Senin, 17 Februari 2014

Tuhan Mabuk Saat Menulis Cerita Cinta Kita



Wallike.com

Ngancar Kediri, 2 Malam sebelum letusan
Suara cecak, lirih detakan jam dinding maupun jantung kami sendiri sama-sama mengatakan satu hal, ini sudah lewat jam 2 dinihari.



                      Perbincangan malam itu tidak belangsung ramai. Mungkin dalam kurun waktu delapan jam hanya terdengar beberapa kali dialog. Selebihnya kami berdua diam. Tenggelam dalam kecamuk pikiran masing-masing. Karena kami punya perbandaharaan kata yang terlampau sedikit untuk menggambarkan apa yang kami bicarakan. Aku hanya mampu mendesah sambil menggumamkan Allah berkali-kali. Menumpahkan resahku pada putaran tasbih.
                Ruang tamu berukuran 5X3 itu terasa amat akrab bagiku. Model-model rumah jaman dahulu. Dikelilingi dinding papan dan gedek. Semasa kecil, ibu meletakkanku di sebelahnya sementara beliau sholat. Masih jelas tergambar bagaimana bentuk tikar ijuk dan sajadah berdebu yang menghadap barat. Sinar matahari sore terlihat seperti mengiris-iris wajah ibu menyeruak memasuki ruangan. Garis-garisnya terlihat jelas saat udara berdebu. Di dindingnya tertempel kalender toko bangunan dan tengkorak tanduk menjangan. Ada lampu templek menempel. Di atas  tulang-tulang yang merekatkan papan itu, biasanya diletakkan Qur’an kecil dan majmu’.
                Ruang tamu itu mungkin bosan melihat kami berdua.

                Seperti kata seorang sahabat kita, kalau sudah ngomongin cinta. Tidak ada habisnya.
              Satu persatu kalian muncul dalam pembahasan. Kadang membuat tertawa, kadang membuat menghela nafas. Kadang pula membuat kami berdua tercekat dalam. Diam. Baiklah kita tidak memungkiri bagaimana hebatnya efek affeksi emosional  tersebut pada kami berdua. Tapi lepas dari itu, aku coba menerka-nerka apa maksud semua kejadian yang terjadi antara hati kita. Bagaimana mungkin di kelas yang sama terjadi kisah cinta yang silang sengkarut begitu ruwetnya.
                Farid mewanti-wanti aku agar merahasiakan seluruh isi pembicaraan malam itu. karena apapun yang diceritakan adalah amanat seorang sahabat yang mempercayai kita. Kita berbagi hanya sebagai Ibrah untuk selalu beristighfar atas apa yang telah kita perbuat, maupun selalu bersyukur sesulit apapun keadaannya. Serta sama-sama menumbuhkan harapan untuk membawa persatuan kembali.
                Saat itu malam terakhir, Inagurasi MOM KPI. Aku yang santri udik mengendap-ngendap di bawah remang kegelapan diantara riuh suara penonton menuju satu titik. Mengincar tempat duduk di sebelah Rifdah Aliana Rizali. Aku hafal betul namanya. Begitu dapat, segera kupasang muka datar seolah insiden barusan alami terjadi secara spontan tanpa disengaja. Lalu beberapa menit kemudian aku melancarkan senjata andalan satu-satunya dari seorang cowok yang nol dalam hal daya tarik fisik maupun emosi.

                Membual.

“Perempuan itu, mb rif....” kata si pembual “Dibagi menjadi dua...” si sasaran serang mengernyitkan dahi. Entah merasa aneh pada makhluk luar angkasa yang tiba-tiba muncul sok kenal sok deket. atau pada isi ucapannya yang tiba-tiba melancarkan teori logika Nahwu untuk menggambarkan persoalan gender.
                “Ada yang kecantikannya menurun... ada yang meningkat.”
                “he-eh?”
“Menurun. Pertama kali dilihat canntiiiikkk sekali. Lama-lama ketemu eh, biasa saja.”
“O”
“Meningkat. Pertama kali dilihat, biasa saja. Lama-lama, hmm.. kok tambah manis ya.”
(Bersambung. Tapi bisa detebak; strategi ini tidak pernah berhasil.)

Esok Paginya, aku bergumam sendiri di depan rumah seperti orang gila.
Hai, kupu-kupu... dahulu Si Bulan kelahiran kagum melihat sang penyelamat. tapi sang penyelamat sibuk memandangi tanah pengampunan. Saat itu dikabarkan bahwa sang terpuji sedang dekat dengan bulan juli. Disaat bersamaan, Si penyendiri mulai dilanda ketertarikan pada perempuan mulia. Sedang di tanah seberang, sang Pemelihara berhasil menaklukkan hati sang suaibah. Si penyelamat pun ikut-ikutan tertarik pada perempuan mulia. Mengabaikan sang pembawa kebahagiaan dan pengampunan serta malam Kebijaksanaan yang mulai tertarik padanya. Pembawa kebahagiaan akhirnya mundur dan mengubur dalam-dalam impiannya karena menyaksikan Bulan kelahiran redup dan meneteskan air mata. Akhirnya, si penyendiri memutuskan bahwa hatinya telah benar-benar jatuh pada Perempuan Mulia. Sayang, sang Perempuan Mulia lebih memilih Sang Terpuji. Menghancurkan hati si penyendiri. Ia tidak menyadari kalau Sang Pemilik Kemudahan Dunia dan Akhirat menaruh perhatian padanya. Ya, bagaimanapun Sang Pemilik Kesetiaan tetaplah yang nomor satu di tanah ini. Cahaya kesetiaan mendambakannya. Harapan itu kandas. Ia mencari nasihat pada sang penyelamat. Siapa yang akan menyangka sang penyelamat malah jatuh hati padanya. Ia berkhianat. Dan cahaya kesetiaan mengutuknya. Iapun mencari pelipur lara pada sang pembawa kemudahan dunia dan akhirat. Si penyendiri hidup dalam penderitaannya. Di tanah seberang terdengar bahwa sayyid suaibah menjauh dari sang pemelihara. Iapun mengadukan kekecewaannya pada si penyendiri. Disaat bersamaan, datang pula sang pembawa kebahagiaan dengan sejuta keluh kesah. Ditampungnya dua sahabat itu dengan sabar tanpa menghiraukan lukanya sendiri. Aku menghormatimu, kata sang pemilik kesetiaan. Tanah ini tak akan bertahan tanpamu. Jadi kujauhi dia demi menghormatimu. Yah, justru itulah yang membuat si penyelamat merasa bersalah. Si Malam bijaksana kini sirna. Dan terakhir, si perempuan mulia memutuskan meninggalkan sang terpuji.

Tiba-tiba tanah ini redup. Tiba tiba bintang dan bulannya berhenti bersinar. Tanahnya retak. Mataharinya enggan terbit.
Tiba-tiba seluruh perasaan terasa salah. Seluruh perhatian adalah tabu. Semua empati adalah aib. Semua kepedulian adalah terlarang.

Tiba-tiba semuanya berubah kelabu. Tanpa warna.


Ah,  Tuhan pasti mabuk saat menulis cerita cinta kita.    


                  

0 komentar :

Posting Komentar