Selasa, 18 Juni 2013

Tentang Mobil Ayah


Bondowoso, 31 Mei 2013
Macak serius, padahal g bisa nyetir
Flashback...
“Kalau sampai Zakaria beli mobil, berarti Allah benar-benar menunjukkan kebesarannya”
Aku agak tersedak mendengar ucapan kakek disela kesibukannya menyetir mobil yang sedang melaju. Disambut gumaman tak jelas para penumpang dibelakang. Ummi diam saja.
                Mau tertawa, takut kurang ajar, akhirnya aku Cuma batuk-batuk tak jelas saja. Ucapan kakek barusan.. muji ya iya, nyindir iya juga, meledek juga. Plus nyekak ummi yang dari tadi mengeluh soal biaya aku mau masuk kuliah. Oke, diputus dulu ceritanya.
Keluargaku, terutama dari pihak ibu, kental dengan adat madura. bisa dikatakan, aku lahir dari dua tipe lineage yang berbeda. Garis ayah dari kalangan ulama’ ber-trah nigrat darah biru atau apalah namanya, garis ibu keluarga ekonom mapan yang menjunjung tradisi pesantren. Keluarga besar kami merupakan komunitas dengan high culture dengan seabrek norma dan aturan. Nah, termasuk juga tempat duduk dalam mobil. Aneh, kan? Tapi percayalah, itu yang terjadi.
                Mulai dari depan, Sopir menempati posisi yang rendah. Walaupun menurutku dulu driver itu posisi yang keren. Ketika ada kunjungan keluarga, sopir wajib menunggu di mobil sampai acara selesai. Tidak boleh ikut ke dalam. Kursi depan kiri harus ditempati oleh laki-laki tertua dari rombongan. Biasanya kakek, sering juga Abi, paman sekali-sekali. Deret tengah menantu dari kalangan laki-laki plus anak dan cucu laki-laki. Baru kemudian bangku belakang diisi kaum perempuan. Begitu seterusnya secara ithlaqul jam’i.
                Haha, agak nerves juga saat umurku melewati 19 tahun, aku mulai diperbolehkan menduduki “singgasana” mobil keluarga ini. Rasanya sesuatu sekali. Lain dengan suasana dibelakang yang berdesak-desakan. Seperti saat ini. Karena kakek yang nyetir, Dan tidak ada anggota rombongan lain yang laki-laki, maka akulah yang duduk di “singgasana ” itu. Hey man look me rockin’ on... ^.^
                Flashforward...
    Kini aku duduk di halaman Black Pearl, memandangi Suzuki Carry extra 155 biru metalik terparkir manis di hadapanku.  Puji tuhan, ini hasil dari keegoisan pasangan suami istri paling ribut se jagat raya. Ayah ibuku. Keegoisan ibuku menghasilkan Black Pearl yang semakin kokoh, keegosian ayah menghasilkan si biru. Sekali lagi mereka mengajarkanku tentang proses. Semua berasal dari bawah. Dan kehidupan itu seperti roda. Baru kemarin rasanya kami berempat diseret dari rumah tetangga gara-gara terlalu lama numpang nonton tivi. Sedangkan dirumah tidak ada tivi. Sekarang, rumah kami yang makin lengkap. Tetangga kami yang makin ciut ekonominya.
                Rumah ini hasil kerja keras ummi, menyimpan rapat seluruh perhiasan yang dikumpulkannya sendiri. Menabung receh demi receh, berjalan berpanas-panasan dari toko bangunan satu ke toko bangunan lain menabung material. menyimpan gaji kecilnya di bawah kasur. Bermusim-musin ‘idul fitri beliau tidak ganti baju baru. yang penting, keempat anaknya bisa bergaya riang gembira keliling RT pamer baju baru (aku nggak teramasuk yang keliling RT lho, ya.). kalau ayah sih, bisa ngece tiap sholat ‘id karena ada stok hadiah dari orang kampung. Aku kadang-kadang juga kebagian punya ayah yang gak cocok. ‘terlalu muda’ katanya. Hihihi..
