Lamongan, 3
November 2013. In your sacred day, Rosyidah.
Disenchanted
Well I was there on the
day,
They sold a cast for the queen,
And when the lights all went
out,
We watch our life on the screen,
I hate the ending myself,
But it started with an Alright
scene,
Rosyidah,
ah.. rosyidah.
Aku
sedih kamu harus berakhir disini.
Mereka yang kau panggil teman itu.. aku
ingin memukul wajah mereka satu-persatu. Karena hari ini, mereka telah
menciderai sebuah nilai yang amat kujunjung tinggi selama hidupku,
Persahabatan. Aku malu berjalan bersama mereka. aku meringis mendengar mereka
tertawa-tawa. Terlebih, aku malu membawa mukaku sendiri masuk ke hari sakral-mu
ini. Karena janjiku membawa sekumpulan kawan yang kompak dan sehati, aku malah
membawa segerombolan orang yang hanya memikirkan perut sendiri. Begitu hisapan
batang rokok ini habis, foto kenang-kenagan diambil, kau melihat wajahku
sebagai pemenuhan syarat kehadiran seorang teman yang akan selalu turut
berbahagia untukmu, mengirimkan permohonan ke langit agar kau dianugerahi
kebahagiaan rumah tangga, memenuhi segala formalitas walimah, aku ingin
buru-buru melangkah pergi.
Muak.
Bukan,
rosyidah… mereka bukan yang datang meramaikan rumahmu waktu itu. Mengisinya
denga tawa dan canda yang hangat. Tidak hari ini, rosyidah.. mungkin kemarin,
mungkin yang besok, tapi tidak hari ini. aku tak habis pikir mengapa mereka
berubah sedemikian itu. Aku tidak mengenal mereka lagi. Aku tidak mengenal dia
lagi. Tapi tak apalah, hari ini milikmu.
Kusayangkan
kau yang terlalu menyerah secepat ini. Padahal, jika kamu mampu melewati
gerbang ini, tahan dengan segala tekanan itu, Kamu akan mampu membawa perubahan
besar bagimu, keluargamu, dan masyarakat paciran ini. Seperti Raden Ajeng
Kartini yang idenya mampu membebaskan kaum perempuan dari belenggu patriarki.
Namanya harum hingga kini, Rosyidah. Menjadi mulia, semulia nama Lailatul
Qadr yang termaktub pada namamu.
Ijinkan
aku membayangkan perasaanmu, di hari-hari terakhir sebelum kamu memutuskan
untuk
pergi. Saat itu keresahan hati
menghampirimu. Ragu akan keberadaanmu di tanah seberang. Sementara melihat
kedua orangtua meringkih lemah menopangmu dan adik-adikmu. Benarkah yang kamu
lakukan ini, enak-enakan di kota besar sementara orang tua dirumah bekerja
keras? Sementara paman terus-terusan mencecar bahwa buang-buang waktu saja
menuntut ilmu di kampus yang sudah Amburadul akidahnya.
Lalu
bagaimana kamu bersikap, rosyidah.. menekan hati dan terus melanjutkan kuliah
hingga impian sarjana tercapai. Atau berlari pulang menyeka peluh kedua orang
tua? Ditengah keraguan itu kamu berusaha mencari alasan-alasan.
Pembenaran-pembenaran. Kata hatimu, seseorang tolong katakan bahwa yang
kulakukan di tempat ini adalah sesuatu yang benar.
Apa
yang ada di tempat ini, rosyidah.. yang berharga hingga membuatmu yakin untuk
bertahan. Ilmu dan kebijaksanaan, Mimpi melihat wajah orang tua bahagia saat
menyentuh topi wisudamu. Atau kawan-kawan yang hangat memeluk layaknya seorang
keluarga, tawa kebersamaan, ataupun sentuhan tangan persaudaraan. Dan cinta,
ah.. sempurna. Saat semua beban menghimpit datanglah ia menkonfirmasikan
berat hatimu. Maka kauputuskanlah untuk
pergi.
Tiba-tiba
semuanya menghilang, telalu cepat dari dugaan.
Tapi
aku ingin sekali lagi, sekali lagi merasakan kehangatan persahabatan saat
kalian berkunjung ke rumahku semester dua dulu. Saat kita melancong ke WBL
bersama-sama. Setidaknya sekali sebelum aku masuk ke gerbang kehidupan
sesungguhnya. Bertarung dengan kerasnya dunia nyata. Menjadi istri, menjadi ibu
yang membesarkan putra-putrinya. Aku ingin sekali lagi, mungkin liburan akhir
semester empat ini. Dan mas taufiq, ayo ajak teman-teman liburan lagi.
Rosyidah,
ah rosyidah.. keinginan-keinginan itu hanya disambut bisu.
Mulai sekarang, hidup
akan terus berlanjut
Maafkan
aku, bukan hanya gagal meyakinkanmu untuk terus maju, gagal memenuhi harapanmu,
sekarang membawa pula kawan-kawan tercinta kita dalam pecahan-pecahan fraksi
yang saling bermuka masam satu sama lain. Ke Hari Sakralmu. Maafkan aku, semoga
kelak akan ada kebahagiaan yang akan menggantikan semua tetes air mata.
Kebahagiaan yang akan kau ceritakan padaku. Pada kawan-kawan semua.
Jika
aku menjadi kamu, aku akan memimpikan suatu pagi dimana wafa, taufiq, sinyur,
mir, nonik, yus, lia, icha, turini, tia, aina, rifda, ussy, syahrul, farid,
fahmi, bukhori, anisa, mia, iis, putri, fifi, furoh, yani, arina, fajrul, widya,
muncul di ujung gang bergandengan tangan. Berlari memelukmu. Jangan khawatir,
akan kujaga kenangan itu. Dalam goresan pena, dan dalam sanubari.
Bahagialah,
kawan…
sedang aku akan ke
pinggir laut, menyanyikan kabung.. atas matinya persahabatan.
0 komentar :
Posting Komentar