Sabtu, 10 Mei 2014

Em 2/1 2013

Ekspedisi Muharram, 5 November 2013
‘Amul Hazn
               
 Dust the apple off, savor each bite...
 And deep inside you know Adam was right...

Aku putuskan, kesedihan ini cukup sampai disini.
Selama ini aku bertanya-tanya, adakah ini turning point yang kau janjikan? Ataukah yang ini? Ataukah yang ini atau yang akan terjadi bulan depan. Atau pada moment ini. Ataukah jangan-jangan sudah lewat? Dan aku-lagi-lagi-gagal memanfaatkannya? Tapi aku bisa mengerti  senyummu. Bahwa  apapun yang kurasakan adalah murni milikku sendiri. Aku bagian dari tanganmu. Melarutkan ingatan-ingatan itu, atau mengabadikannya. Aku bagian dari dirimu. Penguasa atas hatiku. Dan sebagai penguasa...
                Kuputuskan, kesedihan cukup sampai disini.
                Tahukah kau kawan. Masa terberat dialami Rasulullah di tahun ini. Pada pertengahan risalah. Beliau kehilangan dua orang penopang hidupnya. Sang istri, Khadijah binti Khuwailid. The most irreplacable woman di hatinya. Dan pamannya, Abu Thalib. Sang pelindung sekaligus pengayom baginya. Dua-duanya dipanggil secara bersamaan, saat beban risalah sedang berat-beratnya. Saat tekanan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin sedang hebat-hebatnya. Saat cobaan sedang deras-derasnya. Bisakah kita membayangkannya?  Yang beliau rasakan?
                Kita semua pernah merasakan kehilangan. Kehilangan sesuatu yang amat kita cintai. Kehilangan sesuatu yang berarti dalam hidup kita. Hingga kehilangan tempat untuk berpijak. Aku yakin kita semua punya ‘Amul Hazn masing-masing. Tahun dimana harapan-harapan mengering karat. Seperti Rasulullah. Dengan konteks, kadar, kondisi dan situasi yang berbeda.
                Aku melambaikan tangan pada bis yang melaju menjauh. Dengan perasaan gundah tak karuan. Kupicingkan mata dan kutempelkan baik-baik pandanganku pada benda itu. Hingga mereka berdua kepayahan dan kembali padaku membawa perih dan silau. Objek yang diikuti sudah berada jauh di laur jarak pandang, katanya.Hatiku berkelebat tanpa henti mengucap do’a semoga tuhan menjaga bis itu. Karena di dalamnya ada ayahku. Pria yang selalu kukagumi sepanjang waktu. Dia akan berlari sejauh ini demi memastikan keadaanku baik-baik saja. Dan dalam usia seperti ini aku tak sanggup kehilangan diri dan perannya terhadapku. Seperti katanya, masa transisi itu selalu berat. Mungkin beliau paham. Aku sedang berada pada proses transisi. Mungkin juga tidak. Entah.
                Langit sore ini mendung. Menghembuskan angin yang amat kukenal. Hmm.. muharram. Genap satu tahun sejak minggu-minggu menyakitkan itu. Apa kabar diri? Apa kabar jiwa? Apa kabar hati? Bayangan sinar keemasan sore yang menemaniku selama proses penyembuhan kemarin mau tidak mau kurelakan pergi. Langit telah kembali asal garis edarnya. Pintu-pintunya terbuka. memunculkan slot-slot gaib kaya akan energi ruhani dan cahaya kebijaksanaan. Tak lama lagi para ksatria akan menyarungkan pedangnya. Berlutut memasuki etheral form. Tak lama lagi tiang-tiang cahaya akan naik. Berpilin layaknya spiral hijau berusaha meraih slot-slot gaib tersebut. Ramadhan adalah bulan Umat Islam. Maulid adalah bulannya Nabi Muhammad. Safar adalah bulannya Allah SWT. Dan muharram adalah bulan kita, orang-orang mukmin..
                Seseorang berkata bahwa tidak ada kekuatan korosif yang lebih besar selain penyesalan. Kuakui tahun ini adalah ‘Amul Hazn bagiku. Dan aku tidak mau berkubang dalam lumpur penyesalan terlalu lama. Aku akan menjadi air yang mengalir. Meski hanya diselokan. Bukan lagi kubangan di tengah jalan. Besar namun diinjak-injak orang. aku akan menjadi rintik hujan. Kecil namun yakin. Tidak lagi busa di lautan. Banyak namun terombang-ambing. Masa mendatang akan mendung. Namun, hanya kalau ada mendung. Pelangi bisa tercipta.
                Dan tahukah kau kawan. Untuk menghibur Rasulullah dalam melewati masa ‘Amul Hazn, Allah SWT. Menghadiahinya dengan sebuah perjalanan. Dan percaya atau tidak. Itu pula yang diberikanNya padaku.


                A Sacred Journey

0 komentar :

Posting Komentar