Kamis, 15 Agustus 2013

Empty Promise

Surat Kelima Belas, Purnama Ramadhan, 1434 H.
Untuk...  Nur Istiqamah
               
Aku rindu masa-masa dulu, is.
Tidak ada yang salah dengan kamu, tidak ada yang salah diantara kita. Hanya saja, setahun terakhir aku harus meminimalisir kontak dengan kamu.
The temptation to be with you, is too hard... to resist
  
           Masa-masa ini aku harus fokus. Karena transisi sedang begulir. Orang atau kelompok  yang tidak berhasil selamat pada masa-masa transisi itu akan terdepak dari peredaran. Aku harus fokus pada kewajibanku. Dan meninggalkan yang tidak begitu penting. Teman-temanku menyebutnya, ‘seleksi alam’. Sedang kamu bisa memicu reaksi kimia berlebih di otakku. Beberapa detik kontak visual saja, aku harus stabilisasi beberapa jam. Kontak fisik berupa tepukan di bahu, aku butuh purifikasi berminggu-minggu.
                Tapi nanti, kamu boleh melakukannya dengan bebas, seperti dulu. I swear  J
                Disini aku tidak akan menceritakan tentang isi pikiran dan lamunanku setahun terakhir. Tidak akan kecuali aku cukup bodoh untuk membuat kamu lebih benci padaku. Yah, tulisan tentang kamu termasuk top high super secret  yang tak seorangpun boleh tahu. Kukunci rapat-rapat dan mungkin kubuka nanti disaat yang tepat. Atau malah tak akan pernah kubuka kembali ? yah, tidak tahulah itu kan urusan nanti. Yang akan kuceritakan disini, adalah yang kamu benar-benar harus tahu.
                Awal-awal ramadhan aku menyempatkan diri mengunjungi tempat itu. Tampat dimana kontrak itu dibuat. Sebelum-sebelumnya, setiap melewati tampat itu kepalaku selalu berdengung hebat. Lalu aku akan mengambil langkah seribu menjauh dari situ. Karena ada sebuah iblis yang keluar dari situ. Teror gelap yang mengejar dan menggelantungi bahuku. Malam ini, aku datang menghadap iblis itu. Menguatkan kakiku agar tidak lari seperti pengecut. Kedati kepalaku mau pecah setiap detiknya. Iblis itu bernama ‘janji yang tak ditepati.’
                Aku akan menceritakannya dari awal.

            Kenal Imam Sibawaih?, beliau Ilmuwan besar dalam ilmu nahwu. Ilmu yang berisi kaidah yang kamu hafal di bait-bait nadzam ‘Imrithi. Ia dulu pernah belajar pada seorang guru. Konon imam sibawaih ini memiliki wajah tampan. Terlalu tampan untuk ukuran seorang pemuda. Diceritakan kulit wajahnya putih bening dihiasi rona merah. Sang guru menghadapi kesulitan besar saat mengajar beliau. sampai-sampai kegiatan pembelajaran dilakukan dengan batas tirai.
                Mungkin aku juga seperti itu. Hahaha..
                Aku dan lima kawanku adalah mahasiswa baru. tapi kendati demikian, bahkan kakak-kakak kabinet SEMA semester 8-pun menaruh hormat pada kami. Karena sebuah fakta, bahwa kami berenam adalah murid dari seorang guru. Guru besar bagi seluruh mahasiswa super di fakultas dakwah. Kalau kamu ingat, beliau muncul sekali pada waktu oskar kita. Waktu itu aku langsung jatuh cinta pada logika retorik-nya yang mempermainkan ratusan orang dalam waktu bersamaan. Dan itu cuma permulaannya, kami ditakdirkan bertemu lagi di forum-forum selanjutnya. Dan beliau berkali-kali lebih mengagumkan daripada oskar. Aku penasaran siapa beliau.
                Tuhan mempertemukan kami. Dan yang terpilih jadi muridnya adalah enam orang mahasiswa dakwah semester dua, termasuk aku. Bangga sekali aku dibuatnya. Kamipun duduk melingkarinya di suatu dinihari. Membuat kontrak belajar. Kami berjanji mematuhinya, beliau berjanji membimbing kami. Di akhir pertemuan, beliau mengucapkan sebuah kalimat yang membuat tenggorokanku tercekat.
                Wala tas’alni syai’in hatta uhditsa lahu dzikra...
                Kan, mirip perjanjian antara khidir dan musa.
                Waktu terus berjalan. Kamu waktu itu bilang ingin belajar sesuatu dariku. Dan itulah awal aku membuat kesepakatan paling konyol sejagat raya. Namun, niatku waktu itu adalah tidak hanya sekedar mengajarimu bagaimana menyelesaikan makalah. Targetku adalah kamu punya wawasan dan tatacara berpikir. Hingga lepas dariku pun, kamu tidak akan berhenti belajar. Belajar untuk tahu, belajar untuk mengerti, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup. Belajar seperti itu, jauh lebih penting daripada menyelesaikan makalah atau yang paling remeh, jadi pintar.
                At least, meskipun kamu bukan muridku lagi, setidaknya ketahuilah ini.
                Hubungan guru murid adalah relasi suci.
                Ayahku pernah bilang, menemukan guru pembimbing itu seperti menemukan jodoh. Belum tentu terjadi pada satu diantara sepuluh ribu hidup manusia. Tapi, kamu jangan khawatir, dalam sejarah, banyak juga hubungan keguruan yang kandas. Musa dan Khidir, Hasan Bashri dan Washil bin  Athak, Imam Malik dan Syafi’i, mereka semua putus karena beda pemahaman. Lagipula, aku yang terlebih dahulu melanggar perjanjian kita. Biar aku yang menanggung bebannya kelak di akhirat. Lagipula, kamu sekarang punya relasi yang lebih penting dari semuanya. Jaga itu. Jangan sampai kandas.
                  Jangan tanya aku. Akupun berkhianat dengan memutuskan relasi keguruan dengan Guruku. walaupun bukan sepenuhnya kehendakku. Aku mengkhianatimu, juga mengkhianatinya. Saat ini proses belajarku-pun mandek. Kebijaksanaan terhenti mengalir ke sanubariku. Entah, aku merasa cahaya ilmu kini tidak lagi menerangi jalanku. Dan mulai sekarang aku harus bekerja keras memperbaikinya dengan berbagai macam tebusan. Dan maafmu, adalah prasyarat utamanya.
                Malam itu, mungkin kamu yang meminta belajar padaku. Namun, di balik itu, tuhan yang sedang memulai pelajaran barunya bagiku. Pelajaran yang diberikannya melalui cambuk dan rotan. Dengan siksaan sakit di setiap detiknya. namun, kamu harus tahu, belajar adalah ibadah, belajar dalah intisari kehidupan. Hal yang membuat kita menjadi manusia yang mulya. Belajar untuk menjadi pintar adalah perkara mudah. Yang sulit adalah Belajar memberi, meski tak seberapa. Belajar memahami, meski tak sehati. Belajar  ikhlas, meski tak rela. Belajar Taat, meski berat. Belajar menyayangi, meski tersakiti. belajar mencinta, meski terluka. Belajar setia, meski tergoda.

                Dan aku belajar banyak sekali dari kamu.
                Jadi, kamu memaafkanku kan, is?



                It may take a hundred mistakes, to Act Right..
                It may need a Thousand Lies, to speak the truth...
                And I may bear milions of hatred... to understand...
                Love

0 komentar :

Posting Komentar