Minggu, 06 Januari 2013

Mother’s Vision and Father’s Order




LPM Ara-Aita, Masjid Ulul Albab, minggu-minggu terakhir

            Sekali lagi, “Wireless” Ghaib Ummi bekerja.
Ketahuilah kawan, antara aku dan ibuku terjalin ikatan aneh. Kami tersambung kuat secara batin. Dulu, semasa aku nyantri, beberapa kali aku diserang penyakit. Dan aku memilih diam, tidak melaporkannya pada orangtuaku. Namun, hanya butuh beberapa saat hingga ummi menelpon lalu menanyakan “fiq, kamu sakit ya?.” Hebat, beliau bisa tahu keadaanku di jauh sana hanya lewat mimpi yang diisyaratkan oleh yang diatas.

            Dan sore itu, Abah mengeluarkan perintah yang membuat lututku lemas seketika.
            Aku tidak habis pikir, padahal seluruh problematika hidupku di kampus sudah demikian kusimpan rapat-rapat. Tidak usahlah mereka tahu. Itu masalahku sendiri. Apalagi masalah hati yang sedang terobsesi dengan seorang perempuan. Jangan Sampai Bocor!. Namun, sore itu, ummi menanyakan apa sebenarnya yang terjadi padaku, karena she saw me in the vision aku sedang menenteng kardus, di sebuah jalan, sendirian, di tengah malam pula.
            Aku menganga.
            Yaiks, penggambarannya tepat sekali.

            Akhirnya, tumpahlah seluruh ceritaku sore itu pada mereka. Visi-nya di mimpi itu adalah aku yang tengah diusir dari KAMANURJA. Tentang belajarku, organisasiku. Posisi dan tanggung jawab yang membuatku kurus. Kepalaku yang sering sakit. Punggung yang semakin parah. Walaupun mereka tidak mungkin paham tentang kemelut konflik dimana aku terjebak di tengah-tengahnya. Tentang semangat yang mulai meredup. Tentang impian yang mulai diambang kehancuran. Dan, sebagainya. Aku berpikir, mungkin abah akan memberiku semangat yang akan membantuku bertahan di LPM. Namun,  siapa sangka perintah yang keluar dari lisannya berbunyi.
            “Tinggalkan belajarmu pada dia fiq, Abi melihat Isyarat buruk..”
           
Aku menganga. Lagi.
Abah menceritakan, malam saat Ummi selesai memimpikanku, beliau secara khusus mengistikharahkan ijin kontrak berguruku pada sang guru. Dulu, saat aku meminta persetujuannya, beliau tidak memberikan keputusan apa-apa. Dan dalam mimpinya…
“Abi melihat Air jernih, perlambang Ilmu yang murni.”
Namun, setelah itu beliau melihat…
“tiba-tiba ad` cairan hitam memancar deras. Perlambang kemurnian yang tercemar.”
Lalu, beliau menegaskan…
“Tinggalkan belajarmu padanya, fiq…”
Haduuh, makin membingungkan saja.
Pusing. Kalut. Gelisah. Selepas kepulangan mereka pikiranku makin kacau saja. Alih-alih mendapatkan kekuatan untuk bertahan. Malah kini gambaran akan kehancuran yang semakin jelas. Aku membatin..
Abah, taat pada perintahmu adalah kewajibanku. Namun, mengapa saat ini?, mengapa sekarang?, mengapa disaat pertempuran sedang berkecamuk, kau perintahkan aku untuk berlari mundur. Aku ingin menjadi laki-laki berjiwa ksatria sepertimu. Namun, kenapa kau perintahkan aku untuk kabur seperti seorang pengecut?, tak sadarkah kau akan posisiku? pasukan akan pecah kalau tidak ada aku. Tuhan, apa maksud semua isyarat itu?
Arrrghhhh….
           

One by one the pieces fall…
            Untill our pride defeats us All..
            Or we learn to life without it…



NB ; Episode ini aku lupa tanggalnya, namun, sore itu aku mentraktir Iis dan Mb yus makan bakso gepuk. Lupakan dulu pertempuran, yang penting makaaaannn…

0 komentar :

Posting Komentar