Minggu, 24 Juni 2012

Reporting For Duty


Jadi, baru-baru ini, tuhan mengacak-acak diriku dengan rentetan kejadian yang begitu cepat. otakku yang terlalu lambat tak mampu mengejar dan mencatat takdir tuhan walau satu bab-pun dalam blog? Tapi baiklah, ini Edisi Qadha dari semuanya.

Kamis, 21 Juni 2012
                Laut selat Madura yang beriak rupanya melukiskan wajah kakek dengan cukup jelas, dari dulu, sorot matanya tak pernah berubah, sejak aku lahir, hingga dewasa. Tatapan yang penuh rasa kebanggaan. Hanya untukku, tidak untuk cucunya yang lain.

Dia dan ayahku adalah dua orang pejuang yang paling aku kagumi di dunia ini. setua itu, Bahunya masih terlihat kokoh, Kekar berotot, tinggi besar dan menjulang. Kendati tubuhnya mulai bungkuk dimakan usia. Dikelilingi Kharisma dan dibungkus kewibawaan seorang ‘abid sejati. Dialah kakekku, The Great Ancient Warrior. Namanya menggaung sejauh 29 KM. Yang mencecah bumi, membabat belantara. Lalu membangun rumah bagi kami semua. Sendirian.
                Aku merasa bersalah beberapa kali mengulur janji untuk mengunjunginya. Padahal aku tahu bagaimana inginnya dia bertemu cucu kesayangannya ini. di Usia senjanya, Dimana bayang-bayang kematian selalu menyertainya. Bahkan, impiannya untuk menyaksikan langsung wisuda sarjanaku banyak disangsikan orang. Tapi aku tahu dia tidak akan marah, secuil jengkelpun tak akan ada. Tidak, bahkan dia tidak pernah marah padaku. Sejak aku lahir hingga sekarang.
                Dia selalu menyempatkan untuk mengajakku duduk bersama.lalu aku mulai bercerita tentang petualanganku di tanah seberang. Kukatakan semua yang kutemui di sana. Dia selalu mendengarkan dengan tatap binar penuh antusiasme. Saat tiba gilirannya, akupun mendengarkan. Dia bercerita tentang dirinya yang sudah sebegitu lemah untuk memikul berbagai beban tanggung jawab keluarga besar kami.
                Berat, Berat sekali. Aku tahu kakek benar-benar menaruh harapan besar padaku. Satu-satunya cucu laki-laki yang bisa diharapkannya. Kendatipun dia tak mengatakannya, tatapan matanya selalu berkata bahwa tak lama lagi dia sendiri yang akan menyerahkan pedang dan perisainya padaku. Pada laki-laki sekerdil aku. Untuk bertarung,  memimpin, dan melindungi keluarga ini melintasi marabahaya didepan sana.
                “Nak, dua hal yang paling kuinginkan di dunia ini, aku ingin punya bekal saat mati nanti, lalu aku ingin mewariskan sesuatu yang kupunya untuk anak cucuku nanti. Ujarnya dengan nada yang mampu membuatku gemetar.     
                Tapi, inilah rentetan kejadian akhir yang membuatku ingin benar-benar menjadi manusia yang bersyukur. Kakek selalu bisa mengeraskan kembali tekadku. Aku merasakan darah juangnya mengalir deras dalam tubuhku. Aku bangga padanya. Dan aku bangga menjadi cucunya. Sang Ancient Warrior.
                Apa yang kutakutkan? Apa yang kukhawatirkan?  Aku punya mereka. yang menaungiku dengan cinta yang tak terkatakan dalam puisi, dan tak tergubah dalam sya’ir. Aku  tak berhak gelisah hanya karena tak mampu memiliki seseorang. Bodohnya aku, mengharap cinta yang bukan hakku. Lalu lupa bersyukur akan berjuta cinta yang kumiliki. Maafkan aku tuhan, maafkan aku...
                 Ini adalah peneguhan misiku. Abi, Abah, Ummi, dan Ummi sepuh, tak akan kusia-siakan pengorbanan kalian. Tak akan kukecewakan kalian.   Aku akan laksanakan tugasku, sebaik-baiknya
                Baiklah, Tugasmu adalah belajar
                Belajar menjadi kader yang baik.
                Belajar menjadi pemimpin yang baik.
                Belajar menjadi teman yang baik
                Belajar menjadi anak yang baik
                Belajar menjadi kakak yang baik
                Belajar menjadi adik yang baik
                Belajar menjadi manusia yang baik
                Terlebih, Menjadi hamba yang baik

                Avengers, Forward!

2 komentar :