![]() |
Wallike.com |
Ngancar
Kediri, 2 Malam sebelum letusan
Suara cecak, lirih detakan
jam dinding maupun jantung kami sendiri sama-sama mengatakan satu hal, ini
sudah lewat jam 2 dinihari.
Perbincangan malam itu tidak belangsung ramai. Mungkin dalam kurun waktu delapan jam hanya terdengar beberapa kali dialog. Selebihnya kami berdua diam. Tenggelam dalam kecamuk pikiran masing-masing. Karena kami punya perbandaharaan kata yang terlampau sedikit untuk menggambarkan apa yang kami bicarakan. Aku hanya mampu mendesah sambil menggumamkan Allah berkali-kali. Menumpahkan resahku pada putaran tasbih.
Ruang
tamu berukuran 5X3 itu terasa amat akrab bagiku. Model-model rumah jaman
dahulu. Dikelilingi dinding papan dan gedek. Semasa kecil, ibu meletakkanku di
sebelahnya sementara beliau sholat. Masih jelas tergambar bagaimana bentuk
tikar ijuk dan sajadah berdebu yang menghadap barat. Sinar matahari sore
terlihat seperti mengiris-iris wajah ibu menyeruak memasuki ruangan.
Garis-garisnya terlihat jelas saat udara berdebu. Di dindingnya tertempel
kalender toko bangunan dan tengkorak tanduk menjangan. Ada lampu templek
menempel. Di atas tulang-tulang yang
merekatkan papan itu, biasanya diletakkan Qur’an kecil dan majmu’.
Ruang
tamu itu mungkin bosan melihat kami berdua.
Seperti
kata seorang sahabat kita, kalau sudah ngomongin cinta. Tidak ada habisnya.
Satu persatu kalian muncul dalam
pembahasan. Kadang membuat tertawa, kadang membuat menghela nafas. Kadang pula
membuat kami berdua tercekat dalam. Diam. Baiklah kita tidak memungkiri
bagaimana hebatnya efek affeksi emosional
tersebut pada kami berdua. Tapi lepas dari itu, aku coba menerka-nerka
apa maksud semua kejadian yang terjadi antara hati kita. Bagaimana mungkin di
kelas yang sama terjadi kisah cinta yang silang sengkarut begitu ruwetnya.
Farid
mewanti-wanti aku agar merahasiakan seluruh isi pembicaraan malam itu. karena
apapun yang diceritakan adalah amanat seorang sahabat yang mempercayai kita.
Kita berbagi hanya sebagai Ibrah untuk selalu beristighfar atas apa yang telah
kita perbuat, maupun selalu bersyukur sesulit apapun keadaannya. Serta
sama-sama menumbuhkan harapan untuk membawa persatuan kembali.
Saat
itu malam terakhir, Inagurasi MOM KPI. Aku yang santri udik mengendap-ngendap
di bawah remang kegelapan diantara riuh suara penonton menuju satu titik.
Mengincar tempat duduk di sebelah Rifdah Aliana Rizali. Aku hafal betul
namanya. Begitu dapat, segera kupasang muka datar seolah insiden barusan alami
terjadi secara spontan tanpa disengaja. Lalu beberapa menit kemudian aku
melancarkan senjata andalan satu-satunya dari seorang cowok yang nol dalam hal
daya tarik fisik maupun emosi.
Membual.
“Perempuan
itu, mb rif....” kata si pembual “Dibagi menjadi dua...” si sasaran serang mengernyitkan
dahi. Entah merasa aneh pada makhluk luar angkasa yang tiba-tiba muncul sok
kenal sok deket. atau pada isi ucapannya yang tiba-tiba melancarkan teori
logika Nahwu untuk menggambarkan persoalan gender.
“Ada
yang kecantikannya menurun... ada yang meningkat.”
“he-eh?”
“Menurun. Pertama kali
dilihat canntiiiikkk sekali. Lama-lama ketemu eh, biasa saja.”
“O”
“Meningkat. Pertama
kali dilihat, biasa saja. Lama-lama, hmm.. kok tambah manis ya.”
(Bersambung. Tapi bisa
detebak; strategi ini tidak pernah berhasil.)
Esok Paginya, aku
bergumam sendiri di depan rumah seperti orang gila.
Hai, kupu-kupu...
dahulu Si Bulan kelahiran kagum melihat sang penyelamat. tapi sang penyelamat
sibuk memandangi tanah pengampunan. Saat itu dikabarkan bahwa sang terpuji
sedang dekat dengan bulan juli. Disaat bersamaan, Si penyendiri mulai dilanda
ketertarikan pada perempuan mulia. Sedang di tanah seberang, sang Pemelihara
berhasil menaklukkan hati sang suaibah. Si penyelamat pun ikut-ikutan tertarik
pada perempuan mulia. Mengabaikan sang pembawa kebahagiaan dan pengampunan
serta malam Kebijaksanaan yang mulai tertarik padanya. Pembawa kebahagiaan
akhirnya mundur dan mengubur dalam-dalam impiannya karena menyaksikan Bulan
kelahiran redup dan meneteskan air mata. Akhirnya, si penyendiri memutuskan
bahwa hatinya telah benar-benar jatuh pada Perempuan Mulia. Sayang, sang
Perempuan Mulia lebih memilih Sang Terpuji. Menghancurkan hati si penyendiri. Ia
tidak menyadari kalau Sang Pemilik Kemudahan Dunia dan Akhirat menaruh
perhatian padanya. Ya, bagaimanapun Sang Pemilik Kesetiaan tetaplah yang nomor
satu di tanah ini. Cahaya kesetiaan mendambakannya. Harapan itu kandas. Ia mencari
nasihat pada sang penyelamat. Siapa yang akan menyangka sang penyelamat malah
jatuh hati padanya. Ia berkhianat. Dan cahaya kesetiaan mengutuknya. Iapun mencari
pelipur lara pada sang pembawa kemudahan dunia dan akhirat. Si penyendiri hidup
dalam penderitaannya. Di tanah seberang terdengar bahwa sayyid suaibah menjauh
dari sang pemelihara. Iapun mengadukan kekecewaannya pada si penyendiri. Disaat
bersamaan, datang pula sang pembawa kebahagiaan dengan sejuta keluh kesah. Ditampungnya
dua sahabat itu dengan sabar tanpa menghiraukan lukanya sendiri. Aku
menghormatimu, kata sang pemilik kesetiaan. Tanah ini tak akan bertahan
tanpamu. Jadi kujauhi dia demi menghormatimu. Yah, justru itulah yang membuat
si penyelamat merasa bersalah. Si Malam bijaksana kini sirna. Dan terakhir, si
perempuan mulia memutuskan meninggalkan sang terpuji.
Tiba-tiba
tanah ini redup. Tiba tiba bintang dan bulannya berhenti bersinar. Tanahnya
retak. Mataharinya enggan terbit.
Tiba-tiba
seluruh perasaan terasa salah. Seluruh perhatian adalah tabu. Semua empati
adalah aib. Semua kepedulian adalah terlarang.
Tiba-tiba
semuanya berubah kelabu. Tanpa warna.
Ah, Tuhan pasti mabuk saat menulis cerita cinta
kita.
0 komentar :
Posting Komentar