Kamis, 25 Desember 2014

Proximity Warning

Sebuah Gang di Pinggir Paciran, 3 Oktober 2014

Jroning suka kudu eling lan waspada
               
Kebahagiaan, bagaimanapun bentuknya, selalu punya harga.
Mental seorang prajurit harus senantiasa waspada dalam keadaan apapun. tidur maupun terjaga, siang-malam, hujan maupun panas, disaat senang maupun susah. Namun, yang tersulit adalah menjaga diri agar tidak lengah saat kebahagiaan mencapai puncaknya.

      Agak lama aku ragu-ragu di mulut gang ini, sebelum akhirnya memutar gas menuntun valinor masuk. Berhenti di depan mushalla berkusen hijau bercat putih ini. yah, tidak ada salahnya untuk shalat dua rakaat disini. Ini adalah salah satu tempat dimana aku merasa paling dekat dengan hadirat Sang Pencipta. Cuman, waktu itu Dia sedang memelototiku. Ia memperingatkanku, tegas dan keras. Bahwa semua tawa, dan kebahagiaan yang kurasakan begitu membuncah, kelak punya harga.  yang harus dibayar.
        Selepas salam, kupejamkan mata. Memutar ingatan ke dua setengah tahun lalu.
****
       Magenta sore berarak di atas kami.  Saat itu mungkin aku tak pernah berpikir momen seperti ini akan tergantikan dalam tahun-tahun mendatang. Seharian dihabiskan untuk berkeliling menjajal berbagai wahana permainan. Kami pulang dengan puas. Tertawa riang bergandengan tangan. Bukhori dan sahrul masih saja merayu icha dengan lagu-lagu tak jelas. Di pintu keluar yang dijejali toko souvenir, beberapa orang menawari Ussy dengan produk teh hijau yang mahal. Ussy menepis dengan sok “maaf mas lagi nggak haus.” aku segera menghampiri dengan cibiran “kere ae kok guaya.. hooo” disambut oleh yani “Hooo...” disusul pardi “hooo...” dan hooo dari teman-teman yang lain segera menyusul menghujaninya. Merasa dianiyaya ia mendekat dan menggelendot pada wafa “mas wafa, arek-arek jahat.” Rengeknya. Aku mendekat dan merampas sandalnya, lalu berlari menjauh. Ia melotot dan mengejarku.
       Untuk setengah jam kemudian, hanyalah tawa dan tawa yang mengisi ruang sore itu. Kami seperti memilki semua waktu di dunia ini. akupun hampir sakit perut tertawa panuh kemenangan dengan serangkaian kejahilan yang berhasil terlaksana.
Tiba-tiba ruang dan waktu terasa hampa, aku tertarik dari wadahku, tawa tawa di sekitar tiba-tiba memudar, lalu bisu secara total, aku tuli mendadak. Semuanya masih bergerak normal, namun suara mereka hilang, MUTED! Aku berhenti bergerak, Shock! bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi.  Aku mengambil langkah agak menjauh dari mereka. Lalu menghadapkan wajah ke langit. Satu detik, dua detik, tiga detik...
DEG!
Dan peringatan itu datang. Tegas dan keras.
Dan suara-suara kembali normal.

Seketika aku memutuskan untuk menarik diri dari mereka. Kawan-kawan yang masih berada pada suasana riang  kembali mencandaiku. Tapi aku tak merespon. Argghh.. tiba-tiba aku jadi sangat sensitif. Sampai hampir cekcok dengan bukhori.
“Kalau buru-buru, sana Sholat Sendiri!!”
Semuanya diam selepas bentakan keras bukhori padaku. akupun diam, sadar kalau salah. Suasana riang sore itu rusaklah sudah.
“Aku jalan kaki saja.” Selorohku kemudian. Mengambil sandal dan melangkah menjauh.
“Eh, fiq tunggu, ayo kita cari len bareng-bareng, temen-temen juga sudah selesai foto-fotonya.” Wafa berusaha menetralisir suasana.
“Pean carikan teman-teman len buat balik, Aku jalan kaki saja bos..” sahutku sambil terus saja berjalan menjauh.
Melalui perasaan akau sedang mengira-ngira apa yang terjadi di belakangku. Mereka pasti berbisik satu sama lain. Heran mengapa aku bisa berubah begitu cepat. Sebagian kesal karena perbuatan egoisku. Tidak, bukan kalian yang salah, sekelebat barusan aku seperti melihat masa depan. Dan bayangannya sungguh tidak menyenangkan. Sungguh menggangguku. Kebahagiaan yang tiga hari ini kurasakan begitu besar, kuat dan membuncah. Bisa dikatakan, harga yang harus dibayar setelah ini sama besar, kuat, dan mahal.
Aku terus saja berjalan. Mengabaikan fakta bahwa kawan-kawanku ternyata mengikuti dengan berjalan kaki di belakang. Ah, dasar bandel, kenapa mereka tidak naik len saja seperti yang kusuruh. Hatiku sudah terlanjur sibuk. Sibuk beristighfar, sibuk menginsyafi kelalaianku barusan. Maaf kawan-kawan, aku tidak bermaksud untuk mengabaikan kalian. Tapi aku sedang melihat mendung merayap mendekati hatiku sekarang. Mendung ini, akan menutupi sore kita yang indah.
******
Shalat dua rakaat selesai. Aku bergegas menstarter valinor. Lalu memacunya keluar dari gang. Aku enggan jika sampai kebetulan rosyidah lewat dan memergokiku di musholla ini.  keluar ke jalan, belok kanan, tancap gas ke arah timur.
Gigi tiga, Valinor melaju stabil.
Ummi dulu sering memarahi jika aku dan iis (adikku) bercanda hingga kelewatan. Katanya setelah tertawa berlebihan, pasti akan ada tangis menyusul. Begitupun Ali Fadar yang selalu bergumam  setiap dia mengalami sesuatu yang menyenangkan. “kira-kira sebentar lagi ada kesusahan macam apa.” Ayah selalu memperingatkan untuk tidak merasa senang terlalu berlebihan. Rasulullah bersanda “Falyadhaku qaliilan walyabku katsiiran.” Tertawalah sekedar saja, dan kita lebih dianjurkan untuk banyak menangis. Semua itu benar, kawan. Karena sometimes, kebahagiaan sering mebuat kita lengah.  Sering membuat kita lupa. Kenangan di tempat ini memang begitu indah, namun itu juga mungkin segala pangkal keresahan yang kualami di tahun-tahun setelahnya.

Tapi aku selalu harus belajar berdiri, melanjutkan hidup.  


    

0 komentar :

Posting Komentar