Sebuah Gang di Pinggir Paciran, 3 Oktober
2014
Jroning
suka kudu eling lan waspada
Kebahagiaan,
bagaimanapun bentuknya, selalu punya harga.
Mental
seorang prajurit harus senantiasa waspada dalam keadaan apapun. tidur maupun terjaga,
siang-malam, hujan maupun panas, disaat senang maupun susah. Namun, yang
tersulit adalah menjaga diri agar tidak lengah saat kebahagiaan mencapai
puncaknya.
Agak
lama aku ragu-ragu di mulut gang ini, sebelum akhirnya memutar gas menuntun
valinor masuk. Berhenti di depan mushalla berkusen hijau bercat putih ini. yah,
tidak ada salahnya untuk shalat dua rakaat disini. Ini adalah salah satu tempat
dimana aku merasa paling dekat dengan hadirat Sang Pencipta. Cuman, waktu itu
Dia sedang memelototiku. Ia memperingatkanku, tegas dan keras. Bahwa semua
tawa, dan kebahagiaan yang kurasakan begitu membuncah, kelak punya harga. yang harus dibayar.
Selepas
salam, kupejamkan mata. Memutar ingatan ke dua setengah tahun lalu.
****
Magenta
sore berarak di atas kami. Saat itu
mungkin aku tak pernah berpikir momen seperti ini akan tergantikan dalam tahun-tahun
mendatang. Seharian dihabiskan untuk berkeliling menjajal berbagai wahana
permainan. Kami pulang dengan puas. Tertawa riang bergandengan tangan. Bukhori
dan sahrul masih saja merayu icha dengan lagu-lagu tak jelas. Di pintu keluar
yang dijejali toko souvenir, beberapa orang menawari Ussy dengan produk teh
hijau yang mahal. Ussy menepis dengan sok “maaf mas lagi nggak haus.” aku
segera menghampiri dengan cibiran “kere ae kok guaya.. hooo” disambut oleh yani
“Hooo...” disusul pardi “hooo...” dan hooo dari teman-teman yang lain segera
menyusul menghujaninya. Merasa dianiyaya ia mendekat dan menggelendot pada wafa
“mas wafa, arek-arek jahat.” Rengeknya. Aku mendekat dan merampas sandalnya,
lalu berlari menjauh. Ia melotot dan mengejarku.
Untuk setengah jam
kemudian, hanyalah tawa dan tawa yang mengisi ruang sore itu. Kami seperti
memilki semua waktu di dunia ini. akupun hampir sakit perut tertawa panuh
kemenangan dengan serangkaian kejahilan yang berhasil terlaksana.
Tiba-tiba ruang dan
waktu terasa hampa, aku tertarik dari wadahku, tawa tawa di sekitar tiba-tiba
memudar, lalu bisu secara total, aku tuli mendadak. Semuanya masih bergerak
normal, namun suara mereka hilang, MUTED! Aku berhenti bergerak, Shock!
bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi. Aku mengambil langkah agak menjauh dari
mereka. Lalu menghadapkan wajah ke langit. Satu detik, dua detik, tiga detik...
DEG!
Dan peringatan itu
datang. Tegas dan keras.
Dan suara-suara
kembali normal.
Seketika aku memutuskan
untuk menarik diri dari mereka. Kawan-kawan yang masih berada pada suasana
riang kembali mencandaiku. Tapi aku tak
merespon. Argghh.. tiba-tiba aku jadi sangat sensitif. Sampai hampir cekcok
dengan bukhori.
“Kalau buru-buru, sana
Sholat Sendiri!!”
Semuanya diam selepas
bentakan keras bukhori padaku. akupun diam, sadar kalau salah. Suasana riang
sore itu rusaklah sudah.
“Aku jalan kaki saja.”
Selorohku kemudian. Mengambil sandal dan melangkah menjauh.
“Eh,
fiq tunggu, ayo kita cari len bareng-bareng, temen-temen juga sudah selesai
foto-fotonya.” Wafa berusaha menetralisir suasana.
“Pean
carikan teman-teman len buat balik, Aku jalan kaki saja bos..” sahutku sambil
terus saja berjalan menjauh.
Melalui perasaan akau
sedang mengira-ngira apa yang terjadi di belakangku. Mereka pasti berbisik satu
sama lain. Heran mengapa aku bisa berubah begitu cepat. Sebagian kesal karena
perbuatan egoisku. Tidak, bukan kalian yang salah, sekelebat barusan aku seperti
melihat masa depan. Dan bayangannya sungguh tidak menyenangkan. Sungguh
menggangguku. Kebahagiaan yang tiga hari ini kurasakan begitu besar, kuat dan
membuncah. Bisa dikatakan, harga yang harus dibayar setelah ini sama besar,
kuat, dan mahal.
Aku terus saja
berjalan. Mengabaikan fakta bahwa kawan-kawanku ternyata mengikuti dengan
berjalan kaki di belakang. Ah, dasar bandel, kenapa mereka tidak naik len saja
seperti yang kusuruh. Hatiku sudah terlanjur sibuk. Sibuk beristighfar, sibuk menginsyafi
kelalaianku barusan. Maaf kawan-kawan, aku tidak bermaksud untuk mengabaikan
kalian. Tapi aku sedang melihat mendung merayap mendekati hatiku sekarang.
Mendung ini, akan menutupi sore kita yang indah.
******
Shalat dua rakaat
selesai. Aku bergegas menstarter valinor. Lalu memacunya keluar dari gang. Aku
enggan jika sampai kebetulan rosyidah lewat dan memergokiku di musholla
ini. keluar ke jalan, belok kanan,
tancap gas ke arah timur.
Gigi tiga, Valinor
melaju stabil.
Ummi dulu sering
memarahi jika aku dan iis (adikku) bercanda hingga kelewatan. Katanya setelah
tertawa berlebihan, pasti akan ada tangis menyusul. Begitupun Ali Fadar yang
selalu bergumam setiap dia mengalami
sesuatu yang menyenangkan. “kira-kira sebentar lagi ada kesusahan macam apa.”
Ayah selalu memperingatkan untuk tidak merasa senang terlalu berlebihan.
Rasulullah bersanda “Falyadhaku qaliilan walyabku katsiiran.” Tertawalah
sekedar saja, dan kita lebih dianjurkan untuk banyak menangis. Semua itu benar,
kawan. Karena sometimes, kebahagiaan sering mebuat kita lengah. Sering membuat kita lupa. Kenangan di tempat
ini memang begitu indah, namun itu juga mungkin segala pangkal keresahan yang
kualami di tahun-tahun setelahnya.
Tapi aku selalu harus
belajar berdiri, melanjutkan hidup.
0 komentar :
Posting Komentar