Hotel Utami
Sidoarjo, 14 Maret 2015
Koleris,
unggul di saat darurat.
Dengan kata lain, menghilang di
saat-saat bahagia.
Egois,
ideal, pemarah, kaku, dan otoriter. tidak perlu penelitian lebih lanjut untuk
mengatakan bahwa aku ini koleris murni. Dan mungkin satu-satunya diantara
sepuluh peserta Maestro Megatrend Momentum tahun lalu. Dan aku tak pernah malu
mengakuinya. Hero-hero INT memang harus egois. Egois karena mereka mampu
melihat jalan ketiga yang tak mungkin dapat dimengerti oleh orang biasa. lihat
bagaimana Sokrates dicap sesat, Einstein dan Darwin divonis gila, Gus Dur
dianggap sinting, dan Ki Baghawanta Bari yang dituduh mengada-ngada.
Mereka harus tetap egois dan memepertahankan apa yang mereka yakini. Dalam taraf tertentu mengabaikan nasehat-nasehat yang melemahkan. Bahkan jika harus berakhir meminum hemlock di depan sidang dewan kehormatan Athena. Mati memegang keyakinannya. Adalah tugas para ilmuwan untuk mendobrak batas-batas norma dan hukum. Agar kebuntuan bisa pecah, dan revolusi bisa melompat jauh ke depan.
Mereka harus tetap egois dan memepertahankan apa yang mereka yakini. Dalam taraf tertentu mengabaikan nasehat-nasehat yang melemahkan. Bahkan jika harus berakhir meminum hemlock di depan sidang dewan kehormatan Athena. Mati memegang keyakinannya. Adalah tugas para ilmuwan untuk mendobrak batas-batas norma dan hukum. Agar kebuntuan bisa pecah, dan revolusi bisa melompat jauh ke depan.
Yah,
Koleris selalu unggul di saat darurat, Bersinar di saat krisis, dan tegak disaat kekeringan. Dalam keadaan
makmur, mereka hilang. Tenggelam.
Aku
berdiri di kerumunan wajah-wajah yang bahagia. Pagi yang cerah saat seratus
sekian orang sarjana terbaik UIN Sunan Ampel Surabaya diwisuda. Mereka adalah
benih-benih terbaik kampus ini, terbaik—atau setidaknya begitulah penilaian
khalayak—karena mereka mampu menuntaskan studi lebih cepat. Membanggakan orang
tua dan Almamater tercinta. Dunia sedang tersenyum pada mereka. Hujan pujian
dan selamat, serta kuntum-kuntum bunga mewarnai hari itu. Hari dimana banyak
hajat menemui keterlaksanaannya, Banyak penantian bertemu penghujungnya, usaha
yang menemukan hasilnya, dan banyak hati menemui pelabuhannya.
Aku
berdiri sendirian. asing di tengah keramaian. Kadang sebuah pertanyaan
menggelitiki hati ini, sebenarnya untuk siapakah aku ke sini? Tak satupun orang
dekatku yang diwisuda hari ini. ah, bahkan aku pun tak pernah benar-benar punya
orang dekat. konyol, orang yang kuanggap paling dekat pun ada di dekat sini,
namun dia menyangkal keberadaanku dan berusaha menjauhiku. Sekedar mengucapkan
selamat pada icha mungkin, karena bagaimanapun kita dulu pernah sekelas, pernah
dekat, pernah begitu sering berpusing-pusing bersama mengerjakan tugas. Tidak
memberikan selamat pada hari pentingnya adalah sebuah kekurangajaran sosial.
Setiap orang ingin dikunjungi orang-orang penting dalam hari penting mereka.
Aku, setelah beberapa tahun berlalu bukanlah termasuk orang tersebut dalam
hidupnya. Sekedar selamat, jangan berlama-lama kalau tidak mau merusak suasana.
Ada disana mungkin teman-teman seideologi. Namun aku lebih sering nyempal dari
kelompok setahun terakhir. Teman-teman KKN mungkin, mungkin mereka yang paling
dekat saat ini. tapi tetap saja hati ini berbisk tiada henti;
You
don’t belong anywhere.
Tapi
masa bodohlah. Aku tetap saja berkeliling mengitari bangunan utama Hotel Utami
Juanda ini. melihat bagaimana manusia bertemu, bertatap, saling berpelukan dan
berungkap mesra tidak pernah membuatku bosan. Dulu mungkin aku melihatnya
dengan perasaan iri akan hal-hal yang tak pernah (belum) kumiliki itu. Namun
sekarang, aku melihatnya dengan setiap ibrah dan pembelajaran yang kembali
deras memasuki hati ini. mengagumkan bagaimana manusia bisa saling menguatkan,
bertukar energi dan kasih sayang dengan kontak tubuh yang sederhana. Mereka memang
makhluk lemah dan penakut jika
sendirian. namun bisa menjadi tiba-tiba kuat dan pemberani jika didampingi
orang-orang yang mereka cintai. Aku terus saja berkeliling, seperti hantu,
seperti menembus tembok dan tubuh-tubuh, seperti tak terlihat. Memotret
berbagai senyum, berbagai teriakan histeris, berbagai haru dan tetesan air
mata. Subahanakallah.yang menciptakan hubungan manusia begitu rumit nan
indah.
Iri?
Sama sekali tidak. Khalayak mungkin sedang tersenyum pada mereka. Orang-Orang
mungkin sedang bertepuk tangan pada mereka, pujian dan kebanggaan mungkin
sedang mengalir pada mereka. namun aku sama sekali tak tertarik untuk menjadi
seperti mereka. Aku menolak menjadi anak pendiam demi pujian dan nilai. Aku
memilih bergabung dengan mereka yang krtitis walau dicap pemberontak. Mereka
yang berwacana meski dibilang banyak bicara. Mereka yang berpolitik meskipun
harus dicap licik. Mereka yang mengap-mengap mengawal perubahan meskipun selalu
diolok-olok kurang kerjaan. Jikasanya
apa yang dikatakan Mahasiswa baik mengharuskan kita untuk jadi pasif,
oportunis, minim tanggung jawab sosial alias apatis, netral tak punya sikap,
serta selalu bertingkah cari selamat, maka aku memilih jadi Mahasiswa Nakal
saja.
Thus,
para hero, apapun namanya, messiah, rasul, santo, emissari, ksatria dharma,
memang tidak dibentuk oleh pujian dan tepuk tangan. Mereka datang mewujud
harapan saat kekejian merajalela, nilai-nilai kering diinjak-injak. Mereka
bersinar disaat gelap, krisis, dan kekeringan. Saat pertempuran mereda,
orang-orang akan melupakan mereka. mereka akan kembali diselimuti kerahasiaan.
Ditarik ke langit, dipeluk oleh yang kuasa. Kembali dicaci, dijauhi, dan tidak
dimengerti. Seperti islam, yang kedatangannya terasa asing, dan akan kembali
dalam keadaan asing pula.
Ja’al
islaamu ghariibun, wa saya’udzu ghariibun...
Koleris,
unggul di saat darurat... menghilang di saat-saat bahagia.
0 komentar :
Posting Komentar