Pantai Utara
Paciran, 3 November 2014
Second Chance
This
won’t break your heart..
But
i Just think it could,
Cause
i haven’t try, as hard as I sure..
To
seperate you, from everything I do,
Cause
i never wanna come Between us two..
Percayakah
kalian akan kesempatan kedua?
Sesuatu yang amat mahal, pastinya.
Tidak sembarangan didapatkan. Sesuatu yang tidak pernah didapatkan oleh seorang
malaikat cerdas ahli ibadah yang
dicemburui oleh yang lain karena kemuliaan
dan keutamaannya. Hanya satu kesalahan, Satu kesalahan yang
menjerumuskannya dalam lubang pembuangan. Dikutuk selamanya sebagai makhluk
perusak, Penghasut, dan penghembus fitnah. Hanya satu kesalahan dan diapun
harus beribadah, mengabdi pada tuhannya dengan cara yang amat mengerikan. Menjadi
musuh kita, manusia. Dia hanya mendapatkan dua keringanan akan hukumannya.
Waktu yang tak terbatas, serta izin untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya teman
untuk menjalani hukuman abadinya kelak.
Sedang
kita manusia, membuang begitu banyak kesempatan.
Menurutmu,
jika iblis mendapatkan kesempatan kedua, apakah dia bisa menjadi lebih baik?
Lebih
baik daripada kita?
Aku sekarang sedang
melamun di pantai utara desa Jetak Paciran, Lamongan, hanya 50 meter di bawah
tikungan tanjung kodok. Cuma beberapa ratus meter dari WBL, hanya beberapa
ratus meter dari rumah kawan kita Lailatur Rasyidah. Kamu pasti ingat, kan.
Tempat ini? suasananya masih sama. Pasirnya masih sama. Sensasinya masih sama.
Matahari sorenya masih sama. Batu koralnya masih sama. Warung bekas dan terpal
birunya masih sama. Sampahnya sama. Baunya sama. Bedanya, cuma aku sendirian,
dan kalian tak ada disini.
Manusia adalah jagonya
berbuat salah. Meskipun dasar dari tindakannya adalah hal-hal yang benar. Tidak mesti atas dasar cinta dan kasih
sayang, manusia akan menelurkan kebajikan-kebajikan. Malah tidak sedikit
diantaranya yang juga menimbulkan kekejian-kekejian. Kadang lebih mengerikan
daripada yang dapat dilakukan oleh hewan buas manapun. Atas nama cinta dan
kasih sayang, manusia akan berperang dan membunuh satu sama lain. Tidak mesti
karena sebuah niat yang baik, akan dihasilkan kebaikan-kebaikan pula. maka dari
itulah jelek tak ada yang permanen, pun
demikian bagus tak ada yang kekal, semuanya senantiasa diuji dengan
terma-terma keadaan, semuanya seperti bola yang bundar. Tidak bisa diprediksi
ke mana arahnya, tak bisa ditebak kapan berubahnya. Tapi itulah juga kelebihan
manusia, selalu memliki kesempatan kedua.
Asyura, jika kita
melihat sejarah, sejatinya adalah hari-hari saat kesempatan kedua diberikan.
Ah, bahkan Nabi-Nabi besar di zaman dahulu
pun berbuat kesalahan. Mereka gak kurang bijaksana, gak kurang pintar,
tidak kurang waskita. Tapi rasanya kesalahan tidak mengenal kata-kata itu. Nabi
Adam yang pandai itupun melakukan kesalahan yang membuatnya dilempar dari
surga. Motifnya, cuma ingin membuat senang sang kekasih. Nabi nuh, mungkin
disayat rasa bersalah saat gagal menyelamatkan anaknya. Bukan dari banjir
besar, tapi dari kesesatan akidah. Juga rasa bersalah tak mampu meyakinkan
kaumnya setelah tiga ratus sembilan puluh tahun dakwah. Nabi Yunus, dihukum
karena mengabaikan permintaan maaf dari kaumnya. Tenggelam di laut, lalu
ditelan ikan paus.
Astaga, nabi-Nabi
besar itu, senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Akhirnya aku
paham, laki-laki itu, dimana pun selalu dipaksa untuk memilih antara hati dan
prinsipnya. Dalam kasus Nabi Adam, dia lebih memilih hatinya, swinggg...
terlemparlah dari surga. Dalam kasus Nabi Nuh, memilih prinsip dan
integritasnya. Sleerrrpp.. leyaplah anak kesayangannya. Dalam kasus Nabi Yunus,
maunya sih cuma mendiamkan kaumnya sementara biar mereka tau rasa. Kok enak minta
maaf setelah lama mem-bully dirinya. Sleerrp.. ealah ditelan ikan paus. Nabi
Yusuf, menolak zulaikha, gubrak! Mlebu penjara!
