LPM Ara-Aita, Masjid Ulul Albab,
minggu-minggu terakhir
Ketahuilah kawan,
antara aku dan ibuku terjalin ikatan aneh. Kami tersambung kuat secara batin.
Dulu, semasa aku nyantri, beberapa kali aku diserang penyakit. Dan aku memilih
diam, tidak melaporkannya pada orangtuaku. Namun, hanya butuh beberapa saat hingga
ummi menelpon lalu menanyakan “fiq, kamu sakit ya?.” Hebat, beliau bisa tahu
keadaanku di jauh sana hanya lewat mimpi yang diisyaratkan oleh yang diatas.
Dan sore itu, Abah mengeluarkan
perintah yang membuat lututku lemas seketika.
Aku tidak habis pikir, padahal
seluruh problematika hidupku di kampus sudah demikian kusimpan rapat-rapat.
Tidak usahlah mereka tahu. Itu masalahku sendiri. Apalagi masalah hati yang
sedang terobsesi dengan seorang perempuan. Jangan Sampai Bocor!. Namun, sore
itu, ummi menanyakan apa sebenarnya yang terjadi padaku, karena she saw me
in the vision aku sedang menenteng kardus, di sebuah jalan, sendirian, di
tengah malam pula.
Aku menganga.
Yaiks, penggambarannya tepat sekali.
Akhirnya, tumpahlah seluruh ceritaku
sore itu pada mereka. Visi-nya di mimpi itu adalah aku yang tengah diusir dari
KAMANURJA. Tentang belajarku, organisasiku. Posisi dan tanggung jawab yang
membuatku kurus. Kepalaku yang sering sakit. Punggung yang semakin parah. Walaupun
mereka tidak mungkin paham tentang kemelut konflik dimana aku terjebak di
tengah-tengahnya. Tentang semangat yang mulai meredup. Tentang impian yang
mulai diambang kehancuran. Dan, sebagainya. Aku berpikir, mungkin abah akan
memberiku semangat yang akan membantuku bertahan di LPM. Namun, siapa sangka perintah yang keluar dari
lisannya berbunyi.
“Tinggalkan belajarmu pada dia fiq,
Abi melihat Isyarat buruk..”
Aku
menganga. Lagi.
Abah
menceritakan, malam saat Ummi selesai memimpikanku, beliau secara khusus
mengistikharahkan ijin kontrak berguruku pada sang guru. Dulu, saat aku meminta
persetujuannya, beliau tidak memberikan keputusan apa-apa. Dan dalam mimpinya…
“Abi
melihat Air jernih, perlambang Ilmu yang murni.”
Namun,
setelah itu beliau melihat…
“tiba-tiba
ad` cairan hitam memancar deras. Perlambang kemurnian yang tercemar.”
Lalu,
beliau menegaskan…
“Tinggalkan
belajarmu padanya, fiq…”
Haduuh,
makin membingungkan saja.
Pusing.
Kalut. Gelisah. Selepas kepulangan mereka pikiranku makin kacau saja. Alih-alih
mendapatkan kekuatan untuk bertahan. Malah kini gambaran akan kehancuran yang
semakin jelas. Aku membatin..
Abah,
taat pada perintahmu adalah kewajibanku. Namun, mengapa saat ini?, mengapa
sekarang?, mengapa disaat pertempuran sedang berkecamuk, kau perintahkan aku
untuk berlari mundur. Aku ingin menjadi laki-laki berjiwa ksatria sepertimu.
Namun, kenapa kau perintahkan aku untuk kabur seperti seorang pengecut?, tak
sadarkah kau akan posisiku? pasukan akan pecah kalau tidak ada aku. Tuhan, apa
maksud semua isyarat itu?
Arrrghhhh….
One
by one the pieces fall…
Untill our pride defeats us All..
Or we learn to life without it…
NB ; Episode ini aku
lupa tanggalnya, namun, sore itu aku mentraktir Iis dan Mb yus makan bakso
gepuk. Lupakan dulu pertempuran, yang penting makaaaannn…
0 komentar :
Posting Komentar