Jumat, 14 Februari 2014

Yawadvipa; Reign of Blood


www.davor.blogspot.com

Ngancar, Kediri, 3 Hari sebelum Letusan

Kami berdua memperbincangkan tentang bencana.
Dan aku mulai mendongeng.






           
          Kawan-kawan, aku mengakibatkan pulau jawa sebagai seorang gadis cantik. Dimana ada gadis cantik, didekatnya ada hati yang hancur. Makanya, setiap dia Kau-Tahu-Siapa bergerak di dekatku dalam radius kurang dari lima meter, maka selalu tampil dalam adegan slow motion rasanya sepeti krak...! Krak..! Krak..!

               Heartbreaking.

          Sebagai seorang gadis cantik. Pulau jawa diperebutkan. Baik untuk ditinggali maupun dikuasai. Para dewata penghuni langit. Ras-ras jin dari masa lampau. Raksasha-Rakseshi. Maupun para pertapa sakti berperang saling sikat untuk mendapatkan kontrol atas pulau ini. Menurut legenda, pasca terpisah dari pulau sumatra, pulau ini terombang-ambing derasnya arus pasifik dan hindia. Untuk menstabilkannya,  para dewa berunding, mereka berpikir pulau jawa butuh pemberat. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memindahkan gunung Mahameru di india ke pulau jawa. Wishnu dan Shiwa yang mengurus transportnya, dan Batara guru bertugas mengatur tempat dan pendaratannya. Para dewa menempatkan gunung ini di bagian barat pulau jawa. Pulau jawa memang stabil setelah itu. namun celakanya, pulau itu tidak seimbang miring ke barat. Sehingga wilayah jawa barat ada di bawah laut. Dan kawanan menjangan di jawa timur hampir bisa menyentuh awan dengan tangan mereka.
                Para dewa mengambil langkah cepat. Menurunkan banyak personil mereka untuk melakukan proyek reklamasi besar-besaran. Yaitu memotong gunung mahameru dan memindahkan potongannya ke Jawa Timur. Batara Indra memotong gunung itu, karena materialnya cukup banyak, maka diangkut secara bergotong royong oleh para dewa. Namun karena ceroboh dan tergesa-gesa, material gunung itu jatuh berceceran di sepanjang jalan. Konon itulah yang menjadi cikal bakal gunung-gunung di pulau jawa yang melintang dari barat ke timur.
                Proyek Reklamasi itu bikin pulau jawa semakin menarik saja. Manusia-manusia pun mulai menghuni pulau ini. Mereka membentuk masyarakat-masyarakat di berbagai wilayahnya. Pulau jawa punya berkah yang amat melimpah. Hasil bumi maupun hasil laut. Namun, kita salah menganggap bahwa berkah itu diberikan secara Gratis. Dewi Perthiwi, yang juga disebut sang Bhumi, dikenal amat haus darah. Dan perhatiannya terhadap pulau ini sangat beralasan. Manusia-manusia diatasnya menjadi serakah terhadap berkah tersebut. Saling berperang untuk mendapatkan teritori kekuasaan. Dan saat peperangan itulah Sang Bhumi berpesta. Bersama para ajudannya para Bhuta dan Kala. Meminum darah jutaan manusia yang terkapar di medan laga. Pulau penuh berkah ini seketika berubah mengerikan. Kapanpun sang Bhumi Melihat manusia-manusia tersebut semakin serakah, maka saat itulah. Dikirimkannya banjir, diletuskannya gunung, disebarkannya wabah penyakit, dan ditiupkannya fitnah yang memicu gonjang-ganjing antar kerajaan yang berujung perang.
                   Raja-Raja Singosari dan Majapahit menganut aliran Bahirawa-Tantra. Pemuja shiwa dan rutin melakukan persembahan kepada sang Bhumi. Tujuannya untuk mejaga stabilitas negara.  Selain itu di berbagai sudut pulau jawa berdiri tempat pemujaan sang Bhumi berupa Ksetra-Ksetra tempat altar persembahan manusia. Mereka rajin melakukan upacara pengorbanan manusia. Berharap sang Bhumi puas dan tidak lagi merenggut jutaan nyawa.
                Lalu islam datang, mengajarkan untuk tidak mempercayai klenik. Mentauhhidkan Allah semata dan meninggalkan dewa-dewa. Penghuni jawa yang mulai percaya dan meninggalkan kebiasaan lama otomatis membuat sang Bhumi marah karena stock pemujaannya terancam berhenti. Syaikh Siti Jenar, atau datuk Abdul Jalil, putra Sri Mangana, penguasa Caruban Larang, sebagai penggagas ide masyarakatul ummah, merasa perlu bertanggung jawab dalam menyelesaikan urusan manusia dengan sang Bhumi. Beliau mempunyai misi untuk memutus sama sekali keterikatan kontrak darah antara manusia dengan sang Bhumi. Maka beliau melakukan proses  penyegelan pulau jawa dimulai dengan penaburan debu di sepanjang pantai utara, pendirian caturbasa mandala (Mandala Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, Lemah Jenar) hingga mengorbankan darah dan jasadnya sendiri untuk menetralkan daya magis Ksetra-ksetra yang ada di pulau jawa. Sejak saat itu kita, masyarakat  Yawadvipa, bisa hidup tenteram dan damai. Sang Bhumi waktu itu sepakat hanya akan keluar ketika manusia melampaui batas dan hanya akan meminum darah seorang ankara saja.
               
