Surat Kesebelas, 11
Ramadhan 1434 H.
Untuk, Achmad Yani
Aku percaya pak, bahwa
kekuatan, kecerdasan, dan kehormatan, adalah sesuatu yang dapat diperjuangkan.
Tapi untuk menemukan tautan hatimu, itu adalah sebuah anugrah.
It’s a gift... a rare gift
Pertama-tama aku minta maaf pak, hubungan kita agak
renggang setengah tahun terakhir. Aku berasumsi bahwa kamu mempunyai serentetan
praduga tentangku. Memang begitulah waktu memodifikasi pandangan kita terhadap
seseorang. Padahal... haha.. aku ingat dulu kita pernah mandi berdua. Katanya,
antar laki-laki itu baru bisa jadi teman sejati kalau sudah telanjang
bersama-sama.
.. aduh.. maaf pak.. aku tidak tahan... mau ketawa.
Tapi, kendatipun kamu bilang ingin jadi sepertiku,
berwawasan luas dan pandai bicara, mungkin kamu belum menyadari fakta kalau aku
kalah telak darimu. TELAK! Aduh, aku
ingin menertawakan diriku sendiri kalau ingat itu. Ya, waktu itu aku sedang
duduk di tengah lingkaran Utama Forum Angkatan 2011 lintas fakultas. Para ketua
angkatan dari masing-masing fakultas duduk berjejer. Dan aku salah satunya.
Hmm.. bangga lah, dan sombong pastinya. Tapi tidak lama, tidak lama sampai kamu
lewat di depan kami sambil membonceng mb mir dengan sepeda jengky biru itu.
Aku meloncat, berdiri, dan
menunjuk
Holy Shit! Itu mb mir... ! dibonceng Ahmad
Yani.
Kamu menamparku keras sekali waktu itu.
Sekarang malah aku yang ingin jadi sepertimu.
Ngomong-ngomong sepeda jengky biru itu punya siapa sih? Punya mbyuskah?
Soalnya, hari-hari sebelumnya aku melihat mb mir sering menunggangi sepeda itu.
Dan saat aku melihatnya melintas di kejauhan, Secara tolol aku mengangkat
tangan menengadah ke langit. “Ya Allah.. aku rela kau kutuk jadi sadel sepeda
jengky biru itu.”
Tepok Jidat.
Kita amat
akrab. Bercanda riang tampa batas. Kendati tidak resmi, aku berada di lingkaran
persahabatan itu. Mb Mir, Mb Mia, Mb Yus, Mb Iis, Aku, Kamu, Farid, Mb fifi.
Kita masih sering jalan-jalan kendatipun tidak pernah lengkap. Kalianlah yang
terhitung akrab dengan aku daripada teman kelas yang lain. Namun, suatu malam
seseorang pernah mengirimkan pesan singkat padaku. Bahwa berteman karena harta,
tidak akan lama. berteman karena kedudukan pasti akan sirna, berteman karena
pamrih, pasti akan kecewa. Kesimpulanku, berteman itu harus bebas dari penyakit
‘karena’. Aku tidak menangkap isyarat apa-apa, kuanggap itu hanya sekedar sms
biasa. “Belum ngantuk” katanya.
Lambat laun, aku merasakan jiwaku mulai dikotori oleh
penyakit ‘karena’ itu. Maka aku memutuskan untuk keluar sementara dari
lingkaran itu. Setidaknya sampai ‘karena’ itu bisa dikendalikan. Aku takut,
pak. Aku takut mencemari keakraban itu. Dan coba tebak, ‘karena’ itu bukan
makin hilang. Tapi tambah parah. Semakin parah. Maka aku sukses mencemari
hubungan keakraban itu. Aku mengkhianati pertemanan dengan dua diantaranya.
Maka, kalian jangan ragu, aku memang sudah menyiapkan
diri untuk didepak dari lingkaran persahabatan itu. Tentang alasan-alasan macam
kesibukan penerbitan, tanggung jawab organisasi, Kesibukan belajar, Bla Bla
Bla.
Itu cuma alasan pak.
Masih ingin jadi sepertiku?
Tapi aku sering menyaksikan kalian setelah itu. Aku
selalu membaca update status atau foto salah satu diantara kalian selepas pergi
ke suatu tempat. ya maaf, aku permisi merasa sakit hati karena tidak diajak.
Aku ingin sekali kembali seperti dulu. Tapi resiko, aku sudah tercemar, aku
tidak boleh ikut kalau takut merusak suasana. Kasian mbyus, dia berusaha
menetralisir keadaan. Berkali-kali dia mencoba memasukkanku kedalam lingkaran.
Dan setiap itu pula suasana rusak parah. Alih-Alih akrab, Jadi semakin pahit
saja.
Soal cemburu itu, baiklah kuakui itu memang benar.
Aku jadi sedikit sensitif padamu. Maaf maaf maaf. Tentu saja Rumusan jadi
pintar, Populer, pegang kekuasaan, pemimpin forum, dan tukang teriak bukan
resep yang tepat membuat mb mir tertarik padaku. Dan sialan, aku tidak siap
kalah! Aku memangkas komunikasi denganmu. Sikap yang tidak layak sebagai
seorang laki-laki. Bahkan hingga perasaan kepada mb mir secara total teralihkan
pada orang lain yang memiliki pesoa berkali-kali lipat lebih kuat, aku belum
bisa menerima kekalahanku secara sempurna pak.
Tapi mungkin sekarang aku sudah sadar. Kuharap kita
bisa berteman lagi semester depan. Aku tidak punya banyak untuk diungkapkan.
Hanya;
Satu, Aku mengaku kalah
Dua, kamu jauh
lebih beruntung daripada aku
Tiga, Jaga dia baik-baik.. perempuan macam itu jarang
jaman sekarang.
Dan seperti katamu... addunya mata’un, wa khaira
mata’iha Al Maratus Shalihah
Hahc . . :o
BalasHapus"aku ingat dulu kita pernah mandi berdua. Katanya, antar laki-laki itu baru bisa jadi teman sejati kalau sudah telanjang bersama-sama."..
haduhc .. no Coment kalo ini..
mmh..
Menjadi lebih terbuka kalo gNi..
berHarap tagh merusak Persahabatan yg Indah dengan msalah sperti ne, tpi susah memang menerapkanx..
hehe *sogh tw..
Tetap Genggam Tangan dan Saling Berpelukan .. ^^