Jadi, baru-baru ini, tuhan mengacak-acak diriku dengan rentetan
kejadian yang begitu cepat.
otakku yang terlalu lambat tak mampu
mengejar dan mencatat takdir tuhan walau satu bab-pun dalam blog? Tapi baiklah,
ini Edisi Qadha dari semuanya.
Kamis, 21
Juni 2012
Laut
selat Madura yang beriak rupanya melukiskan wajah kakek dengan cukup jelas,
dari dulu, sorot matanya tak pernah berubah, sejak aku lahir, hingga dewasa.
Tatapan yang penuh rasa kebanggaan. Hanya untukku, tidak untuk cucunya yang
lain.
Dia dan ayahku adalah
dua orang pejuang yang paling aku kagumi di dunia ini. setua itu, Bahunya masih
terlihat kokoh, Kekar berotot, tinggi besar dan menjulang. Kendati tubuhnya
mulai bungkuk dimakan usia. Dikelilingi Kharisma dan dibungkus kewibawaan
seorang ‘abid sejati. Dialah kakekku,
The Great Ancient Warrior. Namanya
menggaung sejauh 29 KM. Yang mencecah bumi, membabat belantara. Lalu membangun
rumah bagi kami semua. Sendirian.
Aku
merasa bersalah beberapa kali mengulur janji untuk mengunjunginya. Padahal aku
tahu bagaimana inginnya dia bertemu cucu kesayangannya ini. di Usia senjanya,
Dimana bayang-bayang kematian selalu menyertainya. Bahkan, impiannya untuk
menyaksikan langsung wisuda sarjanaku banyak disangsikan orang. Tapi aku tahu
dia tidak akan marah, secuil jengkelpun tak akan ada. Tidak, bahkan dia tidak
pernah marah padaku. Sejak aku lahir hingga sekarang.
Dia
selalu menyempatkan untuk mengajakku duduk bersama.lalu aku mulai bercerita
tentang petualanganku di tanah seberang. Kukatakan semua yang kutemui di sana.
Dia selalu mendengarkan dengan tatap binar penuh antusiasme. Saat tiba
gilirannya, akupun mendengarkan. Dia bercerita tentang dirinya yang sudah
sebegitu lemah untuk memikul berbagai beban tanggung jawab keluarga besar kami.
Berat,
Berat sekali. Aku tahu kakek benar-benar menaruh harapan besar padaku.
Satu-satunya cucu laki-laki yang bisa diharapkannya. Kendatipun dia tak
mengatakannya, tatapan matanya selalu berkata bahwa tak lama lagi dia sendiri
yang akan menyerahkan pedang dan perisainya padaku. Pada laki-laki sekerdil aku. Untuk
bertarung, memimpin, dan melindungi keluarga
ini melintasi marabahaya didepan
sana.
“Nak, dua hal yang paling kuinginkan
di dunia ini, aku ingin punya bekal saat mati nanti, lalu aku ingin mewariskan
sesuatu yang kupunya untuk anak
cucuku nanti.” Ujarnya dengan
nada yang mampu membuatku gemetar.
Tapi,
inilah rentetan kejadian akhir yang membuatku ingin benar-benar menjadi manusia
yang bersyukur. Kakek selalu bisa mengeraskan kembali tekadku. Aku merasakan
darah juangnya mengalir deras dalam tubuhku. Aku bangga padanya. Dan aku bangga
menjadi cucunya. Sang Ancient Warrior.
Apa yang kutakutkan?
Apa yang kukhawatirkan? Aku punya
mereka. yang menaungiku dengan cinta yang tak terkatakan dalam puisi, dan tak
tergubah dalam sya’ir. Aku tak berhak
gelisah hanya karena tak mampu memiliki seseorang. Bodohnya aku, mengharap
cinta yang bukan hakku. Lalu lupa bersyukur akan berjuta cinta yang kumiliki.
Maafkan aku tuhan, maafkan aku...
Ini adalah peneguhan misiku. Abi, Abah, Ummi,
dan Ummi sepuh, tak akan kusia-siakan pengorbanan kalian. Tak akan kukecewakan
kalian. Aku akan laksanakan tugasku,
sebaik-baiknya
Baiklah, Tugasmu
adalah belajar
Belajar menjadi kader
yang baik.
Belajar menjadi pemimpin
yang baik.
Belajar menjadi teman
yang baik
Belajar menjadi anak
yang baik
Belajar menjadi kakak
yang baik
Belajar menjadi adik
yang baik
Belajar menjadi
manusia yang baik
Terlebih, Menjadi
hamba yang baik
Avengers, Forward!
wallopen
BalasHapusKere
BalasHapus