“Haha, beginilah jadi
cowok itu, mundur kena maju kena...”
Tapi, mungkin Itulah
mengapa kemudian Tuan-Tuhan kita memiliki sifat maha pemaaf. Artinya, akan
selalu ada kesempatan-kesempatan kedua. Mungkin dalam hidupnya, laki-laki akan
selalu dihantui rasa bersalah apapun keputusan yang dipilihnya. Nilai sesungguhnya
adalah bagaimana kita memanfaatkan kesempatan yang kita miliki.
Nabi Muhammad SAW,
dalam opiniku adalah yang dianugerahi kesempatan terluas. Sudah maksum, dijaga
dari kesalahan besar dan dosa. Dan kalaupun berbuat salah, sudah pasti diampuni
“inna fatahna laka fathan mubina, liyaghfira lakallaha ma taqaddama min
dzanbika wama ta’akkhara wayutimma ni’matahu ‘alaika wayahdiyaka shiratan
mustaqiima..” enak bener! Tapi yang diberi anugerah ini Nabi Muhammad.
Seorang yang tidak pernah sedikitpun memikirkan diri sendiri. Garansi
pengampunan ini bagi beliau tidak cukup. What about ummati? Okelah
dirinya selamat, namun bagaimana dengan ummat yang dicintainya? Menanggapi
permintaan ini, Allah SWT kemudia memberikan Anugrah ulti yang membuat Nabi
Muhammad menjadi Nabi yang paling istimewa di deretan para Nabi. Yaitu garansi
keselamatan, serta lisensi untuk memberikan garansi yang sama pada siapapun
yang dikehendakinya. Kita menyebutnya, Syafa’at.
Tapi, itu tidak cukup
melegakan.
Kalau melihat sejarah,
akan selalu ada kesempatan kedua bagi kita. namun, aku sekarang menoleh ke
kenyataan. Ke laut yang terhampar luas di hadapanku. Ke lempengan-lepengan
karang tepat dulu icha melompat-lompat
riang. Ke pagar bata putih tempat wafa mendendangkan lagu, diiringi ussy,
ditertawai bukhori, dicueki kris, ditepuki sukri. Ke air dangkal tempat
rosyidah, mir, mia, dan yani. mengeruk-ngeruk tanah. Ke tepi laut, dimana iis,
yus, syahrul dan arina berfoto bersama. Lia Furoh Putri Fatimah Rifda Anisa,
Sinyur tia nonik farid, yani widia fahmi fifi fajrul, pardi jihan mirza,
Keluarga yang selalu ku-impi-impikan. Sekarang seolah tak pernah mengenal satu
sama lain. Kenyataan bahwa sekarang mereka menjadi masyarakat yang
ekslusif-fragmentatif-opportunis,
menghantui diriku hingga saat ini.
Aku bangkit,
memutuskan untuk turun menuju tepi air sebelum meninggalkan pantai ini.
Mungkin itu semua
salahku. Mungkin aku yang terlalu keras menanamkan prinsip-prinsip pada mereka.
Atau juga mungkin aku terlalu lemah membiarkan mereka hidup dalam
pembenaran-pembenaran yang meninabobokkan.
Membiarkan nilai-nilai dan prinsip bermasyarakat dilanggar. Sekali lagi
dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Setiap waktu yang kumiliki kuijtihadkan
untuk meperbaiki keadaan, namun agaknya waktu telah menyusulku. Sekarang sudah
semester tujuh. Komunikasi telah lama renggang. segala bentuk kepedulian,
empati, dan ungkapan , terasa salah untuk dikemukakan. Pilihan terakhir
hanyalah diam. Pura-pura tak terjadi apa-apa. Kelak kenangan hanya tinggal
kenangan. dan seiring waktu mereka akan sedikit demi sedikit menghilang. Lenyap
seolah tidak terjadi apa-apa. Lenyap seolah di pantai-pantai ini, tidak pernah
terjadi apa-apa...
Dear Lord,
adakah bagiku kesempatan kedua?
I’ll keep your
memory vauge...
You won’t feel bad
about me...
I’ll say the thing
that you say,
Sometimes the wind,
reminds me...
0 komentar :
Posting Komentar