hingar-bingar menuju sepi. Hari-hari di masa lalu, akan tetap hidup menjadi
sebuah kenangan. Kenangan yang akan mebuat kita insaf, insaf akan tugas kita
sebagai budak di satu sisi, penguasa di sisi yang lain. Benar, mungkin sudah
saatnya seorang ksatria dimatangkan, mungkin sudah saatnya dia nerima perintah.
Anak tangga Ketujuh ;
“Meneh
teken kang wuta, meneh mangan kang luwe, meneh busana kang wudha, meneh ngiyup
kang kodanan.
Mengajarkan
cara melihat pada orang buta, mengajarkan makan bagi orang yang kelaparan,
mengajarkan cara berapakian pada mereka yang telanjang, menunjukkan tempat
berteduh bagi mereka yang kehujanan.
Anak tangga ke Enam ;
“Mulyaken guna panca waktu”
kita akan meraih
kebahagian lahir bathin dalam sholat lima waktu.
Anak tangga ke Lima ;
“Heneng!
– Hening! – Henung!” Dalam diam kita akan peroleh keheningan, dalam hening
kita akan capai sebuah cita-cita luhur.
Anak tangga ke Empat ;
“Meper hardaning
panca driya” kita akan senantiasa memerangi gelora nafsu-nafsu.
Anak tangga ke Tiga ;
“Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah.” Kita
tidak akan peranh menyerah pada rintangan sebelum cita-cita luhur tercapai.
Anak tangga ke Dua ;
“Jroning
Suka Kudu Eling lan Waspada” dalam suka maupun duka kita akan selalu ingat
dan waspada.
Anak tangga Pertama ;
“memangun
resep tiyasing sasoma.“ Kita akan selalu bekerja untuk mebahagiakan orang
orang di sekitar kita.
Ekspedisi muharram ketiga akan berakhir
beberapa jam lagi.
Menurutmu kawan, apa
yang membuat hidupmu terasa berarti?
Pengakuan, atau berada
dekat dengan orang-orang yang kau cintai, atau kenginan dan cita-cita yang
terkabul, mimpi yang jadi nyata, kebebasan berpikir dan bertindak? Namun,
bagiku, apa yang mebuat hidup terasa berarti adalah pengabdian, saat kita
sukses mengikatkan diri kita ke dalam sebuah upaya menopang cita-cita mulia.
Karena sebenarnya, untuk itulah aku dilahirkan;
Bearing the wisdom,
Preserving the truth, Upholding Justice!
0 komentar :
Posting Komentar