Selasa, 04 Desember 2012

Keseimbangan Hati Seorang Pemimpin


Tretes, 5 Oktober 2012
                Peserta MAPABA sudah berhasil kumasukkan ke kamar dan kusuruh tidur. Aku turun dari Aula, mengambil Jaket dan mengancingkannya rapat ke tubuh. Berusaha menangkis serangan dingin udara Puncak Prigen yang mulai turun. Paska rapat panitia OC yang dramatis berhiaskan tawa dan tangis barusan, Aku penasaran apa saja yang dilakukan teman-temanku. Terutama pasangan pak ketua dan bu ketua yang jadi pemeran utamanya. Kuambil posisi agak jauh di seberang jalan depan villa. Ditemani segelas kopi untuk sekedar pengusir kantuk. Tanahnya tinggi, jadi aku leluasa memperhatikan dua insan yang saling berpelukan. Erat dan mesra.

                Itukah cinta?                      Slurrrp…
                Baiklah, apapun namanya kawan, aku ingin berterima kasih padanya. Pada rasa yang sama sekali tak kukenal itu. Pada rasa yang merekatkan mereka berdua. Mungkin saat tuhan memutuskan untuk mempersatukan mereka dalam relasi spesial, saat itu jugalah pertolongan datang padaku. Bagaimanapun juga, Moment ini adalah saat-saat teman-temanku merasa saling memiliki satu sama lain. Hal yang sangat kuimpikan sejak dulu. Karena bersatunya mereka. Adalah salah satu bukti keberhasilanku sebagai ketua angkatan. Dan moment ini terjadi berkat mereka.
                Slurrrp..
                Dulu, aku menganggap nasehat Cak Iyan bahwa punya pacar adalah syarat sukses belajar itu konyol. Tak perlu dipikirkan. Apalagi dikerjakan. Bangaimana tidak, orang mau fokus belajar kok disuruh cari pacar?,  tentu akan sangat mengganggu konsentrasi. Belum lagi masalah norma dan semua krotok  paek antara cowok dan cewek. Apalagi orang yang dinaungi kultur berpikir kaku dan idealisme buta macam aku. Mana ada mufradat  cinta, sayang, kangen, wa alihi wasohbihi itu terlintas di kepalaku. Pikirku, selalu memelihara Idealisme, semangat, dan determinasi diri adalah kunci dalam mempertahankan keistiqomahan. Apalagi posisiku sebagai pemimpin yang senantiasa harus memikirkan nasib rakyatnya. Mana boleh sedikitpun memikirkan perasaan diri sendiri?
                Nah, kini aku baru sadar kalau aku salah.
                Sebagai seorang pemimpin, Aku tak punya penyeimbang.
                Slurrp...
Sepanjang sejarah, setiap pemimpin besar di dunia, memiliki seorang perempuan di belakangnya. Yang berperan sebagai penyeimbang. Tidak Cuma itu, seorang wanita bahkan merupakan simbol Agung bagi kepemimpinan seorang laki-l`ki. Dalam tradisi penaklukan bangsa mongol, sang raja akan menikahi putri pemimpin daerah yang ditaklukkan. Sebagai simbol keterikatan permanen. Hanya dengan memiliki seorang wanita yang terhitung sebagai prima nocta suatu wilayah, berarti memiliki seluruh wilayah tersebut.
Tidak heran mengapa Raja Inggris Henry V sampai melakukan berbagai cara untuk mempertahankan Lady Anne Boelyn agar tetap menjadi permaisurinya. Sayyidina Ali hanya cukup memandang wajah Sayyidatina Fatimah untuk menghilangkan seluruh penat lelahnya. Franklin Delano Roosevelt mungkin tidak akan mampu membawa Amerika serikat keluar dari masa “Depresi Hebat”  tanpa didampingi Eleanor Roosevelt. Atau Damar Wulan yang punya Sri ratu Kencanawungu disampingnya.
Tentu saja, kisah terbaik tetap datang dari pemimpin terhebat sepanjang sejarah, Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah sosok pemersatu umat manusia lintas dunia dan lintas zaman yang begitu inspiratif. Sampai saat ini, tinta sejarah belum selesai menggambarkan keagungan dan kemuliaannya. Tapi, dibalik sosok agung itu. berdiri seorang Khadijah binti Khuwailid. Sosok yang begitu penting bagi Rasulullah. Tempat dia kembali, bersandar dari sejuta problematika umat. Bagi beliau, Khadijah lebih dari sekedar seorang istri yang sholihah, tapi juga penguat hatinya saat cobaan demi cobaan menghantamnya. Wajar, jika saat kematian Khadijah, Rasulullah terguncang. Sejarah Islam mengenangnya  khusus dalam sebutan Tahun Kesedihan (‘Amul Hazni)
                Hal yang sama juga terjadi pada pertempuran kuno Thermopylae 16 abad yang lalu. Saat itu, Leonidas, sang raja kaum Sparta yang terkenal paling pemberani itu, menggumamkan My Love, My Wife, My Queen, sesaat sebelum ratusan anak panah pasukan persia menghujani tubuhnya. Aku mengerti mengapa dia memilih ketiga kata itu when he was Making His Last Stand. Ia merasakan kegentaran hebat di saat-saat terakhir. Bukan karena maut yang siap melahapnya, bukan karena nasib sparta yang terancam jadi budak persia, tapi karena dia khawatir tidak akan melihat sang istri lagi, menyaksikan senyumnya. Atau merasakan gengaman erat tangannya. Ia berharap sang istri hadir di tempat itu, saat itu, untuk kembali menguatkan hatinya seperti saat-saat sebelumnya.
                Ah, aku kebanyakan nonton film,
                Slurrrrp...
                Sebagai seorang pemimpin, aku tak punya penyeimbang.
                Jadi, wajar saja jika aku selalu bertindak ngawur. Suka misuh, suka mengumbar emosi di depan umum, suka cemberut gak jelas, suka cuek kalau disapa dan kelakuan tak pantas lainnya. Kini, baru aku sadar kawan, aku butuh penyeimbang. Sama seperti Rio dan Ayu yang bekerja layaknya angin dan hujan, ritmis dan kompak. Saling bahu membahu. Mereka memimpin dengan inspirasi, tidak sepertiku yang memimpin dengan Emosi.
                Slurrp.. glek :   glek     Ahh..
&nbrp;               Jadi, pertanyaannya adalah, jika Rasulullah punya Khadijah, Ali Punya fatimah, King Henry V punya Lady Anne, Frank Roosevelt punya Eleanor, Damar wulan punya Kencana Wungu, pak yon punya mb Umi,  Cak Lukman Punya Anisa, sinom punya ifa, Sony punya nia, fahri punya hesti, Ayu punya Rio..
Lalu, aku punya siapa?
                Kutengadahkan wajah ke langit, melayangkan pikiran jauh ke surabaya sana. Membayangkan dia suatu saat jadi penyeimbangku. Jadi simbol kepemimpinanku.
                Ha ha ha ha aha...
                Impian Konyol,,
Aku memutuskan naik mengikuti jalan di depan villa, ke area hutan yang gelap pekat di depan. Sambil tak henti menertawakan diri sendiri.
Fiq, fiq... Mati saja sambil berkhayal sana!

I stand Alone,
I’m on my own...
My Hands will bleed,
I’m Holding on,
Till war is gone...
What’s left to me?

0 komentar :

Posting Komentar