Senin, 20 April 2015

Utsusemi (Man of The World) 2

Surabaya, 1 April 2015
              
Akhirnya bumi Batavia terhampar jua dibawah telapak kakiku. Tanjung Priok ada di belakang sana. Kapal yang membawaku juga. Selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal duri dan kepedihan, selamat tinggal Annelies, selamat tinggal masa muda yang gilang-gemilang. aku sekarang adalah seorang manusia merdeka. Manusia modern yang siap menyongsong dunia dan membebaskan bangsanya. Karena nyatanya aku adalah anak semua bangsa.

***
       Perpustakaan selalu menjadi obat kesepian yang ampuh. Yah, setidaknya cukup ampuh untuk saat-saat ini. seharian tadi pikiranku buntu tak karuan. Mau mengerjakan proposal skripsi yang sejatinya cuma butuh mengganti bab saja susahnya setengah mampus. Bawaannya selalu ingin keluar kamar kos. Ditengah kejenuhan akan dinamika kampus yang super-stagnan ini aku rindu pada tetralogi pulau buru. Rindu untuk bercengkrama kembali dengan lautan kata-kata Pram sambil mengawinkan alis. Mungkin sedikit suntikan sastra bisa sedikit mencairkan komposisi wacana yang mengeras di otak ini. walau bagaimanapun, karya-karya pram samasekali bukan bacaan ringan.
    Kau tahu, aku sedikit mirip dengan dia. Raden Mas Minke, tokoh imajiner dalam tetralogi buru. Setidaknya sedikit mirip dengan suasana hatinya saat mendarat di tanjung priok. Tak ada sanak keluarga. Tak ada penjemput. Jangan mengeluh! Mengeluh hanyalah bagi para pengecut. Jangan berharap akan datangnya bantuan. Karena sesungguhnya menerima bantuan dari orang lain adalah merendahkan harga dir kita padanya. Kita tak butuh penjemput. Kita tak butuh pertolongan.
        Dengan suasana hati yang benar-benar merdeka, katanya. Merdeka karena ia telah memutuskan untuk membuang sama sekali masa lalu yang pahit di belakangnya. Ia memutuskan untuk membuang dirinya dalam keterasingan dan kesendirian. Semuanya tanpa sisa. Semuanya kecuali lukisan seorang gadis diatas kanvas beledu dibungkus kain blacu bersandar di samping kopernya. Lukisan yang ia beri nama “Bunga Penutup Abad.”
       Ia lamunkan berbagai hal dalam trem yang membawanya melalui rawa-rawa Ancol. Ia lamunkan tentang bagaimana kereta mistis yang ditarik oleh tenaga listrik benar-benar tercipta, ia lamunkan bagaimana rawa-rawa ini menjadi kuburan bagi enam ratus serdadu kompeni dan delapan puluh ribu kaum pribumi. Ia lamunkan bagaimana zaman baru bernama modernitas yang dijiwai oleh era industrialisasi ala eropa kini mulai merasuki langit hindia, ia lamunkan hal-hal besar tatkala memandangi jalanan betawi yang bersih dan tertata rapi, tidak lagi tentang dirinya, tidak lagi tentang kegalauan-kegalauan naif tentang dirinya sebagaimana saat ia masih menaiki bendi di jalanan surabaya. Ia lamunkan bagaimana pemerintah kolonial belanda, Jean Pieterzen Coen, dan serikat dagang VOC-nya mampu membangun Batavia tidak hanya sebagai pusat perdagangan, namun juga benteng operasi strategis menjelang perang asia pasifik. Benteng yang cukup kuat untuk membuat enam ratus serdadu bertahan di dalam kota dikepung dua ratus ribu bala tentara sultan ageng tirtayasa dari mataram.