                Saat ini, mungkinkah sang Bhumi sedang marah?

                Apa yang berusaha aku katakan disini adalah, ada keterkaitan erat antara kehidupan suatu kaum, masyarakat, ataupun peradaban. Terhadap bencana yang terjadi. Bencana tidak terjadi secara kebetulan, kitalah yang menyebabkannya. Dhaharat fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aydin naas (). Bencana terjadi karena kita kufur. Angkuh, dan sewenang-wenang memanfaatkan alam.
                Namun kawan, ada manusia-manusia yang berdiri antara kita dan bencana. Aku menyebut mereka Paku Bumi. Merekalah para waliyullah yang menjaga stabilitas kehidupan kita. Merekalah yang melobi keputusan langit akan turunnya bencana pada tanah kita. Entah itu ditunda, dikurangi, atau dibatalkan sama sekali. Mereka melakukan pengorbanan-pengorbanan untuk meredam amarah langit. Dengan apa? Dengan satu satunya pertahanan manusia untuk menolak bencana.
                Sedekah.
Aku jadi teringat pada insiden MOM KPI terakhir. Kawan-kawan tahu sendiri kejadiaannya. Sebelum itu aku menjauh dari kerumunan. Antara kalut dan merasa bersalah. Betapa keringnya kesadaran spiritual kawan-kawan KPI-ku. Acara sebesar itu tidak kita iringi dengan do’a dan spiritualitas yang kuat. Hatiku tidak punya keinginan sama sekali untuk melakukan ritual penebusan demi acara MOM tersebut. Firasatku selalu buruk soal acara itu. maka ambil jarak adalah solusi paling simpel. Tetapi tetap saja aku kalut. Seandainya sesuatu terjadi. Sejauh apa pembelaanku? Lagipula, apa yang kubela? Majelis Ilmu? sama sekali bukan. Jangan-jangan hanya sekelompok masif pemuda-pemudi yang tertawa-tawa senang sampai melampaui batas? Ah, Entahlah.
               
                Kawan-Kawanku,  apa yang coba kukatakan disini adalah, disinilah kita harus bersikap bijak dalam menghadapi bencana. Dan saatnya kita menjadi manusia multidimensional. Bukan lagi makhluk rendah yang cuma sibuk mengenyangkan dan menyenangkan diri sendiri. Bencana akan datang pada bumi, negeri, kota, maupun pada kita sendiri. Cara terbaik adalah bersedekah. Menebus diri kita. Memberikan sedikit penghargaan kepada mereka yang telah memberikan kita nafas gratis di bumi yang indah ini.
                Tapi alangkah indahnya kalau kita mau melindungi diri kita, serta orang-orang disekitar kita

Perjalanan ini... terasa sangat menyedihkan...
Sayang engkau tak duduk... disampingku kawan...
                 



“He Kopine ku lo Tumpah!!”
“Hyee???”

0 komentar :

Posting Komentar