Surabaya, 1 April 2015
***
Perpustakaan selalu menjadi obat kesepian yang ampuh.
Yah, setidaknya cukup ampuh untuk saat-saat ini. seharian tadi pikiranku buntu
tak karuan. Mau mengerjakan proposal skripsi yang sejatinya cuma butuh
mengganti bab saja susahnya setengah mampus. Bawaannya selalu ingin keluar
kamar kos. Ditengah kejenuhan akan dinamika kampus yang super-stagnan ini aku rindu
pada tetralogi pulau buru. Rindu untuk bercengkrama kembali dengan lautan
kata-kata Pram sambil mengawinkan alis. Mungkin sedikit suntikan sastra bisa
sedikit mencairkan komposisi wacana yang mengeras di otak ini. walau
bagaimanapun, karya-karya pram samasekali bukan bacaan ringan.
Kau tahu, aku sedikit mirip dengan dia. Raden Mas
Minke, tokoh imajiner dalam tetralogi buru. Setidaknya sedikit mirip dengan
suasana hatinya saat mendarat di tanjung priok. Tak ada sanak keluarga. Tak ada
penjemput. Jangan mengeluh! Mengeluh hanyalah bagi para pengecut. Jangan
berharap akan datangnya bantuan. Karena sesungguhnya menerima bantuan dari
orang lain adalah merendahkan harga dir kita padanya. Kita tak butuh penjemput.
Kita tak butuh pertolongan.
Dengan suasana hati yang benar-benar merdeka,
katanya. Merdeka karena ia telah memutuskan untuk membuang sama sekali masa
lalu yang pahit di belakangnya. Ia memutuskan untuk membuang dirinya dalam
keterasingan dan kesendirian. Semuanya tanpa sisa. Semuanya kecuali lukisan seorang
gadis diatas kanvas beledu dibungkus kain blacu bersandar di samping kopernya.
Lukisan yang ia beri nama “Bunga Penutup Abad.”
Ia
lamunkan berbagai hal dalam trem yang membawanya melalui rawa-rawa Ancol. Ia
lamunkan tentang bagaimana kereta mistis yang ditarik oleh tenaga listrik
benar-benar tercipta, ia lamunkan bagaimana rawa-rawa ini menjadi kuburan bagi
enam ratus serdadu kompeni dan delapan puluh ribu kaum pribumi. Ia lamunkan
bagaimana zaman baru bernama modernitas yang dijiwai oleh era industrialisasi
ala eropa kini mulai merasuki langit hindia, ia lamunkan hal-hal besar tatkala
memandangi jalanan betawi yang bersih dan tertata rapi, tidak lagi tentang
dirinya, tidak lagi tentang kegalauan-kegalauan naif tentang dirinya
sebagaimana saat ia masih menaiki bendi di jalanan surabaya. Ia lamunkan
bagaimana pemerintah kolonial belanda, Jean Pieterzen Coen, dan serikat dagang
VOC-nya mampu membangun Batavia tidak hanya sebagai pusat perdagangan, namun
juga benteng operasi strategis menjelang perang asia pasifik. Benteng yang
cukup kuat untuk membuat enam ratus serdadu bertahan di dalam kota dikepung dua
ratus ribu bala tentara sultan ageng tirtayasa dari mataram.
Aku jadi bertanya-tanya apakah memang semua
orang-orang besar di dunia lahir dari ritme kehidupan yang sama? Kesepian,
kehilangan, dicampakkan, dibuang, diasingkan?
kisah Minke dan Juffrouw Annelies Herman Mellema dalam seri pertama novelnya, Bumi Manusia
adalah satu diantara kisah-kisah yang paling mampu meremas hatiku. Lepas dari
benarkah kisah itu pernah terjadi atau hanya fiksi.
Aku tidak
pernah suka membaca kisah cinta. lihat bagaimana kisah-kisah cinta mewarnai
zaman kita, Romeo-Juliet, Scarlett Letter, Les Miserable, Yusuf-Zulaikha,
Qais-layla, cinta bagi mereka tumbuh bagai bunga yang merekah mewarnai hati.
namun akhirnya layu membawa sang pecinta berakhir pada maut sambil
mengutuki dunia yang ditinggalkannya.
Bumi Manusia adalah gambaran dimana sang pecinta memilih untuk hidup. sambil
menelan dalam-dalam pil pahit kehilangan yang terpaksa dideritanya. Sang
pecinta memilih tegak menghadapi hidup. ikhlas membawa perih dan luka demi
membesarkan jiwanya. Mereka berhasil, berhasil menaklukkan keegoisan dan
keinginan akan kepemilikan. Serta hasrat tergelap yang menyertai cinta itu sendiri.
Mungkin itu memang sudah seharusnya. Mungkin itulah
harga-harga yang mesti dibayar untuk melahirkan seorang manusia besar. Mungkin sudah rencana tuhan, untuk melahirkan
seorang Raden Mas Minke, seorang pemuda pribumi yang brilian, penulis hebat,
inisiator gerakan-gerakan organisasi kepemudaan, serta jembatan bagi bangsa
Hindia untuk meninggalkan cangkang feodal menuju pelukan modernitas, Annelies
yang cantik, enerjik, dan cerdas harus dihadirkan dalam hidupnya. Sebagai
bentuk cinta yang membungakan sudut-sudut hatinya. Membawanya dalam lautan madu
keindahan. Untuk kemudian dicabut secara paksa dari hidupnya. Secara cepat dan
kejam, cukup kejam untuk meninggalkan bekas luka yang akan terus dibawa mati.
Mungkin dengan itulah ia mengenal bagaimana wajah sebenarnya
dari Kolonialisme, wajah sebenarnya dari dominasi dan hegemoni kekuasaan.
Mengenal bagaimana Bangsanya menderita dalam kelaparan, dalam kebodohan, dalam
tiga abad cengkraman dibawah kuku bangsa lain. Dengan itu dia mengenal dunianya,
Pergerakannya, Revolusinya, sejauh yang pikirannya dapat menjangkau. Mengenal
arus-arus perlawanan, dan spirit-spirit kemerdekaan para papa-tertindas.
Dia agak mirip denganku. Membayangkan bagaimana dia
melamun di dalam trem mungkin sama denganku yang melamun berjam-jam di bis.
Mungkin awalnya kegalauan-kegalauan kami hanya menyangkut cinta, rindu,
perempuan, dan hal-hal picisan yang lain. Namun seiring waktu,
pemikiran-pemikiran besar mulai menyerbu masuk melalui perenungan-perenungan
panjang yang melelahkan.
Aku punya Hipotesis dalam hati. bahwa cinta ternyata
dapat melahirkan ide-ide besar serupa kebebasan (Freedom), Kemerdekaan
(Independence), Perlawanan (Resistance), dan kesetiaan (Allegiance). Masa mudaku hampir berakhir, begitupun
kisah-kisah cinta selama periode 4 tahun kuliah ini memudar hingga sulit
diingat. Mereka-Dia-Semua yang cantik bersenyum menawan itu mulai perlahan
meninggalkan lamunanku. Digantikan ide-ide besar, tentang hal-hal besar pula.
Setelah ini aku jadi apa, aku sama sekali tidak tahu.
Mungkin memang benar, cinta itu melahirkan
orang-orang besar.
Entah.
TAS TERBARU
BalasHapusTas Selempang Pria Wanita
TAS RANSEL