Minggu, 16 Maret 2014

Shard of Prominence



Masjid Ulul Albab, 14 Maret 2014. 02.00 AM.

Ayah, Aku takut.
               
Gagalkah aku?
Sudah cukup keraskah aku berusaha?
Sudah cukup kuatkah hatiku?
Sudah cukup baikkah aku mengemban Amanah?


Hari ini tugasku sebagai Ketua Angkatan berakhir. Kuanggap begitu. Karena teman-temanku kini punya pemimpin baru. Aku tidak mau sisa-sisa dari keegoisanku menjadi bayang-bayang baginya. Aku tidak mau supremasiku melemahkan posisinya. Aku sadar aku harus mundur ayah. Dari semua lini kontrol. Aku tidak boleh lagi menebar pengaruh. Atau mengambil andil besar dalam semua dinamika ini. Aku harus kembali ayah.. ke bentuk paling dasar. Teman-temanku harus hanya menatap pada satu titik. Pemimpin baru kami. Bukan aku. Aku harus menghilang. Tanpa sisa.
                Iya, ayah.. aku menepati janjiku. menjadi bukan apa-apa.

                Tapi ayah.. aku kembali gelisah. Aku berjanji akan sekuat mungkin mengendalikan diriku untuk tidak terjerat Post Power Syndrome. Bukankah jadi pemimpin itu tidak boleh ambisius? Tapi ini berbeda, ayah. Aku tidak takut akan kematian. Tidak takut akan krisis dan kemarau berkepanjangan. Aku tidak takut akan rentetan kesulitan. Bahkan, aku kini tidak takut lagi merasakan sakit. Tapi aku takut pada hal yang kini terhampar jelas di depan mataku selepas hari ini. Kehampaan.
                Lalu pergi tanpa menyisakan sesuatu untuk dikenang.
                Aku tidak takut mati ayah. Aku hanya takut Hilang...

Semasa kecil aku menemukan tulisan di kamarmu. Maaf aku anak yang kurang ajar yang tanpa ijin menelusuk ke dalam catatan-catatanmu. Manuskrip-manuskrip tua itu selalu mengundang rasa ingin tahuku. Aku yakin itu mirip catatan Kapten Nimo sang penemu atlantis yang diceritakan film kartun kesukaanku. Aku tahu ada rahasia-rahasia besar tertulis disana. Tapi bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah mandat ilahiyyah. Tetap kupegang hingga sekarang. Disitu tertulis jika dia merasa tidak mampu saat semua mempercayainya, sepasukan malaikat akan turun membantunya.
                Aku tahu kita tidak boleh berambisi mengejar jabatan. Tapi aku tidak ingin berhenti jadi pemimpin. Aku tidak ingin berhenti untuk melayani. Aku tidak ingin berhenti bekerja. Aku tidak ingin berhenti belajar. Aku tidak ingin berhenti memberi manfaat buat semuanya. Bagaimana kalau aku tidak cukup kuat untuk menghadapi hidup? Bagaimana jika aku tidak cukup berani untuk melindungi orang-orang yang kucintai? Bagaimana jika aku terlalu pengecut untuk membela apa yang kuyakini? Bagaimana jika aku tidak cukup layak... untuk menggantikanmu?
                Dulu, ayah.. derita-derita itu memang selalu menemaniku. Kesulitan-kesulitan itu selalu menghampiriku. Tapi aku bahagia ayah, karena aku berdiri di tempat yang kuinginkan. Aku bahagia, ayah... karena aku hidup untuk teman-temanku. Aku bahagia karena senyum mereka adalah akibat dari perbuatanku. Aku bahagia karena itulah satu-satunya caraku mengungkapkan cinta dan pengabdianku untuk hidup ini.
                Tapi sekarang, ayah... aku tidak layak jadi pemimpin, karena aku telah terkompromi secara emosi. Kepercayaan kini bukan milikku. Kebijaksanaan seakan jauh dariku. Mereka tak lagi tersenyum padaku. Mereka membenciku. Kenapa? Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu, ayah. Aku tidak tahu mana tindakan benar mana yang bodoh. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang selayaknya dilakukan. Apa yang tidak boleh dilakukan. Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan sekarang.
Baiklah, ayah... kita tidak boleh berambisi mengejar jabatan. Tapi Imamun ‘Adiluun adalah impianku. Aku aku rindu kemenangan, ayah.. aku rindu kejayaan.. aku rindu teriakan keras saat maju menerjang. Aku rindu berdiri di depan dan berseru lantang. Salahkah jika aku menginginkannya jauh di lubuk hati yang paling dalam? Salahkah jika bocah kerempeng sakit-sakitan ini ingin jadi seperti Iskandar Dzulkarnain? Aku benar-benar menginginkannya ayah... aku tetap ingin percaya bahwa bagian dari diriku.. seberapapun kecilnya. Adalah jiwa seorang pemimpin. Aku ingin percaya itu.

Ayah, Aku ingin jadi Pemimpin.... Lagi.   

0 komentar :

Posting Komentar