Untuk... Nur Istiqamah
Aku rindu masa-masa dulu, is.
Tidak ada yang salah dengan kamu, tidak ada yang salah diantara kita.
Hanya saja, setahun terakhir aku harus meminimalisir kontak dengan kamu.
Masa-masa ini aku harus fokus. Karena transisi sedang begulir. Orang atau kelompok yang tidak berhasil selamat pada masa-masa transisi itu akan terdepak dari peredaran. Aku harus fokus pada kewajibanku. Dan meninggalkan yang tidak begitu penting. Teman-temanku menyebutnya, ‘seleksi alam’. Sedang kamu bisa memicu reaksi kimia berlebih di otakku. Beberapa detik kontak visual saja, aku harus stabilisasi beberapa jam. Kontak fisik berupa tepukan di bahu, aku butuh purifikasi berminggu-minggu.
Tapi nanti, kamu boleh melakukannya dengan bebas,
seperti dulu. I swear J
Disini aku tidak akan menceritakan tentang isi
pikiran dan lamunanku setahun terakhir. Tidak akan kecuali aku cukup bodoh
untuk membuat kamu lebih benci padaku. Yah, tulisan tentang kamu termasuk top
high super secret yang tak
seorangpun boleh tahu. Kukunci rapat-rapat dan mungkin kubuka nanti disaat yang
tepat. Atau malah tak akan pernah kubuka kembali ? yah, tidak tahulah itu kan
urusan nanti. Yang akan kuceritakan disini, adalah yang kamu benar-benar harus
tahu.
Awal-awal ramadhan aku menyempatkan diri mengunjungi
tempat itu. Tampat dimana kontrak itu dibuat. Sebelum-sebelumnya, setiap
melewati tampat itu kepalaku selalu berdengung hebat. Lalu aku akan mengambil
langkah seribu menjauh dari situ. Karena ada sebuah iblis yang keluar dari
situ. Teror gelap yang mengejar dan menggelantungi bahuku. Malam ini, aku
datang menghadap iblis itu. Menguatkan kakiku agar tidak lari seperti pengecut.
Kedati kepalaku mau pecah setiap detiknya. Iblis itu bernama ‘janji yang tak
ditepati.’
Aku akan menceritakannya dari awal.
Kenal Imam Sibawaih?, beliau Ilmuwan besar dalam ilmu
nahwu. Ilmu yang berisi kaidah yang kamu hafal di bait-bait nadzam ‘Imrithi.
Ia dulu pernah belajar pada seorang guru. Konon imam sibawaih ini memiliki
wajah tampan. Terlalu tampan untuk ukuran seorang pemuda. Diceritakan kulit
wajahnya putih bening dihiasi rona merah. Sang guru menghadapi kesulitan besar
saat mengajar beliau. sampai-sampai kegiatan pembelajaran dilakukan dengan
batas tirai.
Mungkin aku juga seperti itu. Hahaha..
Aku dan lima kawanku adalah mahasiswa baru. tapi
kendati demikian, bahkan kakak-kakak kabinet SEMA semester 8-pun menaruh hormat
pada kami. Karena sebuah fakta, bahwa kami berenam adalah murid dari seorang
guru. Guru besar bagi seluruh mahasiswa super di fakultas dakwah. Kalau kamu
ingat, beliau muncul sekali pada waktu oskar kita. Waktu itu aku langsung jatuh
cinta pada logika retorik-nya yang mempermainkan ratusan orang dalam waktu
bersamaan. Dan itu cuma permulaannya, kami ditakdirkan bertemu lagi di
forum-forum selanjutnya. Dan beliau berkali-kali lebih mengagumkan daripada
oskar. Aku penasaran siapa beliau.
Tuhan mempertemukan kami. Dan yang terpilih jadi
muridnya adalah enam orang mahasiswa dakwah semester dua, termasuk aku. Bangga
sekali aku dibuatnya. Kamipun duduk melingkarinya di suatu dinihari. Membuat
kontrak belajar. Kami berjanji mematuhinya, beliau berjanji membimbing kami. Di
akhir pertemuan, beliau mengucapkan sebuah kalimat yang membuat tenggorokanku
tercekat.
Wala tas’alni syai’in hatta uhditsa lahu dzikra...
Kan, mirip perjanjian antara khidir dan musa.
Waktu terus berjalan. Kamu waktu itu bilang ingin
belajar sesuatu dariku. Dan itulah awal aku membuat kesepakatan paling konyol
sejagat raya. Namun, niatku waktu itu adalah tidak hanya sekedar mengajarimu
bagaimana menyelesaikan makalah. Targetku adalah kamu punya wawasan dan
tatacara berpikir. Hingga lepas dariku pun, kamu tidak akan berhenti belajar.
Belajar untuk tahu, belajar untuk mengerti, belajar untuk menjadi, dan belajar
untuk hidup. Belajar seperti itu, jauh lebih penting daripada menyelesaikan
makalah atau yang paling remeh, jadi pintar.
At least, meskipun kamu bukan muridku lagi,
setidaknya ketahuilah ini.
Hubungan guru murid adalah relasi suci.
Ayahku pernah bilang, menemukan guru pembimbing itu
seperti menemukan jodoh. Belum tentu terjadi pada satu diantara sepuluh ribu
hidup manusia. Tapi, kamu jangan khawatir, dalam sejarah, banyak juga hubungan
keguruan yang kandas. Musa dan Khidir, Hasan Bashri dan Washil bin Athak, Imam Malik dan Syafi’i, mereka semua
putus karena beda pemahaman. Lagipula, aku yang terlebih dahulu melanggar
perjanjian kita. Biar aku yang menanggung bebannya kelak di akhirat. Lagipula,
kamu sekarang punya relasi yang lebih penting dari semuanya. Jaga itu. Jangan
sampai kandas.
Jangan tanya
aku. Akupun berkhianat dengan memutuskan relasi keguruan dengan Guruku. walaupun
bukan sepenuhnya kehendakku. Aku mengkhianatimu, juga mengkhianatinya. Saat ini
proses belajarku-pun mandek. Kebijaksanaan terhenti mengalir ke sanubariku.
Entah, aku merasa cahaya ilmu kini tidak lagi menerangi jalanku. Dan mulai
sekarang aku harus bekerja keras memperbaikinya dengan berbagai macam tebusan.
Dan maafmu, adalah prasyarat utamanya.
Malam itu, mungkin kamu yang meminta belajar padaku.
Namun, di balik itu, tuhan yang sedang memulai pelajaran barunya bagiku.
Pelajaran yang diberikannya melalui cambuk dan rotan. Dengan siksaan sakit di
setiap detiknya. namun, kamu harus tahu, belajar adalah ibadah, belajar dalah
intisari kehidupan. Hal yang membuat kita menjadi manusia yang mulya. Belajar
untuk menjadi pintar adalah perkara mudah. Yang sulit adalah Belajar memberi,
meski tak seberapa. Belajar memahami, meski tak sehati. Belajar ikhlas, meski tak rela. Belajar Taat, meski
berat. Belajar menyayangi, meski tersakiti. belajar mencinta, meski terluka. Belajar
setia, meski tergoda.
Dan aku belajar banyak sekali dari kamu.
Jadi, kamu
memaafkanku kan, is?
It may take a
hundred mistakes, to Act Right..
It may need a
Thousand Lies, to speak the truth...
And I may bear
milions of hatred... to understand...
Love
0 komentar :
Posting Komentar