Rabu, 24 Juli 2013

Time Heals Most Wound


Surat Pertama,  1 Ramadhan 1434 H
     Untuk, Maghfiratus Sa’idah

       Kamu yang pertama,  mb fir. aku tidak meragukanmu sebagai pendengar paling setia. kawan yang paling mengerti kesulitan para punggawa kelas ini. tapi sayang, kamu sendiri pelit sekali untuk menceritakan tentang dirimu. setiap pertanyaanku selalu dijawab "kamu ingin tahu? apa ingin tahu banget?"
ya, tidak ada pilihan selain aku menceritakan diri sendiri. lagi.
Pernah kukatakan padamu bahwa di kota ini ada empat hal yang paling membuatku bahagia. Satu, karir jurnalistikku berjalan sempurna. Kelak mungkin aku dapat mencapai cita-citaku. Seorang Jurnalis hebat. Dua, aku berhasil mempersatukan teman-teman satu angkatanku di bawah bendera pergerakan ini. Tiga, si cantik penakluk hatiku itu mau sedikit saja menoleh padaku. Dan empat, Kalian, kelas  dengan kenangan paling manis yang pernah aku rasakan. Tetap kompak rukun, dan bersatu. Jadi sahabat sejati selamanya.

                Setiap laki-laki, dimanapun itu, punya keinginan naluriah untuk membuktikan keberadaan diri sendiri. Kebahagiaan pertama, adalah bukti konsistensi  sebagai seorang pencari ilmu. Kedua, Kredibilitasku sebagai seorang pemimpin. Ketiga, Nilaiku sebagai seorang laki-laki. Keempat, Kesungguhanku sebagai seorang teman.
               Mb fir, aku gagal membuktikan keempat-empatnya. Hah.. I’m such a coward.
Setahun terakhir , aku diserang ketakutan berlebih. Masa-masa akhir saat ku masih punya kesempatan mewujudkan keempat-empatnya. Itu membuatku frustasi dan mengambil serentetan tindakan cepat mengerahkan segala cara.  Namun, apa hendak dikata. Waktu dan kejadian berputar sedemikian cepat. Dinamikanya terlalu rumit untuk dipikirkan apalagi dicari jalan keluarnya. Tindakan-tindakan yang  kulakukan bukan malah memperbaiki keadaan malah semakin memperparahnya. Semua itu membuatku makin frustasi. Mirip orang yang terjebak dalam lumpur hisap. Meronta sekuat tenaga ingin menggapai akar yang menggantung diatasnya. Semuanya hanya membuatnya makin tenggelam. Makin terbenam.
               Dulu, saat pertama kali isyarat itu muncul, seluruh sistem pertahanan tubuhku menyala merah. Mengindikasikan adanya sebuah emosi tak terkendali yang perlahan bangkit. Bertahun-tahun aku berusaha membunuhnya, membekukanya, dan membenamkannya dalam-dalam. Percuma, emosi itu lepas begitu saja menembus kerangkengnya. Menyebar ke seluruh badan menginfeksi seluruh  tubuh. Kejernihan berpikir, kekuatan akal, Energi juang, dan konsistensi akan janji, dipatahkan satu-persatu. Dan, akibatnya adalah malam itu. Aku kehilangan Impian terbesarku.
               aku terpaksa mengkhianati janjiku demi teman-temanku. Teman-teman yang kupikir adalah sahabat yang akan selalu berjuang bersama. Ya, satu setengah tahun kami berjalan bersama sebagai Brother in Arms. Menembus kesulitan bersama. Yah, setidaknya sampai mereka menusukku dari belakang.
Tonight,, we all... die Young. Malam itu aku tahu, kebahagiaan pertama musnah.
                Hari-hari selanjutnya aku belum bisa menerima kenyataan itu. Aku kembali pada kalian teman-temanku. Kelasku. Yang lama sudah kulupakan. Satu hal yang terlambat kusadari adalah hanya karena punya eksistensi hebat diantara teman-teman jurnalisku, aku meremehkan kalian. Aku merasa tidak butuh kalian. Dan ketika aku kembali, kalian telah terlampau jauh memalingkan muka dariku. Terlambat.
              Aku tidak akan menyuruh kamu untuk membayangkan rasanya.
              Semakin gelap semakin muram saja setelah itu. Sementara infeksi perasaan mulai menggerogoti tubuh dalam tingkat yang lebih parah. Makin parah hingga hari itupun tiba. Hari terpahit di dunia.
