Kamis, 13 November 2014

Ekspedisi Log 9

Pantai Utara Paciran, 3 November 2014
Second Chance

This won’t break your heart..
But i Just think it could,
Cause i haven’t try, as hard as I sure..
To seperate you, from everything I do,
Cause i never wanna come Between us two..

            Percayakah kalian akan kesempatan kedua?
           Sesuatu yang amat mahal, pastinya. Tidak sembarangan didapatkan. Sesuatu yang tidak pernah didapatkan oleh seorang malaikat  cerdas ahli ibadah yang dicemburui oleh yang lain karena kemuliaan  dan keutamaannya. Hanya satu kesalahan, Satu kesalahan yang menjerumuskannya dalam lubang pembuangan. Dikutuk selamanya sebagai makhluk perusak, Penghasut, dan penghembus fitnah. Hanya satu kesalahan dan diapun harus beribadah, mengabdi pada tuhannya dengan cara yang amat mengerikan. Menjadi musuh kita, manusia. Dia hanya mendapatkan dua keringanan akan hukumannya. Waktu yang tak terbatas, serta izin untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya teman untuk menjalani hukuman abadinya kelak.
                Sedang kita manusia, membuang begitu banyak kesempatan.
                Menurutmu, jika iblis mendapatkan kesempatan kedua, apakah dia bisa menjadi lebih baik?
                Lebih baik daripada kita?

Aku sekarang sedang melamun di pantai utara desa Jetak Paciran, Lamongan, hanya 50 meter di bawah tikungan tanjung kodok. Cuma beberapa ratus meter dari WBL, hanya beberapa ratus meter dari rumah kawan kita Lailatur Rasyidah. Kamu pasti ingat, kan. Tempat ini? suasananya masih sama. Pasirnya masih sama. Sensasinya masih sama. Matahari sorenya masih sama. Batu koralnya masih sama. Warung bekas dan terpal birunya masih sama. Sampahnya sama. Baunya sama. Bedanya, cuma aku sendirian, dan kalian tak ada disini.  
Manusia adalah jagonya berbuat salah. Meskipun dasar dari tindakannya adalah hal-hal yang benar.  Tidak mesti atas dasar cinta dan kasih sayang, manusia akan menelurkan kebajikan-kebajikan. Malah tidak sedikit diantaranya yang juga menimbulkan kekejian-kekejian. Kadang lebih mengerikan daripada yang dapat dilakukan oleh hewan buas manapun. Atas nama cinta dan kasih sayang, manusia akan berperang dan membunuh satu sama lain. Tidak mesti karena sebuah niat yang baik, akan dihasilkan kebaikan-kebaikan pula. maka dari itulah jelek tak ada yang permanen, pun  demikian bagus tak ada yang kekal, semuanya senantiasa diuji dengan terma-terma keadaan, semuanya seperti bola yang bundar. Tidak bisa diprediksi ke mana arahnya, tak bisa ditebak kapan berubahnya. Tapi itulah juga kelebihan manusia, selalu memliki kesempatan kedua.
Asyura, jika kita melihat sejarah, sejatinya adalah hari-hari saat kesempatan kedua diberikan. Ah, bahkan Nabi-Nabi besar di zaman dahulu  pun berbuat kesalahan. Mereka gak kurang bijaksana, gak kurang pintar, tidak kurang waskita. Tapi rasanya kesalahan tidak mengenal kata-kata itu. Nabi Adam yang pandai itupun melakukan kesalahan yang membuatnya dilempar dari surga. Motifnya, cuma ingin membuat senang sang kekasih. Nabi nuh, mungkin disayat rasa bersalah saat gagal menyelamatkan anaknya. Bukan dari banjir besar, tapi dari kesesatan akidah. Juga rasa bersalah tak mampu meyakinkan kaumnya setelah tiga ratus sembilan puluh tahun dakwah. Nabi Yunus, dihukum karena mengabaikan permintaan maaf dari kaumnya. Tenggelam di laut, lalu ditelan ikan paus.
Astaga, nabi-Nabi besar itu, senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Akhirnya aku paham, laki-laki itu, dimana pun selalu dipaksa untuk memilih antara hati dan prinsipnya. Dalam kasus Nabi Adam, dia lebih memilih hatinya, swinggg... terlemparlah dari surga. Dalam kasus Nabi Nuh, memilih prinsip dan integritasnya. Sleerrrpp.. leyaplah anak kesayangannya. Dalam kasus Nabi Yunus, maunya sih cuma mendiamkan kaumnya sementara biar mereka tau rasa. Kok enak minta maaf setelah lama mem-bully dirinya. Sleerrp.. ealah ditelan ikan paus. Nabi Yusuf, menolak zulaikha, gubrak! Mlebu penjara!
“Haha, beginilah jadi cowok itu, mundur kena maju kena...”

