Untuk, Maghfiratus Sa’idah
Kamu yang pertama, mb fir. aku tidak meragukanmu sebagai pendengar paling setia. kawan yang paling mengerti kesulitan para punggawa kelas ini. tapi sayang, kamu sendiri pelit sekali untuk menceritakan tentang dirimu. setiap pertanyaanku selalu dijawab "kamu ingin tahu? apa ingin tahu banget?"
ya, tidak ada pilihan selain aku menceritakan diri sendiri. lagi.
Pernah kukatakan padamu bahwa di kota ini ada empat hal yang paling membuatku bahagia. Satu, karir jurnalistikku berjalan sempurna. Kelak mungkin aku dapat mencapai cita-citaku. Seorang Jurnalis hebat. Dua, aku berhasil mempersatukan teman-teman satu angkatanku di bawah bendera pergerakan ini. Tiga, si cantik penakluk hatiku itu mau sedikit saja menoleh padaku. Dan empat, Kalian, kelas dengan kenangan paling manis yang pernah aku rasakan. Tetap kompak rukun, dan bersatu. Jadi sahabat sejati selamanya.
ya, tidak ada pilihan selain aku menceritakan diri sendiri. lagi.
Pernah kukatakan padamu bahwa di kota ini ada empat hal yang paling membuatku bahagia. Satu, karir jurnalistikku berjalan sempurna. Kelak mungkin aku dapat mencapai cita-citaku. Seorang Jurnalis hebat. Dua, aku berhasil mempersatukan teman-teman satu angkatanku di bawah bendera pergerakan ini. Tiga, si cantik penakluk hatiku itu mau sedikit saja menoleh padaku. Dan empat, Kalian, kelas dengan kenangan paling manis yang pernah aku rasakan. Tetap kompak rukun, dan bersatu. Jadi sahabat sejati selamanya.
Setiap laki-laki, dimanapun itu, punya keinginan
naluriah untuk membuktikan keberadaan diri sendiri. Kebahagiaan
pertama, adalah bukti konsistensi
sebagai seorang pencari ilmu. Kedua, Kredibilitasku sebagai seorang
pemimpin. Ketiga, Nilaiku sebagai seorang laki-laki. Keempat, Kesungguhanku
sebagai seorang teman.
Mb fir,
aku gagal membuktikan keempat-empatnya. Hah.. I’m such a coward.
Setahun terakhir , aku diserang ketakutan berlebih.
Masa-masa akhir saat ku masih punya kesempatan mewujudkan keempat-empatnya. Itu
membuatku frustasi dan mengambil serentetan tindakan cepat mengerahkan segala
cara. Namun, apa hendak dikata. Waktu dan
kejadian berputar sedemikian cepat. Dinamikanya terlalu rumit untuk dipikirkan
apalagi dicari jalan keluarnya. Tindakan-tindakan yang kulakukan bukan malah memperbaiki keadaan
malah semakin memperparahnya. Semua itu membuatku makin frustasi. Mirip orang
yang terjebak dalam lumpur hisap. Meronta sekuat tenaga ingin menggapai akar
yang menggantung diatasnya. Semuanya hanya membuatnya makin tenggelam. Makin
terbenam.
Dulu, saat pertama kali isyarat
itu muncul, seluruh sistem pertahanan tubuhku menyala merah. Mengindikasikan
adanya sebuah emosi tak terkendali yang perlahan bangkit. Bertahun-tahun aku
berusaha membunuhnya, membekukanya, dan membenamkannya dalam-dalam. Percuma,
emosi itu lepas begitu saja menembus kerangkengnya. Menyebar ke seluruh badan
menginfeksi seluruh tubuh. Kejernihan
berpikir, kekuatan akal, Energi juang, dan konsistensi akan janji, dipatahkan
satu-persatu. Dan, akibatnya adalah malam itu. Aku kehilangan Impian terbesarku.
aku terpaksa mengkhianati janjiku demi teman-temanku.
Teman-teman yang kupikir adalah sahabat yang akan selalu berjuang bersama. Ya,
satu setengah tahun kami berjalan bersama sebagai Brother in Arms. Menembus
kesulitan bersama. Yah, setidaknya sampai mereka menusukku dari belakang.
Tonight,, we
all... die Young. Malam itu aku
tahu, kebahagiaan pertama musnah.
Hari-hari
selanjutnya aku belum bisa menerima kenyataan itu. Aku kembali pada kalian
teman-temanku. Kelasku. Yang lama sudah kulupakan. Satu hal yang terlambat
kusadari adalah hanya karena punya eksistensi hebat diantara teman-teman
jurnalisku, aku meremehkan kalian. Aku merasa tidak butuh kalian. Dan ketika
aku kembali, kalian telah terlampau jauh memalingkan muka dariku. Terlambat.