           Hemh... (saat menulis ini, butuh beberapa saat untuk menarik nafas panjang dan      
           mengumpulkan kekuatan).
Aku masih ingat tanggalnya, 14 Desember 2012. Bukankah kamu pernah menanyakan kenapa aku tidak pernah mengungkapkannya? Jawabannya, satu, karena aku Bodoh. kedua, saat aku menyadari kebodohanku, semua sudah terlambat. Hari itu aku tahu. Aku kehilangan kesempatan untuk memilikinya.. ah, atau sekedar mengungkapkannya. Dia, destinasi dari semua rinduku, sudah jadi milik orang lain. 
             Kebahagiaan ketiga, Musnah.
             Tahukah kamu bagaimana rasanya, mb fir? Samakah dengan yang kamu rasakan terhadapku?
             Hari itu aku ingin sekali berlari pulang. Pergi sejenak sejauh-jauhnya dari tempat ini. Atau dari segala sesuatu yang mengingatkanku padanya. Termasuk dari kalian. Tapi tidak bisa, hari itu juga tugas kepemimpinan kembali memanggil. Aku menjerit dalam hati. bisakah sejenak aku bebas dari kata-kata Konsistensi, Tanggung Jawab, Kesabaran, Latensi, Loyalitas dan semacamnya? Hari itu juga masa musyawarah besar angkatanku dimulai.
             Aku masih ingat malam 14 desember itu kami berduapuluh lima mendaki jalanan gelap menuju kamp tempat acara. Masing-masing memikul beban suplai bahan makanan dan alat-alat memasak. Beberapa anggota perempuan mulai diserang pusing. Sulit bernafas dan kelelahan. Kami membagi beban pada yang masih kuat. Aku memikul karung beras di bahu kanan dan menenteng panci besar di tangan kiri. Lambung kiriku kuikat dengan sarung kuat-kuat agar tak terlalu nyeri. Hati seorang pemimpin tidak boleh lemah! Aku harus berdiri paling depan meretas bahaya! Aku yang harus memikul beban paling berat! Akulah orang yang pertama lapar, dan yang terakhir kenyang! Aku harus melupakannya! Aku harus melupakannya!
             Musyawarah besar diakhiri dengan forum curhat di malam ketiga. Diselingi canda tawa dalam hangat keakraban. Aku masih diam menahan nyeri. Tiba giliranku, forum curhat itu berubah menjadi penghakiman masal terhadap Ketua Angkatan. Aku. Dinihari lepas selepas tendensi mahaberat itu, aku menengadah kelangit. Semuanya bilang Aku Egois dan Otoriter.
                Tuhan, gagalkah aku jadi seorang Pemimpin?
                Kebahagiaan Kedua, Musnah di Hari yang sama.
                Semua terasa lengkap sekarang. Senin itu, 1 Juli 2013. Kelas kita, KPI A2 Rassional tercinta, resmi berakhir. Tanpa Kata, tanpa ungkapan, tanpa salam perpisahan. Semuanya datar dan beku hari itu. Tidak ada yang berkesan kecuali dua Tamparan Mb Mir yang mendarat di mukaku. Aku hanya bisa memejamkan mata dan menghela nafas berat di depan masjid.
                Kebahagiaan Keempat. Musnah.
               
                Aku Minta Maaf mb fi, atas sikapku yang seperti orang sinting selama setahun terakhir. Tapi aku percaya. Kamulah pendengar paling setia, kamulah yang mengerti dan paham. Jadi rujukan kosma dan wakilnya. Itu membuktikan peranmu yang tidak kecil. Maaf atas semua yang tak terbalas. Maaf atas semua yang tersakiti. Sudah lama berlalu sejak itu. Namun, kini aku mulai menemukan ketentraman dengan berlajar memahami kata-kata; Melupakan, Merelakan, Melepaskan, Memaafkan, Berterima Kasih, Menyayangi, dan Pasrah.
                Kadang, keadaan terlampau tidak adil pada kita. jika memang benar yang membuatmu gelisah itu aku, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menebusnya. Tapi percayalah, waktu akan menyembuhkan luka. Time Heals Most Wound... Begitu kata orang bijak. semoga saja itu benar.
               

0 komentar :

Posting Komentar