Sabtu, 30 Juni 2012

Nurul Jadid, Sejuta Rinduku Untukmu


One day earlier...
Apa yang membuatku sangat bersyukur adalah, aku pernah menjadi bagian dari tempat ini. Tanah sejuta Barakah. Dibangun oleh para wali allah dan dihuni oleh orang-orang mulia. Melahirkan para manusia-manusia shaleh yang turut mewarnai dunia. Nah, rupanya Surabaya sudah berhasil mengubah penampilanku dari seorang santri menjadi potongan seorang preman. Jadi, tak ada yang melihatku sebagai seorang alumni. Alih-alih malah seorang pelaku curanmor yang masuk ke Harlah, Ah...
Guruku bilang, saat-saat kuliah kedepan, dalam proses belajarku, aku akan menghadapi bahaya-bahaya kejenuhan, kebosanan, sombong, terlena dengan hal-hal indah, Serta dihadang dengan hal-hal yang diluar batas kemampuanku. Jika aku tak kuat, maka aku akan hancur selamanya. Tapi kata beliau, Aku punya kekuatan-kekuatan tak terduga di sisiku. Yang akan membantuku mengatasi bahaya diatas, bujukan nafsu dan setan. Kekuatan itu adalah koneksi batin. Dengan orang tua dan guru.
Oleh karena itu, hari-hari sebelumnya aku selalu melagukan tawassul  KH Zaini, disela-sela kuliah saat Pak Razi mengajar. Farid bengong memperhatikan, dikiranya aku sedang merapal mantra pembelah langit. Bahkan, Tawassul itu jadi updetan statusku di Facebook (Anisa dengan polos bertanya “Artinya apa?”). yang kucoba lakukan adalah, Mengingatkan kembali bahwa akau adalah murid para Almarhumin.  Sama sekali tak boleh lupa pada mereka. tak boleh lupa menggirim Do’a.
Akhirnya rinduku terobati. Aku bisa merasakan kembali belaian udaranya. Minum lagi air pet masjid yang segar, Mendengar kembali bait-bait Alfiyyah. Sema’an Al-Qur’an para hafidz, Shalawat Thibbil Qulub serta Sayyidul Istighfar milik Nabi Adam As. Berceloteh kembali bersama teman-teman, layaknya seorang santri.
Yang terpenting, aku bisa kembali duduk di Astah. Memperbaiki Koneksi batin dengan para guru. Aku tahu, aku memang bukan santri ideal seperti yang mereka harapkan. Yang segala tindak langkahnya selalu berdasar firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya, Namun, aku cuma ingin diakui pernah jadi santri beliau. Itu saja.
Terakhir, sebelum kembali ke medan perang, secara khusus kudengarkan dawuh KH. Zuhri Zaini dalam acara Haul dan Harlah PP. Nurul Jadid. Asal kau tahu, kawan, apapun yang keluar dari bibir beliau kendati cuma candaan dan gumaman, seharga emas. Bisa dipusakakan dan jadi pegangan hidup. Tidak seperti omongan ilmiahku yang seharga sampah, berbunyi (“Preketek” versi Ussy, “Preet” versi yulia). Nah, ini dia beliau mulai memberi sambutan.
“La’stiqbala liman la madiya lahu. Tidak ada masa depan bagi orang yang tak ingat masa lalunya.”
Dapat. Apa yang beliau katakan, tentu saja, benar, dan cocok dengan keadaanku.


Hadzal Maqaama Qad Jiina..
Bihimmatina
 Wajihadina...
Tabarrakna...
Tahassalna...
Bijahi Syaikhina Zaini...

0 komentar :

Posting Komentar