Kamis, 02 Februari 2012

Warriors Way


Selasa, 24 Januari 2012

Centuries passed, and Still the same…
War in our Blood, Something never changes…
               
                Pernyataan senada dilontarkan 1400 tahun lalu oleh seorang komandan perang, saat pasukannya berhasil memenangkan perang ‘Gila’ yang jika dilihat dari sudut logika manapun, tak mampu mereka menangkan. “Raja’na min jihatil ashgar, ila jihatil akbar” katanya dengan tegas. Membuat sebagian besar orang di dekatnya melongo. Itu pernyataan bodoh jika saja tidak diucapkan oleh utusan terakhir tuhan bagi manusia.
                Dikemudian hari, aku sangat memahami perkataan sang komandan, bahwa dalam tubuh kita yang nampaknya tenang itu, tengah berkecamuk perang dahsyat antara tiga kekuatan besar yang berebut kontrol akan satu jasad. Tiap detik,  Tanpa istirahat, tanpa jeda, tanpa hasil akhir, kecuali sang jasad sudah kering dimakan abu. Tiga kekuatan itu, setan, malaikat, dan kita sendiri sebagai kekuatan ketiga. Bergantian menguasai wilayah tubuh. Menumbangkan kekuatan lain yang lalai menjaganya.
                Mungkin juga karena itu,  sejak kecil aku menyukai kisah-kisah peperangan, serta mengagumi para komandan  perang yang melegenda dalam sejarah dengan kemenangan-kemenangan yang dicapainya. Kemenangan hakiki disini, bagi seorang Ksatria, adalah apa yang disebut “Live in Glory, or Die in Honour”. Dalam bahasa kita disebut “Isy karimun, aw Mut Syahidun.”
                Meskipun bukan ahli sejarah, aku berani mengambil kesimpulan, bahwa mereka, para komandan legendaris itu, sukses meraih kemenangan, setelah mereka terlebih dahulu memenangkan pergulatan dalam diri mereka.
                Richard de Plantagenet, yang menamakan dirinya si hati singa, sadar bahwa perang salib ketiga yang dicetuskannya bukan semata-mata didasari perintah tuhan untuk menyelamatkan tempat lahirnya sang kristus. Tapi lebih karena Ambisi menjadi suksesor tahta ayahnya di kerajaan inggris. Narpati Basukarno, atau Laksamana Karna, maju ke tengah medan Bharatayudha sebagai pemimpin kurawa. Karena dia sadar, kewajibannya membela Negara lebih besar daripada kewajiban membela kebenaran yang diyakininya.
                Tuqluq Timur Khan, menghentikan impiannya mempersatukan kembali imperium mongol ciptaan leluhurnya, Genghiz Khan. Karena dia sadar, keraguan dalam dirinya, serta keretakan dalam keluarganya akan mengakibatkan lemahnya semangat juang prajurit kerajaan. Mehmed el Fatih,untuk pertama kalinya  Menjebol benteng tebal Konstantinopel yang telah berdiri ratusan tahun setelah Memenangkan keraguan hebat dalam hatinya akan kekuatan prajurit turki Utsmani. 
Dan yang terakhir, Panglima perang favoritku, Sultan Salahuddin Al-Ayyubi. Atau saladin. Pemimpin bangsa Saracens ini diserang kegalauan hebat sesaat sebelum bentrok dengan tentara salib di padang jaffa. Beliau ragu akan apa yang dibelanya. Ragu akan porsi hak kaum muslimin akan kota Kuno Yerussalem. Apakah dirinya benar-benar pelindung bagi kota itu? Ataukah sama saja seperti bangsa-bangsa terdahulu yang mendiaminya. Merampok. Dan menjarahnya. Lama setelah bersujud di bawah kubah Sakhrah (Dome of The Rock), beliau mengambil keputusan untuk tidak berlindung di balik tembok kota itu. Keputusan yang kuyakin tidak akan diambil oleh panglima lainnya. Rahimahullahu ‘anhu.  
                Yah, setiap kita adalah pejuang. Hanya saja, ada yang sadar dan tidak mau dikontrol oleh Nafsu yang mendiami tubuh, lalu melawan sekuat tenaga. Ada yang justru dengan rela hati menjadi budaknya. 
Menuruti kesenangan demi kesenangan yang dituntut oleh nafsu. Mereka itu, seperti mayat hidup. sudah mati bahkan sebelum mati.
                 Sungguh, Sahabat, andaikan kau tahu betapa beratnya melawan diri sendiri. Musuh yang kita hadapi tak terlihat sama sekali. Dan setiap serangan yang kita lakukan, rasa sakitnya akan berbalik menghantam diri sendiri. Karena yang kita serang adalah diri sendiri pula. Mereka tak bisa mati, tak bisa musnah. Tak bisa kalah. Kita hanya diperintah untuk melawan. Melawan. Dan melawan.
                Dan Aku, telah bersumpah atas nama Dzat yang jiwaku berada di gengamanNya. Tak akan membiarkan mereka menguasai diriku. Sesakit apapun rasanya. Jauh-jauh hari sudah kuumumkan perang pada musuh abadi manusia. Setan.  Walaupun aku samasekali tidak membencinya. Kenapa kuceritakan ini padamu?. Karena beberapa hari yang lalu. Mereka berhasil menguasai hatiku.
                Baik, begini cerintanya…

2 komentar :

  1. pak,,
    gmana caranya biar postingan blog saya ada gambarnya seprti milik anda?
    saya buru ajer pak..!!
    hehehe

    BalasHapus