Senin, 13 Agustus 2012

Sadness Point, And Happines Point.


Perum Hargo Wilis, 11 Agustus 2012
                Dimana bahagiamu diletakkan? Di suatu tempatkah? Pada sebuah bendakah? Atau pada suatu waktukah? Atau jangan-jangan, pada seseorang? Lalu, mana yang terbaik bagi kita diantara keempat  pilihan diatas?

Aku melompat turun dari pintu. Bus PO. Tjipto itupun melesat berlalu. Perjalanan enam jam yang melelahkan.  Apalagi perut ini hanya diganjal air putih saat berbuka di terminal probolinggo tadi. Aku terdiam sejenak, mengawasi keadaan sekitar. Entah berapa kali moment seperti ini terjadi dalam hidupku. Tidak, ini bukan semacam De Javu yang diceritakan mb yus padaku.  Angin dinginnya, lambaian akar beringin, lampu kota yang bersinar kuning, dan punggung bus yang segera berlalu menjauh.
Percayalah, Tidak ada cuaca yang berubah secepat cuaca Hati. Beberapa tahun lalu, aku menjejakkan kaki di tempat ini dengan perasaan gembira, beberapa tahun sebelumnya, penjejakan kaki disini membuatku sedih. Dan, sekarang, terulang lagi, aku tiba di tempat ini dengan perasaan sedih. Sesaat tempat ini jadi bahagiaku, Sesaat tempat ini jadi sedihku, lalu, dimanakah kebahagiaan sejati itu?
Dimana Bahagiamu diletakkan?  Dulu sekali, bahagiaku diletakkan pada mobil polisi Lamborghini ungu hadiah kakek sepulang dari tanah suci. Lalu pada Tamagochi kecilku. Lalu pada mobil Tamiya Mantaray yang kubeli dari tabungaku. Lalu pada Elang Emas tungganganku, lalu pada trofi juara IPS-Ku.
Lalu, kebahagiaanku diletakkan pada tiap-tiap menjelang bulan Ramadhan. Pada pagihari, siang, sore dan malam harinya. Lalu, pada setiap perjalanan menuju rumah kakek. Jalannya, pelabuhannya. Aku sedih  saat menaiki bus meninggalkan Madura, semakin meradang saat pulauku itu menjauh ditelan biru laut selat madura. Aku bisa melamun seharian penuh memadang keluar jendela bis. Lalu mulai menangis saat memasuki gerbang kota Bondowoso. Semakin menjadi saat ayah berujar padaku “Selamat datang Bondowoso, selamat datang kota perjuangan.”
Keadaan berbalik, sedihku dipasang saat meninggalkan Bondowoso untuk mengaji 64 Km jauhnya dari rumah. Sendirian. Di depan sana tak ada lagi kasur empuk, makanan gratis, rumah yang nyaman dan orang-orang yang menyayangimu.
Lalu, bahagiaku dipasang saat menjemput surat izin pulang dari pondok. Menuju rumah, berisirahat dari overheat  dinamika mencari ilmu. Aku nyaris melompat kegirangan saat memasuki gerbang kota Bondowoso. Madura? Semakin lama semakin terasa biasa. Begitu terus berulang-ulang, setiap tahun.
Jadi, dimanakah kebahagiaan sejati kita itu? Di suatu tempatkah? Pada suatu bendakah? Dalam suatu waktukah? Atau pada seseorang? Semua jawaban salah, kebahagiaan itu ada dalam Hati kita masing-masing, kitalah  yang mengatur cuaca bagi hati kita.
Pintar-pintarlah menbedakan mana kebahagiaan, mana kesenangan. Berusahalah untuk bahagia, jangan berusaha untuk senang. Senang hanya kesementaraan yang memabukkan. Sedang bahagia adalah ketenangan abadi. Bahagia tak selalu berbentuk tawa. Bahagia kadang direpresentasikan dengan air mata, jeritan, bahkan rintihan, atau diam. Bahkan, adakalanya saat hati kita bersedih, saat itulah juga kita sedang bahagia.
Sahabatku, ada seribu alasan bagi kita untuk Bahagia, Seribu pula alasan bagi kita untuk Bersedih. Namun, ketahuilah, Sedih dan Bahagia, semuanya terserah kita.

Catatan : Konsep ini tidak berguna saat Bahagiamu tiba-tiba diletakkan pada seseorang

A Place where we make a member
So Sad to remember...
And happy for the Others
(By: Yusrainia Achmada)

0 komentar :

Posting Komentar