Tretes, 27
September 2014
Dua
arus besar yang memompa darah di nadiku
Pohon
ini menua. Sama sepertiku. Tetap berakar kuat, berbatang tegap. Namun wajahnya
mulai menguning emas. Daun-daunnya layu bersiap jatuh. Ranting-rantingnya rapuh
bersiap patah. Namun, dari punggungnya yang mulai rebah ke tanah, ia dapat
menyaksikan rumpun-rumpun bunga merekah di bawah naungannya. Ranum bermekaran. Lihatlah,
dia tersenyum.
Siang
hari di bawah pohon memang tiada duanya. Aku ingat betul, sesejuk pesarean KH.
Zaini Mun’im yang selalu kukunjungi sehabis pulang sekolah dulu. Naungan yang
diberikannya serta beberapa milir angin yang tak henti mengitari. Mungkin benar
apa yang diceritakan dongeng-dongeng, itu adalah wisp. Spirit pemalu yang
tinggal disekitar pohon.
Pohon
selalu digambarkan sebagai simbol perlindungan. Kemurnian primitif. Entitas
yang mengayomi, keseimbangan, serta memberikan berkah hidup bagi sekitarnya.
Legenda mengatakan bahwa sebuah pohon besar yang melindungi bumi tertanam di
suatu tempat, Ygdrassil namanya. Disebut tree of world. Kalau suatu saat
pohon itu tumbang, atau ditumbangkan, maka keseimbangan akan musnah, dan kiamat
dipastikan akan terjadi.
Di yaumul mahsyar
kelak, matahari hanya sejengkal dari atas kepala. Milyaran manusia tenggelam
dalam keringatnya sendiri. Sebuah naungan disediakan Allah untuk tujuh macam
manusia, pemimpin yang adil, pemuda yang hatinya terikat ke masjid, pemuda yang
tumbuh dalam ketaatan beragama, dua orang yang saling mencintai; bersua karena
Allah, dan berpisah juga karena Allah. Kemudian orang yang bersedekah secara
sebunyi-sembunyi, hingga tangan kanannya tak tahu apa yang diberikan oleh
tangan kirinya. Juga seseorang yang menangis saat disebut nama Allah
didekatnya, serta seorang pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik
dan berada (dza jamalin wa nasabin), ia menolak dengan halus sambil
mengatakan “inni akhaafullah”.
Naungan
itu berbentuk seperti pohon. Yang dibawahnya hampir gelap. Diameter naungan itu
adalah 300 hari berkuda melewati bayangannya. Tujuh macam manusia yang
beruntung itu berada di bawahnya saat tak ada naungan lagi selain naungan
Allah. Sebuah pohon juga diceritakan tertanam di dekat ‘arsy. Berisi nama-nama,
serta tulisan akan takdir tiap nama tersebut. Ketika tiba saatnya sebuah nama dijemput menghadapa
tuhan, sebuah daun jatuh dari rantingnya.
Aku
serasa mirip dengannya. Masa-masaku sudah habis. Tak banyak waktu tersisa di
kotak kehidupanku yang satu ini. aku tidak berharap, namun asumsi terburuk
bahwa surabaya dan segala pernak-perniknya akan jadi tak lebih dari fragment
sejarah. Apa yang kulakukan selama 4 tahun kuliah agaknya belum cukup untuk
mebukakan jalan ke tempat-tempat baru, kotak-kotak baru. tapi aku cukup bahagia
melihat sejauh ini PMII-ku masih tegak. Masih terdengar sayup-sayup diatas sana
pekik salam pergerakan meski maknanya cenderung hampa. Masih ada tiga ratus
kader yang menopangnya. Konflik internal sudah mulai reda. Sumber daya kembali
dibangun. Ramalan akan hancurnya organisasi ideologi ini belum terbukti. Yah,
aku yakin palung inflasi sudah lewat. The worst is over. Dan keluarga
besar ini sedang dalam proses penyembuhannya.
Aku
melompat dari tempat dudukku, memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak.
Dan benar kata Ali Syari’ati. Jangan
sekedar jadi orang berilmu. Jadiah orang yang berideologi. Berani menentukan
sikap, ruang dan waktu tempat kita berpijak. Tidak melulu terombang-ambing
dalam proses pencarian skeptis. Bertahan dengan gambaran ideal akan sesuatu
hanya akan mebuat hati ini sakit dan terasing. Siapa yang tidak tahu kalau PMII
sedang kalut. Menderita dekadensi moral dan krisis identitas. Dicap sebagai
organisasi perusuh dan pengganggu. Tapi, kesetiaan tidak teruji pada pegangan
sesuatu yang mapan. Bukankah kita besar dan tumbuh kuat di bawah bayangan
benderanya?
Kader
PMII dari dahulu diperintah untuk menjadi sebuah pohon. Melindungi dan
melayani. Resko sebuah pohon adalah selalu ditiup angin. Namun itu lebih baik
daripada menjadi rumput. Kendati aman di bawah sini. Tapi terus-terusan diinjak
orang.
Saat
mencapai tanah yang cukup tinggi, aku mengedarkan pandangan pada pusat diklat
PWNU Pasuruan tempat MAPABA berlangsung di bawah sana. Melihat para kader degan
kesibukannya masng-masing. Yah, itulah kita, ada yang sibuk belajar. Ada yang
sibuk menjamin teman-temannya nyaman belajar, ada yang sibuk merumuskan apa
yang layak mereka pelajari, ada yang sibuk menjaga agar bahtera besar tempat
mereka belajar ini. selalu stabil. Saat ini tak ada metode ataupun cara, tidak
juga kepandaianku dan ijtihad kawan-kawan mampu mebawa perubahan signifikan
pada organisasi yang keropos di sana –sini. Kami hanya berharap pada keikhlasan
hati untuk melawan kepentingan-kepentingan perusak. Mengandalkan ijtihad dan
kerja keras untuk mengatasi derasnya arus perubahan. Do’a dan harapan pada
setiap proses pertumbuhan kader. Bergantung pada kesabaran untuk mengatasi
setiap amarah dan percikan konflik. Serta berusaha menghidupkan cinta dan
empati diantara kebencian-kebencian yang mungkin timbul.
Cintapun
harusnya memang begini. Mewujud dalam sebuah ideologi, menjelma menjadi kesetiaan hingga semua proses ini berakhir.
Kendatipun
semua usaha gagal pada akhirnya, tapi, apa ada cara hidup yang lebih baik dari ini?
This
is my way, a warriors way
0 komentar :
Posting Komentar