![]() |
www.davor.blogspot.com |
Ngancar, Kediri, 3 Hari sebelum Letusan
Kami berdua memperbincangkan
tentang bencana.
Dan
aku mulai mendongeng.
Kawan-kawan, aku mengakibatkan pulau jawa
sebagai seorang gadis cantik. Dimana ada gadis cantik, didekatnya ada hati yang
hancur. Makanya, setiap dia Kau-Tahu-Siapa bergerak di dekatku dalam radius
kurang dari lima meter, maka selalu tampil dalam adegan slow motion rasanya
sepeti krak...! Krak..! Krak..!
Heartbreaking.
Sebagai seorang gadis
cantik. Pulau jawa diperebutkan. Baik untuk ditinggali maupun dikuasai. Para
dewata penghuni langit. Ras-ras jin dari masa lampau. Raksasha-Rakseshi. Maupun
para pertapa sakti berperang saling sikat untuk mendapatkan kontrol atas pulau
ini. Menurut legenda, pasca terpisah dari pulau sumatra, pulau ini
terombang-ambing derasnya arus pasifik dan hindia. Untuk menstabilkannya, para dewa berunding, mereka berpikir pulau
jawa butuh pemberat. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memindahkan gunung
Mahameru di india ke pulau jawa. Wishnu dan Shiwa yang mengurus transportnya,
dan Batara guru bertugas mengatur tempat dan pendaratannya. Para dewa
menempatkan gunung ini di bagian barat pulau jawa. Pulau jawa memang stabil
setelah itu. namun celakanya, pulau itu tidak seimbang miring ke barat.
Sehingga wilayah jawa barat ada di bawah laut. Dan kawanan menjangan di jawa
timur hampir bisa menyentuh awan dengan tangan mereka.
Para
dewa mengambil langkah cepat. Menurunkan banyak personil mereka untuk melakukan
proyek reklamasi besar-besaran. Yaitu memotong gunung mahameru dan memindahkan
potongannya ke Jawa Timur. Batara Indra memotong gunung itu, karena materialnya
cukup banyak, maka diangkut secara bergotong royong oleh para dewa. Namun
karena ceroboh dan tergesa-gesa, material gunung itu jatuh berceceran di
sepanjang jalan. Konon itulah yang menjadi cikal bakal gunung-gunung di pulau
jawa yang melintang dari barat ke timur.
Proyek
Reklamasi itu bikin pulau jawa semakin menarik saja. Manusia-manusia pun mulai
menghuni pulau ini. Mereka membentuk masyarakat-masyarakat di berbagai
wilayahnya. Pulau jawa punya berkah yang amat melimpah. Hasil bumi maupun hasil
laut. Namun, kita salah menganggap bahwa berkah itu diberikan secara Gratis.
Dewi Perthiwi, yang juga disebut sang Bhumi, dikenal amat haus darah. Dan
perhatiannya terhadap pulau ini sangat beralasan. Manusia-manusia diatasnya
menjadi serakah terhadap berkah tersebut. Saling berperang untuk mendapatkan
teritori kekuasaan. Dan saat peperangan itulah Sang Bhumi berpesta. Bersama
para ajudannya para Bhuta dan Kala. Meminum darah jutaan manusia yang terkapar
di medan laga. Pulau penuh berkah ini seketika berubah mengerikan. Kapanpun
sang Bhumi Melihat manusia-manusia tersebut semakin serakah, maka saat itulah.
Dikirimkannya banjir, diletuskannya gunung, disebarkannya wabah penyakit, dan
ditiupkannya fitnah yang memicu gonjang-ganjing antar kerajaan yang berujung
perang.
Raja-Raja
Singosari dan Majapahit menganut aliran Bahirawa-Tantra. Pemuja shiwa dan rutin
melakukan persembahan kepada sang Bhumi. Tujuannya untuk mejaga stabilitas
negara. Selain itu di berbagai sudut
pulau jawa berdiri tempat pemujaan sang Bhumi berupa Ksetra-Ksetra tempat altar
persembahan manusia. Mereka rajin melakukan upacara pengorbanan manusia.
Berharap sang Bhumi puas dan tidak lagi merenggut jutaan nyawa.