      Aku jadi bertanya-tanya apakah memang semua orang-orang besar di dunia lahir dari ritme kehidupan yang sama? Kesepian, kehilangan, dicampakkan, dibuang, diasingkan?  kisah Minke dan Juffrouw Annelies Herman Mellema  dalam seri pertama novelnya, Bumi Manusia adalah satu diantara kisah-kisah yang paling mampu meremas hatiku. Lepas dari benarkah kisah itu pernah terjadi atau hanya fiksi.
     Aku tidak pernah suka membaca kisah cinta. lihat bagaimana kisah-kisah cinta mewarnai zaman kita, Romeo-Juliet, Scarlett Letter, Les Miserable, Yusuf-Zulaikha, Qais-layla, cinta bagi mereka tumbuh bagai bunga yang merekah mewarnai hati. namun akhirnya layu membawa sang pecinta berakhir pada maut sambil mengutuki  dunia yang ditinggalkannya. Bumi Manusia adalah gambaran dimana sang pecinta memilih untuk hidup. sambil menelan dalam-dalam pil pahit kehilangan yang terpaksa dideritanya. Sang pecinta memilih tegak menghadapi hidup. ikhlas membawa perih dan luka demi membesarkan jiwanya. Mereka berhasil, berhasil menaklukkan keegoisan dan keinginan akan kepemilikan. Serta hasrat tergelap yang menyertai cinta itu sendiri.
      Mungkin itu memang sudah seharusnya. Mungkin itulah harga-harga yang mesti dibayar untuk melahirkan seorang manusia besar.  Mungkin sudah rencana tuhan, untuk melahirkan seorang Raden Mas Minke, seorang pemuda pribumi yang brilian, penulis hebat, inisiator gerakan-gerakan organisasi kepemudaan, serta jembatan bagi bangsa Hindia untuk meninggalkan cangkang feodal menuju pelukan modernitas, Annelies yang cantik, enerjik, dan cerdas harus dihadirkan dalam hidupnya. Sebagai bentuk cinta yang membungakan sudut-sudut hatinya. Membawanya dalam lautan madu keindahan. Untuk kemudian dicabut secara paksa dari hidupnya. Secara cepat dan kejam, cukup kejam untuk meninggalkan bekas luka yang akan terus dibawa mati.
     Mungkin dengan itulah ia mengenal bagaimana wajah sebenarnya dari Kolonialisme, wajah sebenarnya dari dominasi dan hegemoni kekuasaan. Mengenal bagaimana Bangsanya menderita dalam kelaparan, dalam kebodohan, dalam tiga abad cengkraman dibawah kuku bangsa lain. Dengan itu dia mengenal dunianya, Pergerakannya, Revolusinya, sejauh yang pikirannya dapat menjangkau. Mengenal arus-arus perlawanan, dan spirit-spirit kemerdekaan para papa-tertindas.
    Dia agak mirip denganku. Membayangkan bagaimana dia melamun di dalam trem mungkin sama denganku yang melamun berjam-jam di bis. Mungkin awalnya kegalauan-kegalauan kami hanya menyangkut cinta, rindu, perempuan, dan hal-hal picisan yang lain. Namun seiring waktu, pemikiran-pemikiran besar mulai menyerbu masuk melalui perenungan-perenungan panjang yang melelahkan.

      Aku punya Hipotesis dalam hati. bahwa cinta ternyata dapat melahirkan ide-ide besar serupa kebebasan (Freedom), Kemerdekaan (Independence), Perlawanan (Resistance), dan kesetiaan (Allegiance).  Masa mudaku hampir berakhir, begitupun kisah-kisah cinta selama periode 4 tahun kuliah ini memudar hingga sulit diingat. Mereka-Dia-Semua yang cantik bersenyum menawan itu mulai perlahan meninggalkan lamunanku. Digantikan ide-ide besar, tentang hal-hal besar pula. Setelah ini aku jadi apa, aku sama sekali tidak tahu.

                Mungkin memang benar, cinta itu melahirkan orang-orang besar.           
                Entah.


1 komentar :