Senin, 12 Mei 2014

Em 2/4 2013

Lamongan, 3 November 2013. In your sacred day, Rosyidah.
Disenchanted

Well I was there on the day,
They sold a cast for the queen,
And when the lights all went out,
We watch our life on the screen,
I hate the ending myself,
But it started with an Alright scene,
               
               
                Rosyidah, ah.. rosyidah.
                Aku sedih kamu harus berakhir disini.
Mereka yang kau panggil teman itu.. aku ingin memukul wajah mereka satu-persatu. Karena hari ini, mereka telah menciderai sebuah nilai yang amat kujunjung tinggi selama hidupku, Persahabatan. Aku malu berjalan bersama mereka. aku meringis mendengar mereka tertawa-tawa. Terlebih, aku malu membawa mukaku sendiri masuk ke hari sakral-mu ini. Karena janjiku membawa sekumpulan kawan yang kompak dan sehati, aku malah membawa segerombolan orang yang hanya memikirkan perut sendiri. Begitu hisapan batang rokok ini habis, foto kenang-kenagan diambil, kau melihat wajahku sebagai pemenuhan syarat kehadiran seorang teman yang akan selalu turut berbahagia untukmu, mengirimkan permohonan ke langit agar kau dianugerahi kebahagiaan rumah tangga, memenuhi segala formalitas walimah, aku ingin buru-buru melangkah pergi.

                Muak.

               Bukan, rosyidah… mereka bukan yang datang meramaikan rumahmu waktu itu. Mengisinya denga tawa dan canda yang hangat. Tidak hari ini, rosyidah.. mungkin kemarin, mungkin yang besok, tapi tidak hari ini. aku tak habis pikir mengapa mereka berubah sedemikian itu. Aku tidak mengenal mereka lagi. Aku tidak mengenal dia lagi. Tapi tak apalah, hari ini milikmu.
                Kusayangkan kau yang terlalu menyerah secepat ini. Padahal, jika kamu mampu melewati gerbang ini, tahan dengan segala tekanan itu, Kamu akan mampu membawa perubahan besar bagimu, keluargamu, dan masyarakat paciran ini. Seperti Raden Ajeng Kartini yang idenya mampu membebaskan kaum perempuan dari belenggu patriarki. Namanya harum hingga kini, Rosyidah. Menjadi mulia, semulia nama Lailatul Qadr  yang termaktub pada namamu.   
Ijinkan aku membayangkan perasaanmu, di hari-hari terakhir sebelum kamu memutuskan untuk
pergi. Saat itu keresahan hati menghampirimu. Ragu akan keberadaanmu di tanah seberang. Sementara melihat kedua orangtua meringkih lemah menopangmu dan adik-adikmu. Benarkah yang kamu lakukan ini, enak-enakan di kota besar sementara orang tua dirumah bekerja keras? Sementara paman terus-terusan mencecar bahwa buang-buang waktu saja menuntut ilmu di kampus yang sudah Amburadul akidahnya.
                Lalu bagaimana kamu bersikap, rosyidah.. menekan hati dan terus melanjutkan kuliah hingga impian sarjana tercapai. Atau berlari pulang menyeka peluh kedua orang tua? Ditengah keraguan itu kamu berusaha mencari alasan-alasan. Pembenaran-pembenaran. Kata hatimu, seseorang tolong katakan bahwa yang kulakukan di tempat ini adalah sesuatu yang benar.
                Apa yang ada di tempat ini, rosyidah.. yang berharga hingga membuatmu yakin untuk bertahan. Ilmu dan kebijaksanaan, Mimpi melihat wajah orang tua bahagia saat menyentuh topi wisudamu. Atau kawan-kawan yang hangat memeluk layaknya seorang keluarga, tawa kebersamaan, ataupun sentuhan tangan persaudaraan. Dan cinta, ah.. sempurna. Saat semua beban menghimpit datanglah ia menkonfirmasikan berat  hatimu. Maka kauputuskanlah untuk pergi.
                Tiba-tiba semuanya menghilang, telalu cepat dari dugaan.
                Tapi aku ingin sekali lagi, sekali lagi merasakan kehangatan persahabatan saat kalian berkunjung ke rumahku semester dua dulu. Saat kita melancong ke WBL bersama-sama. Setidaknya sekali sebelum aku masuk ke gerbang kehidupan sesungguhnya. Bertarung dengan kerasnya dunia nyata. Menjadi istri, menjadi ibu yang membesarkan putra-putrinya. Aku ingin sekali lagi, mungkin liburan akhir semester empat ini. Dan mas taufiq, ayo ajak teman-teman liburan lagi.
                Rosyidah, ah rosyidah.. keinginan-keinginan itu hanya disambut bisu.
Mulai sekarang, hidup akan terus berlanjut
                Maafkan aku, bukan hanya gagal meyakinkanmu untuk terus maju, gagal memenuhi harapanmu, sekarang membawa pula kawan-kawan tercinta kita dalam pecahan-pecahan fraksi yang saling bermuka masam satu sama lain. Ke Hari Sakralmu. Maafkan aku, semoga kelak akan ada kebahagiaan yang akan menggantikan semua tetes air mata. Kebahagiaan yang akan kau ceritakan padaku. Pada kawan-kawan semua.   
                Jika aku menjadi kamu, aku akan memimpikan suatu pagi dimana wafa, taufiq, sinyur, mir, nonik, yus, lia, icha, turini, tia, aina, rifda, ussy, syahrul, farid, fahmi, bukhori, anisa, mia, iis, putri, fifi, furoh, yani, arina, fajrul, widya, muncul di ujung gang bergandengan tangan. Berlari memelukmu. Jangan khawatir, akan kujaga kenangan itu. Dalam goresan pena, dan dalam sanubari.

            Bahagialah, kawan…
sedang aku akan ke pinggir laut, menyanyikan kabung.. atas matinya persahabatan.  


0 komentar :

Posting Komentar