Ayah, Aku takut.
Gagalkah
aku?
Sudah
cukup keraskah aku berusaha?
Sudah
cukup kuatkah hatiku?
Sudah
cukup baikkah aku mengemban Amanah?
Hari ini tugasku sebagai Ketua Angkatan berakhir.
Kuanggap begitu. Karena teman-temanku kini punya pemimpin baru. Aku tidak mau
sisa-sisa dari keegoisanku menjadi bayang-bayang baginya. Aku tidak mau
supremasiku melemahkan posisinya. Aku sadar aku harus mundur ayah. Dari semua
lini kontrol. Aku tidak boleh lagi menebar pengaruh. Atau mengambil andil besar
dalam semua dinamika ini. Aku harus kembali ayah.. ke bentuk paling dasar. Teman-temanku
harus hanya menatap pada satu titik. Pemimpin baru kami. Bukan aku. Aku harus
menghilang. Tanpa sisa.
Iya,
ayah.. aku menepati janjiku. menjadi bukan apa-apa.
Tapi
ayah.. aku kembali gelisah. Aku berjanji akan sekuat mungkin mengendalikan
diriku untuk tidak terjerat Post Power
Syndrome. Bukankah jadi pemimpin itu tidak boleh ambisius? Tapi ini
berbeda, ayah. Aku tidak takut akan kematian. Tidak takut akan krisis dan
kemarau berkepanjangan. Aku tidak takut akan rentetan kesulitan. Bahkan, aku
kini tidak takut lagi merasakan sakit. Tapi aku takut pada hal yang kini
terhampar jelas di depan mataku selepas hari ini. Kehampaan.
Lalu
pergi tanpa menyisakan sesuatu untuk dikenang.
Aku
tidak takut mati ayah. Aku hanya takut Hilang...
Semasa kecil aku menemukan tulisan di
kamarmu. Maaf aku anak yang kurang ajar yang tanpa ijin menelusuk ke dalam
catatan-catatanmu. Manuskrip-manuskrip tua itu selalu mengundang rasa ingin
tahuku. Aku yakin itu mirip catatan Kapten Nimo sang penemu atlantis yang
diceritakan film kartun kesukaanku. Aku tahu ada rahasia-rahasia besar tertulis
disana. Tapi bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah mandat ilahiyyah. Tetap kupegang
hingga sekarang. Disitu tertulis jika dia merasa tidak mampu saat semua
mempercayainya, sepasukan malaikat akan turun membantunya.
Aku
tahu kita tidak boleh berambisi mengejar jabatan. Tapi aku tidak ingin berhenti
jadi pemimpin. Aku tidak ingin berhenti untuk melayani. Aku tidak ingin
berhenti bekerja. Aku tidak ingin berhenti belajar. Aku tidak ingin berhenti
memberi manfaat buat semuanya. Bagaimana kalau aku tidak cukup kuat untuk
menghadapi hidup? Bagaimana jika aku tidak cukup berani untuk melindungi
orang-orang yang kucintai? Bagaimana jika aku terlalu pengecut untuk membela
apa yang kuyakini? Bagaimana jika aku tidak cukup layak... untuk
menggantikanmu?
Dulu,
ayah.. derita-derita itu memang selalu menemaniku. Kesulitan-kesulitan itu
selalu menghampiriku. Tapi aku bahagia ayah, karena aku berdiri di tempat yang
kuinginkan. Aku bahagia, ayah... karena aku hidup untuk teman-temanku. Aku bahagia
karena senyum mereka adalah akibat dari perbuatanku. Aku bahagia karena itulah
satu-satunya caraku mengungkapkan cinta dan pengabdianku untuk hidup ini.
Tapi
sekarang, ayah... aku tidak layak jadi pemimpin, karena aku telah terkompromi
secara emosi. Kepercayaan kini bukan milikku. Kebijaksanaan seakan jauh dariku.
Mereka tak lagi tersenyum padaku. Mereka membenciku. Kenapa? Aku tidak tahu. Aku
benar-benar tidak tahu, ayah. Aku tidak tahu mana tindakan benar mana yang
bodoh. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang selayaknya dilakukan. Apa
yang tidak boleh dilakukan. Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan
sekarang.
Baiklah, ayah... kita
tidak boleh berambisi mengejar jabatan. Tapi Imamun ‘Adiluun adalah impianku. Aku aku rindu kemenangan,
ayah.. aku rindu kejayaan.. aku rindu teriakan keras saat maju menerjang. Aku rindu
berdiri di depan dan berseru lantang. Salahkah jika aku menginginkannya jauh di
lubuk hati yang paling dalam? Salahkah jika bocah kerempeng sakit-sakitan ini
ingin jadi seperti Iskandar Dzulkarnain? Aku benar-benar menginginkannya
ayah... aku tetap ingin percaya bahwa bagian dari diriku.. seberapapun
kecilnya. Adalah jiwa seorang pemimpin. Aku ingin percaya itu.
Ayah, Aku ingin jadi
Pemimpin.... Lagi.
0 komentar :
Posting Komentar