Kamis, 31 Oktober 2013

Aftermarth...

Surabaya, 12 Oktober 2013
             
The great Battle took place here...

Akankah badai sudah berlalu? Bolehkah kita sekarang merenggangkan pegangan pada gagang pedang. Karena di cakrawala, Sedang tidak terlihat musuh yang tersisa.
Guncangan-guncangan itu berakhir. Atau jangan-jangan berhenti sejenak. Seperti jeda menjelang tsunami. Bolehkah kita membuka perisai. Mengukur seberapa dalam luka-luka? Bolehkah sekarang kita mengeluh kesakitan?
                Butir salju mulai turun membasahi medan tempur. Menghapus kilat-kilat keemasan baju zirah yang tersapu matahari. Tapi bunga-bunga berkelopak indah merumpun tumbuh lebat di bawahnya. Disuburkan oleh resapan darah mereka yang gugur. Bersanding indah dengan tombak-tombak dan pedang yang tertancap di tanah. Aih, kilat mereka tak akan mampu dihapus salju sejuta zaman. Karena mereka adalah simbol. Simbol bagi pemegangnya yang terkapar di tanah. Menimbunkan diri membentuk statu-statu dan kuburan kuburan. Mereka entah tewas entah terlalu letih untuk berdiri. Atau belum rela melepas wangi tanah yang ditaburi keberanian dan kemulyaan. Atau belum puas membasahi tanah dengan air mata mereka. Tepat didepan wajah shabatnya yang tewas dengan helm terbelah.
                Kemenangan memang diraih. Namun tak ada lagu yang dinyanyikan malam ini. Tak ada teriakan lantang maupun bendera yang dikibarkan. Kemenangan memang diraih, sebuah harga di mana kita mampu berdiri di kaki sendiri. Berbuat sesuai keyakinan hati sendiri. Mampu mempertahankan apa yang kita yakini. Harganya seribu nyawa. Namun, mereka terbang dengan bahagia. diiringi do’a-do’a

                “Lepaskan ikatannya”
                Ujar sang panglima. Yang baru saja berhasil mengatasi gemetar hebat di hatinya. Di tengah-tengah pertempuran dia mundur. Lari kebelakang seperti seorang pengecut. Menangis, ya! Menangis. Seakan ada palu besar yang memukul bahunya dan memaksanya berlutut. Padahal sebelumnya dia tidak pernah menundukkan kepala barang satu senti-pun di hadapan musuh. Para prajuritnya berteriak putus asa. Dipukul mundur babak belur hingga ke garis belakang
                Jerit regang nyawa satu persatu tak bisa membuatnya bangkit. Dia terus-terusan gemetar dan mengigau tak jelas. Rasa bersalah menikamnya, ketakutan menyelimutinya. Sesal mematahkan jarinya. Keraguan mencengkram hatinya. Namun, mereka yang bertempur di depan, tidak pernah meragukannya. Mereka tahu dia akan kembali. Mereka tahu pemimpin mereka akan kembali.
                Itu sudah lama sekali berlalu.
                Pengawalnya yang tersisa ragu-ragu membuka kerangkeng baja yang mengikat monster hitam berselimut bara merah itu. Akankah Panglima sudah gila. Ini monster yang membunuh ribuan teman-temannya. Butuh ribuan nyawa untuk mengikatnya. Sekarang dia menyuruh mereka melepaskannya.
“warchief, Bukankah seharusnya kita memasukkannya ke dalam kerangkeng?
                Seperti seharusnya?”
                “Aku bilang, lepaskan ikatannya.”
                Monster itu meraung keras begitu ikatannya dilepas. Mengacaukan angin, menggetarkan bumi. Alih-alih mencabut pedang atau menangkupkan perisai. Dia malah melepas helm dan tersenyum. Memadangi dua tanduk merah yang menjulang tinggi di atas mahkota si monster.
“kau seharusnya membunuhku selagi sempat. Mengurungku dalam penjara pengapmu itu. Sekarang kau malah menyia-nyiakan ribuan nyawa anak buahmu hanya untuk melepasku begiu saja ?? HAHAHA.. siapa yang bodoh sekarang.?”
Para prajurit mundur ketakutan.
Sang panglima tersenyum.
                “kami sudah mengalahkanmu. Sekarang kau tidak akan bisa lagi menyentuh kami. Mempengaruhi kami. Merasuki pikiran-pikiran kami.”
                “Bahkan...” katanya sambil menyarungkan pedang “aku tak perlu lagi menghabiskan energi bertahun-tahun untuk mengurungmu.”
Si monster meraung. Mengangkat belalai raksasanya dan menyapukannya ke sekelompok prajurit yang tersisa. Ledakan merah segera terjadi. Panas dan memekakkan. Namun, aneh.. para prajurit itu kembali muncul dari kepulan asap. Utuh tanpa tergores sedikitnpun. Si monster terbelalak. Lalu beralih mengarahkan sabetan belalainya kepada sang panglima yang berjalan santai menjauh. Ledakan kedua. Lebih besar dan panas.
                Belalai itu menempel di bahu sang panglima.  
                Dan keajaiban pun terjadi.

                “aku bilang kamu tidak lagi mempengaruhiku.”
Cahaya merah datang entah dari mana. Berputar menyelimusi si monster besar. Peralahan sosok mengerikan itu mengecil dan berubah menjadi sesosok gadis cantik bergaun dan berkerudung biru.
Cahaya-cahaya kecil mengitarinya. Wangi bunga menyelimutinya. Langkah-langkahnya mengejar. Tangannya menepuk bahu sang panglima. 
                “Tidakkah kau kenal siapa aku?”
                “aku kenal betul siapa kamu. Namamu adalah; Cinta.”
               

               


       

0 komentar :

Posting Komentar