Surat Keduabelas, 12 Ramadhan
1434 H.
Untuk, Nonik Maulidiyah
Berkali-kali aku membuatmu
menangis.
Sampai sekarang, aku belum
bisa menebusnya.
Tulisan ini sebenarnya sudah lama, bagian dari cerita
semester dua. Namun, rasa bersalah terlampau menekan jari-jariku untuk
meneruskannya. Tapi bagaimanapun, aku berjanji akan jujur menuliskan semuanya.
Malam ini aku harus memanggil kembali rasa bersalahku itu untuk mengingatmu.
Mengingat bagaimana aku menghancurkan makhluk yang begitu lembut dengan lidah
tajamku. aku harus memanggil teror itu kembali dan membiarkannya menyelimuti
ruangan ini.
Dik..
Aku minta ijin memakai panggilan itu. Sekali ini
saja.
Tiga minggu setelah PKD, aku tidak ingat tanggalnya. Aku
barusaja sembuh dari tifus dan demam berdarah. Duduk sendirian di bis yang
melaju menuju Surabaya. Aku memaksa untuk kembali hari ini. Sudah terlalu lama,
pikirku. Sepanjang jalan itu, aku memikirkanmu. Tak henti-henti.
Kamu yang baik, ramah dan periang. Ekspresif, sebentar tenang
dalam diam, sebentar kemudian menjerit senang. Tertawa, kemudian tiba tiba
cemberut tanpa sebab. Bayangan-bayangan itu muncul bersama pohon-pohon yang
berlarian di samping bis. Lalu muncul bayanganmu saat sedang menangis. Kepalaku
mendadak mendengung keras. Keras sekali.
Kudengar kamu sakit. Pantas hari itu wajahmu pucat
tak bersinar. Kamu baru saja menyelesaikan tugas kelompok dengan yani dan
fatimah. Mereka berdua pulang. Aku menyempatkan diri menemanimu menunggu
jemputan di lapangan kampus. Siang itu panas. Namun teratasi berkat naungan
pohon, angin semilir, dan es dawet pemberian Yani. Dari situ mengalirlah
ceritamu. Cerita yang membuatku bangga dan bersyukur di bagian awalnya,
terkejut dan beristighfar di bagian tengahnya. Serta diam tercekat di bagian
akhirnya.
Aku tak tahu kamu menyimpan perasaanmu padaku.
Sungguh, aku tidak tahu, dik.
Tapi aku terlanjur melukaimu. Itu harus kulakukan
dik. Karena waktu itu aku masih penganut satanisme. Aku melihat kamu adalah
seorang perempuan perasa. Amat perasa. Aku tidak yakin kamu akan mampu menerima
sifat-sifatku. Aku pemuja inkarnasi kegelapan. Aku menahbiskan diri jadi setan.
Dan aku masih lebih menyenangi kata kebencian daripada cinta.
Karena seperti yang kuceritakan pada Mb Lia, aku ini seorang pembenci. Aku
takut jika kamu terlanjur bersamaku, kamu tidak akan mampu menerima sifat keras
dan egoismeku. Aku takut semakin menghancurkanmu. Padahal, untuk seorang gadis
sepertimu, tidak akan lama dan sulit menemukan laki-laki yang rela menaruh
hatinya padamu.
Itu pertama kalinya pula, aku melihat air matamu jatuh. Mutiara bening
itu jatuh untuk sesuatu yang tidak pantas. Amat tidak pantas.
Hatiku sama teririsnya waktu itu, ini keputusan
sulit, sudah lama aku mendambakan punya seorang kekasih. Dan inilah kesempatannya.
Datang dengan terbuka. Tapi Entah dik, kususuri ke dalam hati paling dalam pun,
Aku tak menemukan sesuatu untuk membalas perasaanmu. Aku ini memang pemuda
tidak normal.
Aku masih tertegun melihatmu melangkah pergi. Ada
isyarat jelek di hati ini. Aku sadar, detik ini adalah titik penentu. Jika
keputusanku ini adalah bijaksana, aku mungkin sudah menyelamatkan perasaan
lembut seorang gadis. Tapi jika ini keputusan bodoh, aku akan menanggung
penyesalan seumur hidupku.
Aku kembali ke arta, seolah tak terjadi Apa-apa.
Malam harinya, aku mimpi buruk bangun dalam suhu tubuh tinggi. aku berangkat
PKD dengan tubuh menggigil. Sepulangnya aku diganjar tiga minggu lumpuh di
tempat tidur.
“Kamu perempuan pertama yang menyatakan perasaannya
padaku.”
“dan pean orang pertama yang menolak pernyataan itu.”
*****
Kamu belum resmi memaafkanku tentang kejadian di
masjid tempo hari. Kamu tahu dik, interaksi denganmu sejak itu terasa
menakutkan. Sehati-hati apapun, tangan kasarku mungkin akan merontokkan bunga
yang terlampau lembut. Aku jadi takut, membalas pesanmu saja sampai seberat
ini. Kamu paham dik, aku takut sekali. Turun dari masjid pagi itu aku merasa
sepasukan malaikat melotot dari langit padaku. Mengokang tombak api raksasa
siap ditembakkan ke lidahku yang menjijikkan ini. Begitu kesempatan mengejarmu
sirna, aku berlari ke Ara Aita dan membenamkan kepala di bawah bantal. Suara
tangisanmu mendengung keras di kepalaku.
Itu pula
yang membuatku berlari kencang saat kamu memanggilku di depan BTN suatu pagi.
Aku berkali-kali membuatmu menangis.
Ini belum terhitung insiden
saat presentasi Civic Education. Belum saat aku terlihat olehmu duduk bersama
tika. Belum saat aku mengamuk di kelas. Belum ketika aku menumpahkan emosiku di
berbagai forum. Terakhir, saat aku memintamu untuk syut video kenangan kelas.
Banyak sekali, tak terhitung berapa kali aku menyakitimu.
Entahlah, tapi hati dan pikiran ini selalu saja
bertentangan. Di satu sisi, banyak yang tidak kusetujui dari sikap-sikapmu. Dan
untuk itu aku harus bertindak offensif. Karena maaf dik, maaf sekali,
sikap-sikap seperti itulah yang rawan menimbulkan perpecahan. Dan aku dilatih
untuk mengatakan kebenaran,sepahit apapun itu. Di satu sisi. Aku kadang masih disergap perasaan bersalah. Dua
sisi yang membuatku jadi orang plin-plan. Suatu waktu memusuhimu, suatu waktu
bermanis-manis padamu. Aku bingung, dik. BINGUNG, antara perasaan dan
pikiranku. Karena kamu tak kunjung mengerti. Aku melakukan itu karena aku
menyayangi teman-temanku.
Maaf ketika kamu membaca ini mungkin aku menggores
kembali luka lama diantara kita.
Aku ingin tak lama lagi kamu sudah punya kekasih.
Seorang laki-laki yang menyayangimu lebih dari apapun. Yang mengusap air matamu
dan mengobati seluruh lukamu. Jangan tutup hatimu, dik! Jangan jadi sepertiku.
Kesuksesan bukan alasan kita untuk menunda Cinta. Kesuksesan tak mampu
mengobati hati kita. Tak mampu melengkapi hidup kita. Aku sangat ingin melihat
seseorang menggandeng mesra tanganmu. Memeluk bahumu. Mungkin saat itu aku akan
bebas. Terbebas dari rasa bersalah ini.
Kelak, jangan jatuhkan lagi airmatamu,
Karena pada setiap tetes yang jatuh, aku mungkin harus menebusnya
dengan cambukan di punggungku.
0 komentar :
Posting Komentar