Rabu, 07 Agustus 2013

Doesn’t Worth Any Tears


Surat Keduabelas, 12 Ramadhan 1434 H.
Untuk, Nonik Maulidiyah

Berkali-kali aku membuatmu menangis.
Sampai sekarang, aku belum bisa menebusnya.


                Tulisan ini sebenarnya sudah lama, bagian dari cerita semester dua. Namun, rasa bersalah terlampau menekan jari-jariku untuk meneruskannya. Tapi bagaimanapun, aku berjanji akan jujur menuliskan semuanya. Malam ini aku harus memanggil kembali rasa bersalahku itu untuk mengingatmu. Mengingat bagaimana aku menghancurkan makhluk yang begitu lembut dengan lidah tajamku. aku harus memanggil teror itu kembali dan membiarkannya menyelimuti ruangan ini.
                Dik..
                Aku minta ijin memakai panggilan itu. Sekali ini saja.
                Tiga minggu setelah PKD, aku tidak ingat tanggalnya. Aku barusaja sembuh dari tifus dan demam berdarah. Duduk sendirian di bis yang melaju menuju Surabaya. Aku memaksa untuk kembali hari ini. Sudah terlalu lama, pikirku. Sepanjang jalan itu, aku memikirkanmu. Tak henti-henti.
Kamu yang baik,  ramah dan periang. Ekspresif, sebentar tenang dalam diam, sebentar kemudian menjerit senang. Tertawa, kemudian tiba tiba cemberut tanpa sebab. Bayangan-bayangan itu muncul bersama pohon-pohon yang berlarian di samping bis. Lalu muncul bayanganmu saat sedang menangis. Kepalaku mendadak mendengung keras. Keras sekali.
                Kudengar kamu sakit. Pantas hari itu wajahmu pucat tak bersinar. Kamu baru saja menyelesaikan tugas kelompok dengan yani dan fatimah. Mereka berdua pulang. Aku menyempatkan diri menemanimu menunggu jemputan di lapangan kampus. Siang itu panas. Namun teratasi berkat naungan pohon, angin semilir, dan es dawet pemberian Yani. Dari situ mengalirlah ceritamu. Cerita yang membuatku bangga dan bersyukur di bagian awalnya, terkejut dan beristighfar di bagian tengahnya. Serta diam tercekat di bagian akhirnya.
                Aku tak tahu kamu menyimpan perasaanmu padaku.
                Sungguh, aku tidak tahu, dik.

                Tapi aku terlanjur melukaimu. Itu harus kulakukan dik. Karena waktu itu aku masih penganut satanisme. Aku melihat kamu adalah seorang perempuan perasa. Amat perasa. Aku tidak yakin kamu akan mampu menerima sifat-sifatku. Aku pemuja inkarnasi kegelapan. Aku menahbiskan diri jadi setan. Dan aku masih lebih menyenangi kata kebencian daripada cinta. Karena seperti yang kuceritakan pada Mb Lia, aku ini seorang pembenci. Aku takut jika kamu terlanjur bersamaku, kamu tidak akan mampu menerima sifat keras dan egoismeku. Aku takut semakin menghancurkanmu. Padahal, untuk seorang gadis sepertimu, tidak akan lama dan sulit menemukan laki-laki yang rela menaruh hatinya padamu.   
Itu pertama kalinya pula, aku melihat air matamu jatuh. Mutiara bening itu jatuh untuk sesuatu yang tidak pantas. Amat tidak pantas.
                Hatiku sama teririsnya waktu itu, ini keputusan sulit, sudah lama aku mendambakan punya seorang kekasih. Dan inilah kesempatannya. Datang dengan terbuka. Tapi Entah dik, kususuri ke dalam hati paling dalam pun, Aku tak menemukan sesuatu untuk membalas perasaanmu. Aku ini memang pemuda tidak normal.
                Aku masih tertegun melihatmu melangkah pergi. Ada isyarat jelek di hati ini. Aku sadar, detik ini adalah titik penentu. Jika keputusanku ini adalah bijaksana, aku mungkin sudah menyelamatkan perasaan lembut seorang gadis. Tapi jika ini keputusan bodoh, aku akan menanggung penyesalan seumur hidupku.
                Aku kembali ke arta, seolah tak terjadi Apa-apa. Malam harinya, aku mimpi buruk bangun dalam suhu tubuh tinggi. aku berangkat PKD dengan tubuh menggigil. Sepulangnya aku diganjar tiga minggu lumpuh di tempat tidur.
                “Kamu perempuan pertama yang menyatakan perasaannya padaku.”
                “dan pean orang pertama yang menolak pernyataan itu.”
*****
                Kamu belum resmi memaafkanku tentang kejadian di masjid tempo hari. Kamu tahu dik, interaksi denganmu sejak itu terasa menakutkan. Sehati-hati apapun, tangan kasarku mungkin akan merontokkan bunga yang terlampau lembut. Aku jadi takut, membalas pesanmu saja sampai seberat ini. Kamu paham dik, aku takut sekali. Turun dari masjid pagi itu aku merasa sepasukan malaikat melotot dari langit padaku. Mengokang tombak api raksasa siap ditembakkan ke lidahku yang menjijikkan ini. Begitu kesempatan mengejarmu sirna, aku berlari ke Ara Aita dan membenamkan kepala di bawah bantal. Suara tangisanmu mendengung keras di kepalaku.
               
Itu pula yang membuatku berlari kencang saat kamu memanggilku di depan BTN suatu pagi.

                Aku berkali-kali membuatmu menangis.
Ini belum terhitung insiden saat presentasi Civic Education. Belum saat aku terlihat olehmu duduk bersama tika. Belum saat aku mengamuk di kelas. Belum ketika aku menumpahkan emosiku di berbagai forum. Terakhir, saat aku memintamu untuk syut video kenangan kelas. Banyak sekali, tak terhitung berapa kali aku menyakitimu.
                Entahlah, tapi hati dan pikiran ini selalu saja bertentangan. Di satu sisi, banyak yang tidak kusetujui dari sikap-sikapmu. Dan untuk itu aku harus bertindak offensif. Karena maaf dik, maaf sekali, sikap-sikap seperti itulah yang rawan menimbulkan perpecahan. Dan aku dilatih untuk mengatakan kebenaran,sepahit apapun itu. Di satu sisi. Aku  kadang masih disergap perasaan bersalah. Dua sisi yang membuatku jadi orang plin-plan. Suatu waktu memusuhimu, suatu waktu bermanis-manis padamu. Aku bingung, dik. BINGUNG, antara perasaan dan pikiranku. Karena kamu tak kunjung mengerti. Aku melakukan itu karena aku menyayangi teman-temanku.
       
            Maaf ketika kamu membaca ini mungkin aku menggores kembali luka lama diantara kita.
               
           Aku ingin tak lama lagi kamu sudah punya kekasih. Seorang laki-laki yang menyayangimu lebih dari apapun. Yang mengusap air matamu dan mengobati seluruh lukamu. Jangan tutup hatimu, dik! Jangan jadi sepertiku. Kesuksesan bukan alasan kita untuk menunda Cinta. Kesuksesan tak mampu mengobati hati kita. Tak mampu melengkapi hidup kita. Aku sangat ingin melihat seseorang menggandeng mesra tanganmu. Memeluk bahumu. Mungkin saat itu aku akan bebas. Terbebas dari rasa bersalah ini.

            Kelak, jangan jatuhkan lagi airmatamu,
Karena pada setiap tetes yang jatuh, aku mungkin harus menebusnya dengan cambukan di punggungku. 








0 komentar :

Posting Komentar