Jumat, 20 Maret 2015

Utsusemi (Man of The World)

Hotel Utami Sidoarjo, 14 Maret 2015
           
         Koleris, unggul di saat darurat.
         Dengan kata lain, menghilang di saat-saat  bahagia.

       Egois, ideal, pemarah, kaku, dan otoriter. tidak perlu penelitian lebih lanjut untuk mengatakan bahwa aku ini koleris murni. Dan mungkin satu-satunya diantara sepuluh peserta Maestro Megatrend Momentum tahun lalu. Dan aku tak pernah malu mengakuinya. Hero-hero INT memang harus egois. Egois karena mereka mampu melihat jalan ketiga yang tak mungkin dapat dimengerti oleh orang biasa. lihat bagaimana Sokrates dicap sesat, Einstein dan Darwin divonis gila, Gus Dur dianggap sinting, dan Ki Baghawanta Bari yang dituduh mengada-ngada.
Mereka harus tetap egois dan memepertahankan apa yang mereka yakini. Dalam taraf tertentu mengabaikan nasehat-nasehat yang melemahkan. Bahkan jika harus berakhir meminum hemlock di depan sidang dewan kehormatan Athena. Mati memegang keyakinannya. Adalah tugas para ilmuwan untuk mendobrak batas-batas norma dan hukum. Agar kebuntuan bisa pecah, dan revolusi bisa melompat jauh ke depan.
         Yah, Koleris selalu unggul di saat darurat, Bersinar di saat krisis,  dan tegak disaat kekeringan. Dalam keadaan makmur, mereka hilang. Tenggelam.
         Aku berdiri di kerumunan wajah-wajah yang bahagia. Pagi yang cerah saat seratus sekian orang sarjana terbaik UIN Sunan Ampel Surabaya diwisuda. Mereka adalah benih-benih terbaik kampus ini, terbaik—atau setidaknya begitulah penilaian khalayak—karena mereka mampu menuntaskan studi lebih cepat. Membanggakan orang tua dan Almamater tercinta. Dunia sedang tersenyum pada mereka. Hujan pujian dan selamat, serta kuntum-kuntum bunga mewarnai hari itu. Hari dimana banyak hajat menemui keterlaksanaannya, Banyak penantian bertemu penghujungnya, usaha yang menemukan hasilnya, dan banyak hati menemui pelabuhannya.
       Aku berdiri sendirian. asing di tengah keramaian. Kadang sebuah pertanyaan menggelitiki hati ini, sebenarnya untuk siapakah aku ke sini? Tak satupun orang dekatku yang diwisuda hari ini. ah, bahkan aku pun tak pernah benar-benar punya orang dekat. konyol, orang yang kuanggap paling dekat pun ada di dekat sini, namun dia menyangkal keberadaanku dan berusaha menjauhiku. Sekedar mengucapkan selamat pada icha mungkin, karena bagaimanapun kita dulu pernah sekelas, pernah dekat, pernah begitu sering berpusing-pusing bersama mengerjakan tugas. Tidak memberikan selamat pada hari pentingnya adalah sebuah kekurangajaran sosial. Setiap orang ingin dikunjungi orang-orang penting dalam hari penting mereka. Aku, setelah beberapa tahun berlalu bukanlah termasuk orang tersebut dalam hidupnya. Sekedar selamat, jangan berlama-lama kalau tidak mau merusak suasana. Ada disana mungkin teman-teman seideologi. Namun aku lebih sering nyempal dari kelompok setahun terakhir. Teman-teman KKN mungkin, mungkin mereka yang paling dekat saat ini. tapi tetap saja hati ini berbisk tiada henti;
          You don’t belong anywhere.
        Tapi masa bodohlah. Aku tetap saja berkeliling mengitari bangunan utama Hotel Utami Juanda ini. melihat bagaimana manusia bertemu, bertatap, saling berpelukan dan berungkap mesra tidak pernah membuatku bosan. Dulu mungkin aku melihatnya dengan perasaan iri akan hal-hal yang tak pernah (belum) kumiliki itu. Namun sekarang, aku melihatnya dengan setiap ibrah dan pembelajaran yang kembali deras memasuki hati ini. mengagumkan bagaimana manusia bisa saling menguatkan, bertukar energi dan kasih sayang dengan kontak tubuh yang sederhana. Mereka memang makhluk lemah dan  penakut jika sendirian. namun bisa menjadi tiba-tiba kuat dan pemberani jika didampingi orang-orang yang mereka cintai. Aku terus saja berkeliling, seperti hantu, seperti menembus tembok dan tubuh-tubuh, seperti tak terlihat. Memotret berbagai senyum, berbagai teriakan histeris, berbagai haru dan tetesan air mata. Subahanakallah.yang menciptakan hubungan manusia begitu rumit nan indah.
       Iri? Sama sekali tidak. Khalayak mungkin sedang tersenyum pada mereka. Orang-Orang mungkin sedang bertepuk tangan pada mereka, pujian dan kebanggaan mungkin sedang mengalir pada mereka. namun aku sama sekali tak tertarik untuk menjadi seperti mereka. Aku menolak menjadi anak pendiam demi pujian dan nilai. Aku memilih bergabung dengan mereka yang krtitis walau dicap pemberontak. Mereka yang berwacana meski dibilang banyak bicara. Mereka yang berpolitik meskipun harus dicap licik. Mereka yang mengap-mengap mengawal perubahan meskipun selalu diolok-olok kurang kerjaan. Jikasanya  apa yang dikatakan Mahasiswa baik mengharuskan kita untuk jadi pasif, oportunis, minim tanggung jawab sosial alias apatis, netral tak punya sikap, serta selalu bertingkah cari selamat, maka aku memilih jadi Mahasiswa Nakal saja.
        Thus, para hero, apapun namanya, messiah, rasul, santo, emissari, ksatria dharma, memang tidak dibentuk oleh pujian dan tepuk tangan. Mereka datang mewujud harapan saat kekejian merajalela, nilai-nilai kering diinjak-injak. Mereka bersinar disaat gelap, krisis, dan kekeringan. Saat pertempuran mereda, orang-orang akan melupakan mereka. mereka akan kembali diselimuti kerahasiaan. Ditarik ke langit, dipeluk oleh yang kuasa. Kembali dicaci, dijauhi, dan tidak dimengerti. Seperti islam, yang kedatangannya terasa asing, dan akan kembali dalam keadaan asing pula.
       Ja’al islaamu ghariibun, wa saya’udzu ghariibun...

       Koleris, unggul di saat darurat... menghilang di saat-saat bahagia.       
   

0 komentar :

Posting Komentar