Senin, 09 Juli 2012

Puncak Kegelisahan

Waru Boulevard, Sidorajo, couple weeks earlier…
Pandanganku kabur melihat jalanan yang berlari di luar jendela. Tekanan darah sudah terlalu lemah untuk sampai ke saraf mata. Aku bahkan nyaris tak bisa mempertahankan tegak leherku. Horizon langit berlatar tol juanda bergoyang seperti kapal karam. Meskipun setengah tak sadar, aku masih bisa melihat dalam remang, sang surya terbit untukku…

            Kami berenam, duduk berhadapan, tertunduk layu, Laksana Prajurit yang diangkut dalam Humvee (maksudnya len kuning), kembali dari malam yang panjang. Berperang dengan malas, berperang dengan ngantuk, berperang dengan kebodohan, berperang dengan ketidakistiqomahan, merobek-robek ego, dan mencabik kesombongan diri. hari itu arah kami sudah ditnjukkan. Oleh sang guru. Kami memang lega pencarian arah telah berakhir, tapi di depan, Peperangan besar sedang menanti. Allah…
    &nbrp;       Setahun sudah aku di perguruan ini, aku berangkat dengan duaratus lima belas orang, kini hanya tersisa lima orang. Aku telah menyaksikan mereka bertumbangan satu persatu. Dilibas kejamnya seleksi alam. Mereka pergi dengan hati tercabik. Tak semua ternyata bertahan dalam naungan aktivitas belajar. Tak semua tahan dalam perjalanan mencari ilmu. Tak semuanya mencintai ilmu, termasuk yang paling kusesali, gugurnya dua orang saudariku. Huf.. padahal aku memimpikan mereka jadi sahabat seperjuanganku, bukan hanya teman sekelas.
            Tapi, sesal kini tak ada arti. Inilah kami, enam orang prajurit terkuat. Siap mengorbankan segalanya untuk belajar.. waktu, tenaga, pikiran, badan, harta. Termasuk mungkin, hak mereka untuk mencintai dan dicintai.
            Tugas kami makin berat, menerbitkan surat kabar 8 halaman setiap minggu, membaca buku beberapa jam dalam sehari, menulis, kajian, memastikan tugas-tugas kuliah terlaksana dengan baik. Berusaha mengikuti kuliah tepat waktu, mengorganisasikan kawan-kawan yang mulai kocar-kacir. Serta tabah atas kecaman birokrat kampus pada kami.
            Tapi, kami bahagia, bisa menemukan ritme dan eksistensi belajar yang tidak semua orang punya. Kami tanamkan kuat-kuat pesan sang guru di hati kami. Belajar Filsafat, teori sosial, logika saitifik, jurnalisme, komunikasi dan lainnya adalah perkara gampang. Belajar menjadi seorang manusia yang benar-benar manusia, yang memanusiakan manusia, itulah yang sulit. Karena orang hebat bukanlah yang pintar segalanya. Bukan yang kaya, bukan yang tinggi jabatannya, bukan yang bagus rupa dan dilsilahnya. Tapi orang hebat, ialah manusia yang mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan benar.

            Baiklah guru, kami akan mencoba menjadi seperti itu.

Len merapat ke halte, kami turun. Mata yang tak sempat terlelap sedetikpun ini harus sudah memasuki bangku kuliah beberapa menit lagi. Lagipula, ini hari selasa, ada jadwal ngajari Iis, semoga dia cukup serius belajar, jadi aku tidak menyesal mengorbankan hak badanku.
Kami tak punya optimisme, semangat kami sudah habis tak tersisa, impian sudah lama dilupakan, Harapan sudah terbang entah kemana. Kami cuma punya kesetiaan. Dari sudut logika manapun, dengan kekuatan kami sekarang, Tugas ini tak mampu kami lakukan. Tapi, kami tak mau jadi makhluk tak bertuhan, segalanya mungkin, dengan pertolongan-Nya.   

Aku, dan enam sahabatku, kami akan terus bergandengan tangan, menerobos malam…

            Like Soldiers, March On!
            If we can make it trough the night we’ll see the sun…
            March on…
            March on…

0 komentar :

Posting Komentar