Dimana bahagiamu diletakkan? Di suatu tempatkah? Pada
sebuah bendakah? Atau pada suatu waktukah? Atau jangan-jangan, pada seseorang?
Lalu, mana yang terbaik bagi kita diantara keempat pilihan diatas?
Aku
melompat turun dari pintu. Bus PO. Tjipto itupun melesat berlalu. Perjalanan
enam jam yang melelahkan. Apalagi perut
ini hanya diganjal air putih saat berbuka di terminal probolinggo tadi. Aku
terdiam sejenak, mengawasi keadaan sekitar. Entah berapa kali moment seperti
ini terjadi dalam hidupku. Tidak, ini bukan semacam De Javu yang diceritakan mb
yus padaku. Angin dinginnya, lambaian
akar beringin, lampu kota yang bersinar kuning, dan punggung bus yang segera
berlalu menjauh.
Percayalah,
Tidak ada cuaca yang berubah secepat cuaca Hati. Beberapa tahun lalu, aku
menjejakkan kaki di tempat ini dengan perasaan gembira, beberapa tahun
sebelumnya, penjejakan kaki disini membuatku sedih. Dan, sekarang, terulang
lagi, aku tiba di tempat ini dengan perasaan sedih. Sesaat tempat ini jadi
bahagiaku, Sesaat tempat ini jadi sedihku, lalu, dimanakah kebahagiaan sejati
itu?
Dimana
Bahagiamu diletakkan? Dulu sekali,
bahagiaku diletakkan pada mobil polisi Lamborghini ungu hadiah kakek sepulang
dari tanah suci. Lalu pada Tamagochi kecilku. Lalu pada mobil Tamiya Mantaray
yang kubeli dari tabungaku. Lalu pada Elang Emas tungganganku, lalu pada trofi
juara IPS-Ku.
Lalu,
kebahagiaanku diletakkan pada tiap-tiap menjelang bulan Ramadhan. Pada
pagihari, siang, sore dan malam harinya. Lalu, pada setiap perjalanan menuju
rumah kakek. Jalannya, pelabuhannya. Aku sedih
saat menaiki bus meninggalkan Madura, semakin meradang saat pulauku itu
menjauh ditelan biru laut selat madura. Aku bisa melamun seharian penuh memadang
keluar jendela bis. Lalu mulai menangis saat memasuki gerbang kota Bondowoso.
Semakin menjadi saat ayah berujar padaku “Selamat datang Bondowoso, selamat
datang kota perjuangan.”
Keadaan
berbalik, sedihku dipasang saat meninggalkan Bondowoso untuk mengaji 64 Km
jauhnya dari rumah. Sendirian. Di depan sana tak ada lagi kasur empuk, makanan
gratis, rumah yang nyaman dan orang-orang yang menyayangimu.
Lalu,
bahagiaku dipasang saat menjemput surat izin pulang dari pondok. Menuju rumah,
berisirahat dari overheat dinamika mencari ilmu. Aku nyaris melompat
kegirangan saat memasuki gerbang kota Bondowoso. Madura? Semakin lama semakin
terasa biasa. Begitu terus berulang-ulang, setiap tahun.
Jadi,
dimanakah kebahagiaan sejati kita itu? Di suatu tempatkah? Pada suatu bendakah?
Dalam suatu waktukah? Atau pada seseorang? Semua jawaban salah, kebahagiaan itu
ada dalam Hati kita masing-masing, kitalah
yang mengatur cuaca bagi hati kita.
Pintar-pintarlah
menbedakan mana kebahagiaan, mana kesenangan. Berusahalah untuk bahagia, jangan
berusaha untuk senang. Senang hanya kesementaraan yang memabukkan. Sedang bahagia
adalah ketenangan abadi. Bahagia tak selalu berbentuk tawa. Bahagia kadang
direpresentasikan dengan air mata, jeritan, bahkan rintihan, atau diam. Bahkan,
adakalanya saat hati kita bersedih, saat itulah juga kita sedang bahagia.
Sahabatku,
ada seribu alasan bagi kita untuk Bahagia, Seribu pula alasan bagi kita untuk
Bersedih. Namun, ketahuilah, Sedih dan Bahagia, semuanya terserah kita.
Catatan : Konsep ini tidak
berguna saat Bahagiamu tiba-tiba diletakkan pada seseorang
A Place where we make
a member
So Sad to remember...
And happy for the Others
(By: Yusrainia Achmada)
0 komentar :
Posting Komentar