Rabu, 15 Oktober 2014

Cinta, dan Ideologi

Tretes, 27 September 2014
Dua arus besar yang memompa darah di nadiku

         Pohon ini menua. Sama sepertiku. Tetap berakar kuat, berbatang tegap. Namun wajahnya mulai menguning emas. Daun-daunnya layu bersiap jatuh. Ranting-rantingnya rapuh bersiap patah. Namun, dari punggungnya yang mulai rebah ke tanah, ia dapat menyaksikan rumpun-rumpun bunga merekah di bawah naungannya. Ranum bermekaran. Lihatlah, dia tersenyum.

          Siang hari di bawah pohon memang tiada duanya. Aku ingat betul, sesejuk pesarean KH. Zaini Mun’im yang selalu kukunjungi sehabis pulang sekolah dulu. Naungan yang diberikannya serta beberapa milir angin yang tak henti mengitari. Mungkin benar apa yang diceritakan dongeng-dongeng, itu adalah wisp. Spirit pemalu yang tinggal disekitar pohon.
      Pohon selalu digambarkan sebagai simbol perlindungan. Kemurnian primitif. Entitas yang mengayomi, keseimbangan, serta memberikan berkah hidup bagi sekitarnya. Legenda mengatakan bahwa sebuah pohon besar yang melindungi bumi tertanam di suatu tempat, Ygdrassil namanya. Disebut tree of world. Kalau suatu saat pohon itu tumbang, atau ditumbangkan, maka keseimbangan akan musnah, dan kiamat dipastikan akan terjadi. 
     Di yaumul mahsyar kelak, matahari hanya sejengkal dari atas kepala. Milyaran manusia tenggelam dalam keringatnya sendiri. Sebuah naungan disediakan Allah untuk tujuh macam manusia, pemimpin yang adil, pemuda yang hatinya terikat ke masjid, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beragama, dua orang yang saling mencintai; bersua karena Allah, dan berpisah juga karena Allah. Kemudian orang yang bersedekah secara sebunyi-sembunyi, hingga tangan kanannya tak tahu apa yang diberikan oleh tangan kirinya. Juga seseorang yang menangis saat disebut nama Allah didekatnya, serta seorang pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik dan berada (dza jamalin wa nasabin), ia menolak dengan halus sambil mengatakan “inni akhaafullah”.
     Naungan itu berbentuk seperti pohon. Yang dibawahnya hampir gelap. Diameter naungan itu adalah 300 hari berkuda melewati bayangannya. Tujuh macam manusia yang beruntung itu berada di bawahnya saat tak ada naungan lagi selain naungan Allah. Sebuah pohon juga diceritakan tertanam di dekat ‘arsy. Berisi nama-nama, serta tulisan akan takdir tiap nama tersebut. Ketika tiba  saatnya sebuah nama dijemput menghadapa tuhan, sebuah daun jatuh dari rantingnya.
     Aku serasa mirip dengannya. Masa-masaku sudah habis. Tak banyak waktu tersisa di kotak kehidupanku yang satu ini. aku tidak berharap, namun asumsi terburuk bahwa surabaya dan segala pernak-perniknya akan jadi tak lebih dari fragment sejarah. Apa yang kulakukan selama 4 tahun kuliah agaknya belum cukup untuk mebukakan jalan ke tempat-tempat baru, kotak-kotak baru. tapi aku cukup bahagia melihat sejauh ini PMII-ku masih tegak. Masih terdengar sayup-sayup diatas sana pekik salam pergerakan meski maknanya cenderung hampa. Masih ada tiga ratus kader yang menopangnya. Konflik internal sudah mulai reda. Sumber daya kembali dibangun. Ramalan akan hancurnya organisasi ideologi ini belum terbukti. Yah, aku yakin palung inflasi sudah lewat. The worst is over. Dan keluarga besar ini sedang dalam proses penyembuhannya.
         Aku melompat dari tempat dudukku, memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak.
Dan benar kata Ali Syari’ati. Jangan sekedar jadi orang berilmu. Jadiah orang yang berideologi. Berani menentukan sikap, ruang dan waktu tempat kita berpijak. Tidak melulu terombang-ambing dalam proses pencarian skeptis. Bertahan dengan gambaran ideal akan sesuatu hanya akan mebuat hati ini sakit dan terasing. Siapa yang tidak tahu kalau PMII sedang kalut. Menderita dekadensi moral dan krisis identitas. Dicap sebagai organisasi perusuh dan pengganggu. Tapi, kesetiaan tidak teruji pada pegangan sesuatu yang mapan. Bukankah kita besar dan tumbuh kuat di bawah bayangan benderanya?
      Kader PMII dari dahulu diperintah untuk menjadi sebuah pohon. Melindungi dan melayani. Resko sebuah pohon adalah selalu ditiup angin. Namun itu lebih baik daripada menjadi rumput. Kendati aman di bawah sini. Tapi terus-terusan diinjak orang. 
     Saat mencapai tanah yang cukup tinggi, aku mengedarkan pandangan pada pusat diklat PWNU Pasuruan tempat MAPABA berlangsung di bawah sana. Melihat para kader degan kesibukannya masng-masing. Yah, itulah kita, ada yang sibuk belajar. Ada yang sibuk menjamin teman-temannya nyaman belajar, ada yang sibuk merumuskan apa yang layak mereka pelajari, ada yang sibuk menjaga agar bahtera besar tempat mereka belajar ini. selalu stabil. Saat ini tak ada metode ataupun cara, tidak juga kepandaianku dan ijtihad kawan-kawan mampu mebawa perubahan signifikan pada organisasi yang keropos di sana –sini. Kami hanya berharap pada keikhlasan hati untuk melawan kepentingan-kepentingan perusak. Mengandalkan ijtihad dan kerja keras untuk mengatasi derasnya arus perubahan. Do’a dan harapan pada setiap proses pertumbuhan kader. Bergantung pada kesabaran untuk mengatasi setiap amarah dan percikan konflik. Serta berusaha menghidupkan cinta dan empati diantara kebencian-kebencian yang mungkin timbul.

     Cintapun harusnya memang begini. Mewujud dalam sebuah ideologi, menjelma menjadi kesetiaan       hingga semua proses ini berakhir.

      Kendatipun semua usaha gagal pada akhirnya, tapi, apa ada cara hidup yang lebih baik dari ini?

                This is my way, a warriors way

                  

0 komentar :

Posting Komentar