Lalu
islam datang, mengajarkan untuk tidak mempercayai klenik. Mentauhhidkan Allah
semata dan meninggalkan dewa-dewa. Penghuni jawa yang mulai percaya dan
meninggalkan kebiasaan lama otomatis membuat sang Bhumi marah karena stock
pemujaannya terancam berhenti. Syaikh Siti Jenar, atau datuk Abdul Jalil, putra
Sri Mangana, penguasa Caruban Larang, sebagai penggagas ide masyarakatul ummah, merasa perlu bertanggung jawab dalam menyelesaikan urusan
manusia dengan sang Bhumi. Beliau mempunyai misi untuk memutus sama sekali
keterikatan kontrak darah antara manusia dengan sang Bhumi. Maka beliau
melakukan proses penyegelan pulau jawa
dimulai dengan penaburan debu di sepanjang pantai utara, pendirian caturbasa mandala (Mandala Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, Lemah Jenar) hingga
mengorbankan darah dan jasadnya sendiri untuk menetralkan daya magis
Ksetra-ksetra yang ada di pulau jawa. Sejak saat itu kita, masyarakat Yawadvipa, bisa hidup tenteram dan damai.
Sang Bhumi waktu itu sepakat hanya akan keluar ketika manusia melampaui batas
dan hanya akan meminum darah seorang ankara saja.
Saat
ini, mungkinkah sang Bhumi sedang marah?
Apa
yang berusaha aku katakan disini adalah, ada keterkaitan erat antara kehidupan
suatu kaum, masyarakat, ataupun peradaban. Terhadap bencana yang terjadi.
Bencana tidak terjadi secara kebetulan, kitalah yang menyebabkannya. Dhaharat fasadu fil barri wal bahri bima
kasabat aydin naas (). Bencana terjadi karena kita kufur. Angkuh, dan
sewenang-wenang memanfaatkan alam.
Namun
kawan, ada manusia-manusia yang berdiri antara kita dan bencana. Aku menyebut
mereka Paku Bumi. Merekalah para waliyullah yang menjaga stabilitas kehidupan
kita. Merekalah yang melobi keputusan langit akan turunnya bencana pada tanah
kita. Entah itu ditunda, dikurangi, atau dibatalkan sama sekali. Mereka
melakukan pengorbanan-pengorbanan untuk meredam amarah langit. Dengan apa?
Dengan satu satunya pertahanan manusia untuk menolak bencana.
Sedekah.
Aku jadi teringat pada insiden MOM KPI
terakhir. Kawan-kawan tahu sendiri kejadiaannya. Sebelum itu aku menjauh dari
kerumunan. Antara kalut dan merasa bersalah. Betapa keringnya kesadaran
spiritual kawan-kawan KPI-ku. Acara sebesar itu tidak kita iringi dengan do’a
dan spiritualitas yang kuat. Hatiku tidak punya keinginan sama sekali untuk
melakukan ritual penebusan demi acara MOM tersebut. Firasatku selalu buruk soal
acara itu. maka ambil jarak adalah solusi paling simpel. Tetapi tetap saja aku
kalut. Seandainya sesuatu terjadi. Sejauh apa pembelaanku? Lagipula, apa yang
kubela? Majelis Ilmu? sama sekali bukan. Jangan-jangan hanya sekelompok masif
pemuda-pemudi yang tertawa-tawa senang sampai melampaui batas? Ah, Entahlah.
Kawan-Kawanku, apa yang coba kukatakan disini adalah, disinilah
kita harus bersikap bijak dalam menghadapi bencana. Dan saatnya kita menjadi
manusia multidimensional. Bukan lagi makhluk rendah yang cuma sibuk
mengenyangkan dan menyenangkan diri sendiri. Bencana akan datang pada bumi,
negeri, kota, maupun pada kita sendiri. Cara terbaik adalah bersedekah. Menebus
diri kita. Memberikan sedikit penghargaan kepada mereka yang telah memberikan
kita nafas gratis di bumi yang indah ini.
Tapi
alangkah indahnya kalau kita mau melindungi diri kita, serta orang-orang disekitar
kita
Perjalanan
ini... terasa sangat menyedihkan...
Sayang
engkau tak duduk... disampingku kawan...
“He Kopine ku lo Tumpah!!”
“Hyee???”
0 komentar :
Posting Komentar