Minggu, 06 Januari 2013

2


Ekspedisi Muharram;
Master and Apprentice
Situbondo, Minggu, 18 November 2012. Decoding  the Spell of Command Aura...
               
                Plato dan Socrates,
                Khidir dan Musa
                Hasan Bashri dan Washil bin Atha’
                Malik dan  Syafi’i                                                                                                                               
                Bonang dan kalijaga.

                Every great Apprentices, Have their great Masters.


Nama sungai ini sampean, artinya kamu. Sungai yang menyimpan bayangan kengerian air bah yang meluluhlantakkan situbondo tahun 2004. Kata ayah, air adalah sosok yang paling bisa menjadiapa saja, sumber kehidupan, sekaligus pencabut nyawa. Dengan uang setipis ini, jadwal kuliah yang padat, dan kondisi badan yag tidak fit, aku malas melakukan perjalanan sejauh ini. Apalagi, yah.. kau tahulah, kadar rindu jadi berlipat-lipat kalau duduk di bis berjam-jam, memandangi jalan raya. Wajahnya memantul dimana-mana. Yah, tapi demi beliau, guruku, pembimbingku, penolongku. Aku tidak keberatan.
Hubungan  keguruan adalah relasi suci.
Guru tidak sembarang guru. Guru tidak hanya sekadar laki-laki berkumis yang angger-angger duduk memberi pelajaran,tugas ini-itu, lalu marah-marah seenaknya. Seorang guru sejati adalah penjelmaan sang maha Mursyid. Yang bertanggung jawab penuh atas spiritual kita. Yang menunjukkan kita jalan menuju kesejatian. Kata ayahku, bertemu seorang guru, Ibarat bertemu jodoh.  sebuah takdir yang begitu mahal. Anugrah yang jarang sekali terjadi. Hanya sedikit orang yang beruntung saja yang dapat bertemu dengan gurunya.
 Aku tiba-tiba ingat sahabatku, Alifadar, atau sitopo gila. Hahaha...
Kami sempat mendiskusikan dawuh KH. Abdul Haq Zaini di suatu malam yang sepi di emperan Musholla Roudlatul Qur’an. Dawuh beliau, ada dua cara seorang manusia bisa sampai pada tuhannya. Ada yang Murid (Berkehendak) ada yang Murad (dikehendaki). Murad adalah orang yang secara khusus digariskan untuk sampai pada tuhannya. Sedangkan Murid, adalah seseorang yang tidak digariskan secara khusus untuk sampai pada Yang Maha Tunggal, namun, dia memiliki keinginan kuat untuk bertemu tuhannya. Menempa diri dengan Riyadhah-Riyadhah. Lidahnya tidak berhenti berdzikir. Dan hatinya sedapat mungkin diarahkan hanya pada sang Tunggal. Biasanya, Allah mengirimkan seorang guru yang akan membimbingnya hingga pencapaian akhir yang diimpikan setiap jiwa murni manusia; Unity with TheAlmighty.
Alangkah bahagianya manusia semacam itu. Gumam kami berdua.
Sore itulah kami berjanji. Untuk menemukan sang guru sejati. Guru kami masing-masing. Kami berdua memang jauh dari kata manusia shalih. Tak secuilpun tanda-tanda bahwa kami adalah seorang Murad. Ibadah jarang, shalat bolong-bolong. Suka kabur waktu pengajian. Biang kerok pembangkang peraturan. Jangankan riyadhah, Hadiran saja pantat serasa panas inginya segera cepat-cepat pergi ke “Muslim”. Tapi minimal, secuil hati kami punya keinginan. Keinginan untuk sampai pada sang mahakuasa. Walaupun tidak bisa masuk kedalam rumah, minimal kami bisa duduk di serambinya. Kalau tidak bisa, cukup di terasnya, kalaupun tidak mungkin, mungkin kami boleh sekedar berdiri di halamannya. Kalaupun itu masih terlalu utopis, kami, cukup bahagia bisa melihat rumah itu dari seberang jalan.
                Ya Allah, akankah keinginan kami terkabul?
                Hey, topo gila, sudahkan kau bertemu gurumu? 
Mau dengar ceritaku? Aku sebenarnya telah bertemu guruku. Setidaknya sebelum ayah menyuruhku utuk berhenti belajar padanya. Namun aku ragu apakah ini yang sejati atau tidak. Beliau punya semua klasifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pembimbing. Semua perkataan, perbuatan, dan tindakannya telah cukup menggambarkan bahwa beliau telah mencapai derajat Pemahaman, bukan pengetahuan lagi. Namanya tersohor dimana-mana. Bahkan beliau hampir dikultuskan oleh orang-orang disekitarnya. Aku adalah sedikit orang yang beruntung bisa masuk menjadi murid baru dalam perguruannya.
Suatu malam, perjanjian belajar dibuat. Perjanjian yang akan mengikat kami dalam kontrak belajar. Saling mentransfer ilmu. Entah mengapa, yang ini terasa amat sakral. Syaratnya harus pulang dan minta izin pada orangtua, satu syarat lagi yang beliau sebutkan wala tas’alni ‘an syai’in hatta uhditsa lahu dzikra.mirip syarat yang diajuka oleh nabi Khidir. Membuat seluruh sendiku bergetar. Aku bergumam dalam hati. inikah guruku? Inikah yang kucari dalam hidup selama ini? Diakan yang akan membimbingku menuju kebijaksanaan sejati?.    
Dan sreet... terlampau banyak kejadian setelah itu. Terlampau banyak untuk kuceritakan disini. Yang jelas, itu hanya bayangan masa lalu. Kini aku kembali pada titik nol. Tersudut di pojok hidup yang paling menyakitkan. Perjanjian itu telah kulanggar. Hatiku memang benar-benar kotor. Tak layak dirasuki ilmu dan hikmah. Terlalu kotor. Sekali lagi aku jadi pembangkang. Sekali lagi aku melawan guruku sendiri. Entah setelah ini apakah tuha masih cukup berbelas kasihan untuk memberiku secuil dari lautan hikmahnya.
Entah, entah, seribu kali entah...

Kewajibanku sekarang adalah memuliakan guruku yang lalu. Bagaimanapun, tidak sedikit yang beliau berikan kepadaku. Minimal aku bisa membuktikan kalau diriku tidak murni pengkhianat. Minimal aku bisa memuliakan guruku. Minimal, aku bukan orang yang tidak tahu berterima kasih.

 He tought you all he ever Knew,
To fear no Mortal men,,,
               

 
 
                

0 komentar :

Posting Komentar