![]() |
eastbayrotaract.org |
Ngancar
Kediri, 2 hari sebelum letusan.
Farid
menjawab dengan “iya” yang hampir tidak terdengar. Dia sibuk mengikatkan tali
rafia pada dus berisi enam buah durian yang rencananya akan kita bawa turun.
Aku mengecek busi dan radiator memastikan linor tidak rewel dalam perjalanan
pulang nanti. Di jalan sana mobil-mobil polisi mulai berseliweran naik turun.
Nampaknya letusan kelud memang sudah di depan mata. Kata bude Atun, orang-orang
sini bilang kalau letusan ini akan jadi yang terbesar karena sudah 23 tahun kelud
tidak meletus.
Aku
kembali mengutaki si linor sambil mencoba membayangkan apa yang akan terjadi
pada desa permai ini jika kelud meletus. Ruang tamu yang amat tenang itu pasti
tak akan sama lagi. Halaman ini. Pohon rambutan di pojok, ah.. memang. Aku saja
bisa jadi segamang ini apalagi farid. Padahal rencananya sempurna.
Tempat
ini, kata farid dulu menjadi pelariannya saat periode konslet (sidang pembaca
pasti sudah paham kalau kami berdua pernah mengalami konslet parah). Disaat
kecamuk hati sudah tak tertahankan, Maka menyepi jadi pilihan utama. Apalagi
tempat ini jauh dari hal-hal yang bisa mengingatkannya pada. Dulu mbyus juga
diajaknya kesini. setiap seruput kopi yang kami hirup kemarin sore mengingatkan
kami bahwa disamping satu kesedihan besar yang selalu hati kami keluhkan, Banyak
sekali hal kecil terjadi di sekitar kita yang patut kita sukuri. Nikmatnya
kopi. Nyamannya mata memandang daun-daun dan pohon, serta tawa dan canda yang
kembali mengalir. Apapun kesedihan yang kami alami sebelumnya, perlahan kini
terhapuskan oleh gelegak tawa yang murni lahir dari kedalaman hati. Tawa yang
jujur dan lepas.
Satu
hal yang amat krusial dan kerap kita lupakan. Ketentraman hati.
Ketentraman hati tidak bisa dibeli. Orang –orang akan
membayar mahal untuk terapi yoga, kundalini, senam sehat, meditasi keseimbangan
jiwa, relaksasi di tempat-tempat langka seluruh dunia. Itupun belum karuan
berhasil. Sedang kami cukup mengeluarkan lima puluh ribu rupiah untuk membeli
ketentraman hati. Hidup tidak selamanya sedih, pun demikian senang pun tidak
akan terus-terusan. Kita Cuma perlu bersikap wajar dan tidak lupa diri. Bahwa
dua-duanya adalah ujian. Liyabluwakum
ayyukum ahsanu amala. Kita Cuma diperintahkan untuk sabar saat sulit. Dan
bersyukur saat lapang.
Ah,
Mbak Mir-ku dan Pak Jendral. Bagaimanakah kabar mereka berdua sekarang?
Terserah bagaimanapun tuduhan kalian padaku. Tapi aku tetap sedikit tidak rela
melihat bunga yang lepas kelopaknya, bulan yang muncul tanpa bintang, lumpang
yang terpisah dari alu-nya. Dan kalian bilang padaku, senangkah melihat sandal
yang cuma tinggal satu? Tapi, yah siapa aku, aku tidak memiliki yurisdiksi
seinchi-pun untuk turut campur urusan mereka.
Selain
dari itu, entah berapa kisah kegalauan lagi yang sedang menghinggapi
kawan-kawanku. Yang tidak kami ketahui. Yang tidak mereka ceritakan pada kami.
Yah, kami mungkin tidak tahu, tapi kami dapat merasakannya. Kawan-kawan...
kegalauan hebat sedang menimpa kita semua. Dan aku dalam posisi tidak mampu
berbuat apa-apa untuk membantu kalian. Sekedar tempat untuk mendengar curahan hati,
pundak tempat bersandar, tangan untuk digenggam, bahu untuk dipeluk, dan
untaian do’a yang selalu kami kirimkan pada kalian diseberang sana. Karena aku
tahu, kita terhubung satu sama lain.
“Wis..
ngene ae”
Aku
berdiri, menengadahkan kepala ke langit. Memicingkan mata mencoba mencari
puncak kelud yang berasap di tengah cuaca berkabut ini. Nihil. Hanya tampak dua
layang-layang yang sedang mengudara dengan tenang. Itu kami berdua. Di
ketinggian dimana angin sangat tenang. Aku tersenyum mendengar hatiku berbisik
Teruslah
mendaki kawan, lintasi badai pergulatan batin ini dengan kepala tegak dan penuh
keberanian. Mendakilah setapak demi setapak. Tabahkan hatimu, Allah selalu
bersama kita.
Kami tunggu
kalian disini. Nanti kami tunjukkan keindahan langit biru. Hamparan bumi
menghijau. Dan kicauan burung camar yang terbang di ketinggian.
Aku tahu
kelak, kita akan terbang bersama-sama lagi....
0 komentar :
Posting Komentar