Alladziina qaalu
robbunallah, tsummas astaqamu...
tatanazzalu
alaihimul malaikatu, alla takhafu! wala tahzanu! waabsyiru biljannatil lladzi
kuntum tuuadun.
Permata, Akhirnya aku paham arti bisikan itu.
Aku kembali kesini. Tempat dimana aku
melihatmu di bawah air terjun. Delapan bulan yang lalu. Rasanya baru kemarin,
seakan-akan aku masih melihat kalian. berlarian di sekitar villa ungu di bawah
sana. Seakan aku masih bisa melihat Yus dan Aina melambaikan tangan padaku dari
atas tebing. Seakan akau masih mendengar suara kalian. Dan seakan, aku masih
bisa melihatmu, di bawah air terjun ini.
Kudengar, kau sedang
sendiri. Aku tak tahu apa yang terjadi di seberang sana. Karena sudah lama aku
menjauhkan kotak kehidupanku darimu. Jadi bagaimana aku harus bersikap.
Sedihkah melihatmu dalam keadaan demikian? Senangkah karena mungkin aku punya
kesempatan? takutkah aku tidak mampu mewujudkan sesuatu yang paling aku inginkan?
Takutkah aku membuang sia-sia kesempatan ini? Khawatirkah kau ternyata tidak
mau menerima secuilpun bagian dari diriku? Atau ragukah aku akan pilihanku yang
jatuh padamu. Dari sekian banyak wanita yang singgah di hidupku?
Katakan, permata,
bagaimana hatiku harus bersikap?
Sampai saat ini pun,
aku belum paham apa tujuan sang penulis skenario menempatkanmu dalam hidupku.
Tapi aku yakin, aku sedang dipersiapkan untuk sesuatu. Sesuatu yang besar.
Entah apa itu. Dan peranmu? Aku sama sekali tidak tahu. Sekedar ujian untuk
membuatku jadi lebih kuat, atau pelajaran berharga yang akan membukakan banyak
tabir fikrah-ku? Atau sabab yang akan membuatku paham akan satu hal.
Atau mungkinkah, bentuk cinta sejati yang layak ditunggu dan diperjuangkan?
Tapi permata, Premis
keadaan Sekarang lebih mendukung ketidakmungkinan namamu bersanding disamping
namaku. Kau dan aku seakan berasal dari dimensi dunia yang berbeda. Aku lahir
dari lelehan besi. Ditempa sejak kecil dengan semburan api dan hantaman palu.
Sedang kau berasal dari negeri seribu bunga. Penuh kedamaian dan kebahagiaan.
Aku dan kamu adalah premis ketidakmungkinan itu sendiri. But that’s not the
point now. Apa yang kusadari sekarang adalah, Melalui proses yang panjang
ini, sesuatu darimu, tertanam kuat pada diriku.
Yah, itulah namamu.
Nurul Istiqomah
Simbol Devosi total
pada sang khalik. Pemilikku, juga pemilikmu.
Menurut dongeng, hal
pertama yang diciptakan Allah SWT adalah Nur Muhammad. Sebuah Esensi hidup dari
nabi kita. Yang juga menjadi esensi inti dari semua ciptaan-Nya. Nur muhammad
ada pada semua makhluk. Konon juga, jiwa kita adalah arwah yang suci bagian
dari tuhan itu sendiri. Pada kita tertanam seluruh kebijaksanaan, kemulyaan,
juga pengetahuan akan segala sesuatu. Namun kita menolak saat diperintah untuk
masuk ke dalam tubuh manusia yang terbuat dari tanah kotor. Barulah saat tuhan
menanamkan secuil Nur Muhammad di dalam tanah itu, kita dapat masuk bersatu di
dalamnya. Jadilah kita, makhluk paling sempurna di jagat raya. Manusia.
Sama seperti Nur Muhammad,
Nur Istiqomah adalah esensi hidupku. Sikap hatiku. Inti dari setiap langkahku.
Visi mataku. Dasar dari tiap tindakanku. Serta Landasan berpikirku. Aku
memujiNya saat dia menghidupkanmu. Dan
saat nama itu dilekatkan padamu.
Ekspedisi Muharram,
Pemutusan Ikatan, Fase Pengasingan, Purnama Ramadhan. Semuanya telah berhasil
kulalui. Kini setelah sekian lama, keyakinan kembali memeluk hatiku. Hari-hari
ini aku mulai merasakan kembali kekuatan mengalir dalam darahku. Visi cemerlang
terhampar jelas di depan mataku. Kini aku tak perlu mengejar apapun. Tak perlu
memenuhi apapun. Tak perlu mencapai apapun. Tak perlu merisaukan apapun. yang
perlu kulakukan hanyalah setia, setia pada yang kuyakini, setia pada apa yang
kubela.
TheAvenger is Dead.
But from now, Call
me the Knight..
The Knight of
Devotion
0 komentar :
Posting Komentar