Selasa, 07 Februari 2012

Still Another Wanderer

Rabu, 25 Januari 2012
                Judul diatas diambil dari musik orkestra gubahan Timothy Pinkham. Nadanya enak. Merdu mendayu, setiap loncatan nadanya seperti menghibur diri ini. Memang kupersiapkan untuk moment seperti ini. Selalu kudengarkan di bis saat perjalanan pulang. Sesaat sebelum masuk perbatasan Situbondo-Bondowoso.
                Dari jauh, mereka sudah tampak. Hijau, Tegak, Membisu, garang, magis, misterius dan diselimuti kabut.
Mereka adalah tembok abadi yang ditugaskan sang bumi untuk menjaga kotaku. Benteng alami yang berbaris sepanjang puluhan kilometer. Dijaga oleh barisan tentara yang tak pernah tidur, tak pernah beranjak satu sentipun dari tempatnya berdiri. Tatapan imtimidatif mereka seolah mengingatkanku dan seluruh penumpang bahwa kita hanya manusia kecil dan lemah yang bisa mereka remukkan dengan mudah.
                Mereka bukan satu-satunya alasan aku sangat mencintai kota ini (sementara ini aku baru bisa mencintai benda-benda saja, belum berani mencintai manusia). Airnya yang sejuk. Kabut pagi yang membelai kulit. Dan Lukisan mendung dilangit. Semua itu selalu membuatku rindu untuk pulang. Investor, Pemilik modal, Pengelola pariwisata, Pebisnis Properti, mungkin akan menggeleng saat ditawari menanamkan bisnisnya di kota ini. Yap, kotaku memang tak semaju yang lain. Tapi benar, aku mencintainya apa adanya.
                Kurapatkan kancing jaket dan kugeser tempat duduk lebih ke jendela saat bis mulai merangkak naik. Jalanan di atas bahu tentara-tentara ini dinamakan arak-arak. Karena setiap kendaraan yang melintas harus menurunkan kecepatan hingga 20 Km/jam serta menggunakan gigi satu. Harus berjalan perlahan serta beriringan, tidak boleh saling mendahului. Jalannya berkelok-kelok, dengan jurang disatu sisi, dan tebing curam disisi lain. Sedikit saja pak supir melenceng dari jalur, kita semua tamat.
Itu kata orang, menurutku, dinamakan  demikian karena barisan pohon yang memanjang  seperti arak- arakan serdadu. Memasuki perbatasan ini, aku merasa seperti berjalan diatas tembok agung kota Minas Tirith, kota para raja. Aku tersenyum pada mereka. Dan mereka pun membalas dengan lambaian, tetap sama seperti dulu.
Welcomeback, Warrior…
Welcomeback…
                Aku memejamkan mata, memutar kembali ingatan 7 tahun lalu, saat pertama kalinya aku memulai perjalanan menuntut ilmu. Kau tau rasanya sahabat? Sesuatu di dada seperti dicabik keluar secara perlahan-lahan. Perih. Dibelakang sana adalah rumah tempat aku dibesarkan. Dinaungi oleh energi kasih sayang dan kehangatan yang tak terhingga. Tempat semua keceriaan dan tawa orang orang yang kucintai. Dan di kota belakang sana pertama kalinya aku mengenalnya. Seseorang yang amat ingin kumiliki… semua harus ditinggalkan.
                Aku adalah anak laki-laki, dan salah satu derita terberat anak laki-laki adalah tak boleh menangis. Seluruh rasa sakit terpaksa diampat dalam bungkam. Tak tersalurkan. Hanya bisa melayangkan tatapan kosong keluar jendela. Dan, saat itulah aku mengenal mereka. Pohon-pohon itu, aku berbicara dengan salah satu diantara mereka. Dia tidak menyebutkan namanya. Jadi aku memberinya nama yang mirip dengan nama-nama bangsa Wose kuno dalam dongeng, Elimarandul Rithrandil, hmm.. cukup bagus.
               
EL-Randril           : kami diberitahu malaikat seseorang akan pergi menuntut ilmu siang ini.
  Siapa namamu, nak?
Aku                        : Taufiq,
El- Randril           : Kuberi Nasihat, mau?
  Aku mengangguk
El-Randril            : bersyukurlah kau, punya mata dan kaki untuk menjelajah dunia. Memetik pelajaran
hidup pada negeri-negeri nun jauh di depan. Lalu Meraih kebijaksanaan. Tidak seperti kami yang terpaku di atas tanah. Hanya bisa menyaksikan dunia kalian di ketinggian. Selama hidupku, aku sudah banyak melihat para pengembara memulai perjalanannya, sepertimu. Mereka selalu pulang dengan banyak cerita.
Air, akan menggenang dan menjadi busuk jika tetap pada tempatnya.
Anak Panah, tidak pernah berguna jika tidak lepas dari busurnya.
Singa, akan mati jika ia tetap berada di sarangnya.
Begitupun dirimu…
                Tentu Saja aku selalu merasa tersanjung saat mereka berbaris menyambutku. Aku mencintai mereka. Yang paham akan beratnya mengemban sebuah tugas suci. Tugasku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan tugas mereka menjaga keseimbangan. Tanpa mereka, gunung ini hanyalah sebuah benteng rapuh. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, kali ini mereka menyambutku.
El-Randril            : Apa kabarmu, pejuang? Cerita apa yang kau bawa?
Aku                        : sebuah peperangan besar, tapi bukan yang terbesar. Baru saja kumenangkan
El-Randril            : Baiklah, ceritakan
Aku                        : Begini, beberapa hari lalu….   

2 komentar :