Langit Surabaya, 31 Desember 2013
Untuk Jurnalisme, Bendera
Kuning, KPI, dan Istiqomah
Bicaralah
padaku, Dlamir. atau apapun yang mau mendengarkanku. lampu kuning, ledakan
kembang api, bising keramaian ini. Lama
aku tidak mendengarkan suara terkecilmu. Terlalu larut dalam hingar bingar ini.
Tapi aku sepakat bahwa keempat kekuatan cinta itulah yang menopang hati ini,
membuatnya selalu tegar dan berbunga. Menorehkan lukisan indah di kanvas yang
kering, memberikan sentuhan simfoni
dalam sumbang. Mewarnai hidup kita yang tak berarti.
Karena
merekalah, kita hidup.
Semoga aku
tidak dikutuk karena melalaikan hakmu. Hak untuk dicintai dan mencintai. Jalan
cinta kita jangan harap seindah roman empat abad, atau puisi yang ditulis dalam
gulungan perkamen. Cinta kita mewakili zaman. Cinta yang tak sempat dikatakan
oleh mendung, pada hujan yang menghapusnya. Atau oleh ombak, pada karang yang
segera memecahnya. Sebisu para buih, pada air yang memusnahkannya.
Pada Ilmu,
Pilar kesatu. Cintailah kebijaksanaan, ketekunan, dan kekuatan untuk memahami.
Seribu orang bertombak dapat merobohkan sebuah benteng. Namun hanya seorang
agung yang memiliki visi, mampu membawa seluruh daratan menuju langit
pencerahan. Aku cinta setiap kata yang digoreskan dengan pena. Setiap mata yang
menari diantara aksara. Aku cinta setiap punggung yang tegak di hening malam. Setiap lingkaran duduk
di bawah kubah-kubah. Setiap kertas yang mengandung pengetahuan serupa emas.
Pada mereka keabadian disematkan. Pada mereka malaikat bersujud.
Pada
Umatmu, Pilar Kedua. Cintailah Pengorbanan, ketaatan, dan Keadilan untuk
berbuat. Peradaban hebat terdiri dari manusia cerdas tercerahkan, lumbung padi
yang kaya, air yang mengalir mengairi tanah-tanah. Buah dan biji-bijian yang
mekar sepanjang musim. Dibangun diatasnya menara-menara beratap marun.
Ukiran-ukiran bertahtakan logam dan permata. Namun hanya pemimpin sejati yang
memilikinya. Merangkul seluruh benua dalam pelukannya. Menjaganya dengan
sepenuh hati. Dialah tanah sesungguhnya tempat peradaban tumbuh. Aku cinta
setiap raja beruban yang terpekur di singgasananya. Aku cinta setiap Nabi yang
meneriakkan ummatnya di do’a-do’a mereka yang bisu. Aku cinta punggung-punggung
renta yang ditopang tongkat. Berjalan diantara debu. Untuk menyeka air mata
kaum papa. Aku cinta setiap kelopak mata yang membengkak memikirkan mereka.
Pada
Sahabatmu, Pilar ketiga. Cintailah persaudaraan, Empati dan Rasa Memiliki.
Pengetahuan akan memberimu Visi, kepemimpinan akan memberimu kekuatan. Namun
hanya persahabatan yang memberimu tawa bahagia, pelukan hangat sebuah keluarga.
Kekuatan akan memberimu pedang yang cemerlang untuk menebas rintangan.
Kehormatan akan memberimu Perisai di tengah pertempuran. Namun hanya
persaudaraan yang akan membebat lukamu. Menyeka air matamu. Mengobati
kesepianmu. Aku cinta setiap jabat dan gandeng tangan. Setiap senyum dan tegur
sapa. Aku cinta setiap roti yang dibagi tiga. Setiap pemberian dan janji untuk
saling menjaga Aku cinta setiap tepukan
di bahu. setiap curahan perasaan, dan telinga yang mendengarkannya.
Setiap tangis dan tawa dalam pelukan.
Pada
Istiqamah, Pilar keempat. Cintailah Kasih Sayang, Rindu, dan Kecemburuan. Hati
manusia sanggup menahan cobaan jutaan tahun. Atau mengarungi masa gelap. Kau
mungkin sanggup memikul peradaban. Mengikat jutaan pengetahuan. Mampu menguasai
separuh dunia. Namun hatimu tetaplah miliknya. Ingatlah wanginya yang membuatmu
sadar. Indah geraknya yang membuatmu insaf. Dan senyum cantiknya yang membuatmu
berjanji. Janji untuk menjaga semuanya. Dialah yang mengubahmu dalam
melangkahkan kaki. Tidak lagi dari pikiran, namun dari hati. Tidak lagi dengan
keinginan, namun dengan kesetiaan, tidak sekedar dengan ambisi dan semangat,
tapi juga dengan cinta. Aku cinta setiap hati yang merindukannya, dan magenta
langit yang melukiskan wajahnya. Setiap
gundah karenanya. Setiap pagi saat mengingatnya. Setiap detak jantung yang terpacu untuk
mengingatkan kehadirannya. Setiap kecemburuan yang ada hanya untuknya.
Maka
hatimu, akan benar-benar lengkap.
Ikatkan,
Dlamir! Cintamu pada ujung panah. Tembakkan ke angkasa. Ukir mereka di
pedang-pedang, semoga setiap denting beradu menjadi simfoni abadi. tancapkan
mereka di tanah-tanah tandus serupa tombak berbendera merah berlatar langit
biru. Maka mereka akan mewujud dalam dirimu. Membuahkan ketekunan, memupuk asa
dan menumbuhkan kebijaksanaan para nabi. Mereka ada. Pada tempatnya yang
sempurna. Sepertimu yang membawa asma Rahman di pundakmu. Bahwa kaulah yang
dinanti. Kaulah yang dirindukan. Kemudian saat tujuh zaman bertanya, berikan
senyum terbaik dan katakan.
Namaku Taufiq, Savior of the Merciful
It Started out with a
feeling...
Which than turn
into.. Hope
Which then turn into
a.. quiet though
Which then turn into
a quiet.. word
And then That word grew
louder, and Louder...
Till there’s a Battle
Cry...
You’ll comeback..
when they call you...
No need to say
goodbye
(Regina Spektor-The Call)
0 komentar :
Posting Komentar