Tapi, mungkin Itulah mengapa kemudian Tuan-Tuhan kita memiliki sifat maha pemaaf. Artinya, akan selalu ada kesempatan-kesempatan kedua. Mungkin dalam hidupnya, laki-laki akan selalu dihantui rasa bersalah apapun keputusan yang dipilihnya. Nilai sesungguhnya adalah bagaimana kita memanfaatkan kesempatan yang kita miliki.
Nabi Muhammad SAW, dalam opiniku adalah yang dianugerahi kesempatan terluas. Sudah maksum, dijaga dari kesalahan besar dan dosa. Dan kalaupun berbuat salah, sudah pasti diampuni “inna fatahna laka fathan mubina, liyaghfira lakallaha ma taqaddama min dzanbika wama ta’akkhara wayutimma ni’matahu ‘alaika wayahdiyaka shiratan mustaqiima..” enak bener! Tapi yang diberi anugerah ini Nabi Muhammad. Seorang yang tidak pernah sedikitpun memikirkan diri sendiri. Garansi pengampunan ini bagi beliau tidak cukup. What about ummati? Okelah dirinya selamat, namun bagaimana dengan ummat yang dicintainya? Menanggapi permintaan ini, Allah SWT kemudia memberikan Anugrah ulti yang membuat Nabi Muhammad menjadi Nabi yang paling istimewa di deretan para Nabi. Yaitu garansi keselamatan, serta lisensi untuk memberikan garansi yang sama pada siapapun yang dikehendakinya. Kita menyebutnya, Syafa’at.
Tapi, itu tidak cukup melegakan.
Kalau melihat sejarah, akan selalu ada kesempatan kedua bagi kita. namun, aku sekarang menoleh ke kenyataan. Ke laut yang terhampar luas di hadapanku. Ke lempengan-lepengan karang tepat dulu icha melompat-lompat  riang. Ke pagar bata putih tempat wafa mendendangkan lagu, diiringi ussy, ditertawai bukhori, dicueki kris, ditepuki sukri. Ke air dangkal tempat rosyidah, mir, mia, dan yani. mengeruk-ngeruk tanah. Ke tepi laut, dimana iis, yus, syahrul dan arina berfoto bersama. Lia Furoh Putri Fatimah Rifda Anisa, Sinyur tia nonik farid, yani widia fahmi fifi fajrul, pardi jihan mirza, Keluarga yang selalu ku-impi-impikan. Sekarang seolah tak pernah mengenal satu sama lain. Kenyataan bahwa sekarang mereka menjadi masyarakat yang ekslusif-fragmentatif-opportunis,  menghantui diriku hingga saat ini.
Aku bangkit, memutuskan untuk turun menuju tepi air sebelum meninggalkan pantai ini.
Mungkin itu semua salahku. Mungkin aku yang terlalu keras menanamkan prinsip-prinsip pada mereka. Atau juga mungkin aku terlalu lemah membiarkan mereka hidup dalam pembenaran-pembenaran yang meninabobokkan.  Membiarkan nilai-nilai dan prinsip bermasyarakat dilanggar. Sekali lagi dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Setiap waktu yang kumiliki kuijtihadkan untuk meperbaiki keadaan, namun agaknya waktu telah menyusulku. Sekarang sudah semester tujuh. Komunikasi telah lama renggang. segala bentuk kepedulian, empati, dan ungkapan , terasa salah untuk dikemukakan. Pilihan terakhir hanyalah diam. Pura-pura tak terjadi apa-apa. Kelak kenangan hanya tinggal kenangan. dan seiring waktu mereka akan sedikit demi sedikit menghilang. Lenyap seolah tidak terjadi apa-apa. Lenyap seolah di pantai-pantai ini, tidak pernah terjadi apa-apa...

Dear Lord, adakah bagiku kesempatan kedua?

 
I’ll keep your memory vauge...
You won’t feel bad about me...
I’ll say the thing that you say,
Sometimes the wind, reminds me...
























0 komentar :

Posting Komentar