Aku tidak akan menyuruh kamu untuk
membayangkan rasanya.
Semakin
gelap semakin muram saja setelah itu. Sementara infeksi perasaan mulai
menggerogoti tubuh dalam tingkat yang lebih parah. Makin parah hingga hari
itupun tiba. Hari terpahit di dunia.
Hemh... (saat menulis ini, butuh beberapa saat
untuk menarik nafas panjang dan
mengumpulkan kekuatan).
mengumpulkan kekuatan).
Aku masih ingat
tanggalnya, 14 Desember 2012. Bukankah kamu pernah menanyakan kenapa aku tidak pernah
mengungkapkannya? Jawabannya, satu, karena aku Bodoh. kedua, saat aku menyadari
kebodohanku, semua sudah terlambat. Hari itu aku tahu. Aku kehilangan
kesempatan untuk memilikinya.. ah, atau sekedar mengungkapkannya. Dia,
destinasi dari semua rinduku, sudah jadi milik orang lain.
Kebahagiaan
ketiga, Musnah.
Tahukah kamu
bagaimana rasanya, mb fir? Samakah dengan yang kamu rasakan terhadapku?
Hari
itu aku ingin sekali berlari pulang. Pergi sejenak sejauh-jauhnya dari tempat
ini. Atau dari segala sesuatu yang mengingatkanku padanya. Termasuk dari
kalian. Tapi tidak bisa, hari itu juga tugas kepemimpinan kembali memanggil.
Aku menjerit dalam hati. bisakah sejenak aku bebas dari kata-kata Konsistensi,
Tanggung Jawab, Kesabaran, Latensi, Loyalitas dan semacamnya? Hari itu juga
masa musyawarah besar angkatanku dimulai.
Aku
masih ingat malam 14 desember itu kami berduapuluh lima mendaki jalanan gelap
menuju kamp tempat acara. Masing-masing memikul beban suplai bahan makanan dan
alat-alat memasak. Beberapa anggota perempuan mulai diserang pusing. Sulit
bernafas dan kelelahan. Kami membagi beban pada yang masih kuat. Aku memikul
karung beras di bahu kanan dan menenteng panci besar di tangan kiri. Lambung
kiriku kuikat dengan sarung kuat-kuat agar tak terlalu nyeri. Hati seorang
pemimpin tidak boleh lemah! Aku harus berdiri paling depan meretas bahaya! Aku
yang harus memikul beban paling berat! Akulah orang yang pertama lapar, dan
yang terakhir kenyang! Aku harus melupakannya! Aku harus melupakannya!
Musyawarah
besar diakhiri dengan forum curhat di malam ketiga. Diselingi canda tawa dalam
hangat keakraban. Aku masih diam menahan nyeri. Tiba giliranku, forum curhat
itu berubah menjadi penghakiman masal terhadap Ketua Angkatan. Aku. Dinihari
lepas selepas tendensi mahaberat itu, aku menengadah kelangit. Semuanya bilang
Aku Egois dan Otoriter.
Tuhan,
gagalkah aku jadi seorang Pemimpin?
Kebahagiaan
Kedua, Musnah di Hari yang sama.
Semua
terasa lengkap sekarang. Senin itu, 1 Juli 2013. Kelas kita, KPI A2 Rassional
tercinta, resmi berakhir. Tanpa Kata, tanpa ungkapan, tanpa salam perpisahan.
Semuanya datar dan beku hari itu. Tidak ada yang berkesan kecuali dua Tamparan
Mb Mir yang mendarat di mukaku. Aku hanya bisa memejamkan mata dan menghela
nafas berat di depan masjid.
Kebahagiaan
Keempat. Musnah.
Aku
Minta Maaf mb fi, atas sikapku yang seperti orang sinting selama setahun
terakhir. Tapi aku percaya. Kamulah pendengar paling setia, kamulah yang
mengerti dan paham. Jadi rujukan kosma dan wakilnya. Itu membuktikan peranmu
yang tidak kecil. Maaf atas semua yang tak terbalas. Maaf atas semua yang
tersakiti. Sudah lama berlalu sejak itu. Namun, kini aku mulai menemukan
ketentraman dengan berlajar memahami kata-kata; Melupakan, Merelakan,
Melepaskan, Memaafkan, Berterima Kasih, Menyayangi, dan Pasrah.
Kadang,
keadaan terlampau tidak adil pada kita. jika memang benar yang membuatmu gelisah itu aku, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menebusnya. Tapi percayalah, waktu akan
menyembuhkan luka. Time Heals Most Wound... Begitu kata orang bijak. semoga saja itu benar.
0 komentar :
Posting Komentar