              Tapi Black Pearl sudah cukup kuceritakan di muka. Perasaanku kini tertuju pada kendaraan roda empat yang terparkir di depan rumahku.
                Allah... desahku. Membatin.
                Flashback...
              Aku sedang jalan jalan sore berdua dengan Ummi waktu itu. “Abi-mu mau beli mobil.” Kata beliau. “memang Abi punya uang berapa?” sahutku tak percaya. “dua juta setengah.” Spontan aku langsung terduduk memegang perut. Tertawa terbahak-bahak. Tapi beberapa hari kemudian, derungan mesin mobil tua terdengar dari halaman. Aku yang sedang memarut kelapa langsung berlari ke ruang tamu lalu terbelalak sambil tetap memegang parut. Ayah keluar dari pintu Daihatsu Hijet kuning kerontang. Sopirnya pamit menyerahkan kunci. Lalu dia senyum senyum sendiri memasuki ruang tamu lewat didepanku sambil memainkan ‘lempar-tangkap’ kunci mobil. Hiss..
             Hijet kuning itu usianya sudah kelewat udzur. Mungkin lebih tua dari kakekku. Mesinnya Cuma bertenaga dua silinder. Ibarat mesin sepeda motor membawa bodi mobil. Bajaj deh, ayah mengalami banyak kesulitan memegang mobil ini. Mobil ini rewel minta ampun. Untuk menghidupkannya perlu keahlian khusus. Knalpotnya sering terbatuk-batuk. Dulu setirnya pernah copot di tengah jalan. Membuat para penumpangnya menjerit ketakutan. Bodinya lucu mirip katak bungkuk. Aku merasa berdosa dulu tidak mau naik mobil ini gara-gara gengsi dilihat teman-temanku.    
          Akhirnya si Hijet kuning dilego ke pasar dengan harga rendah. Ayah pontang panting lagi mencari uang. Akhirnya, setelah beberapa tahun, ayah berhasil memboyong sebuah mobil ke halaman kami. Hijet lagi. Tapi yang lebih muda. Mesinnya meningkat jadi tiga silinder. Warnanya merah marun. Aku sering tidur di dalam mobil ini kalau mau sembunyi dari rumah. Mobil ini menemani perjuangan ayah membangun madrasah selama tiga setengah tahun. Yah, tidak ada sedetikpun hidup ayah yang tidak diisi perjuangan membangun madrasah, mengabdi ke masyarakat, serta mendidik anak –anaknya.
                Flashforward...
            Tidak salah kakekku dulu merelakan putrinya dinikahi pemuda kurus kerempeng tak punya pekerjaan dan rumah yang tetap itu. Toh masalah ekonomi dan rejeki itu mampu dihendel ayah dengan proses yang amat mengagumkan. Dulu, pakaianpun beliau pinjam, Kini dia menikmati tunggangan barunya. Si Carry biru. Mobil ketiga keluarga kami. Lebih gagah dan kuat.
            Hehey, bi.. katanya laki-laki itu baru keren kalau punya tunggangan. Akupun sudah punya tunggangan. Kuda hitam mengkilap pemberian kakek. Tapi untuk laki-laki seperti kita, tunggangan semata-mata bukan untuk bergaya. Namun, untuk menemani kita melaksanakan tugas. Artinya, dengan datangnya bala bantuan ini, Perjuangan kedepanpun akan semakin berat. Ibarat game kita diberi Power up  sebelum memasuki level dengan misi-misi yang berbahaya. Iya, kan Bi?
                Semoga kita selalu dalam lindungan Allah dalam menyusuri jalan-jalan hidup ini. Do’akan aku agar bisa jadi pengemudi sebaik dirimu. Mengemudikan diriku, kawan-kawanku, istriku, anak-anakku, keluargaku kelak.

                “cung... ayo cepat mandi. Kemaleman kamu sampai surabaya.”
                “iya mi..”

Well, shadowfax.. apa kabarmu di kejauhan? semoga kamu tidak kedinginan. Nanti malam aku sampai di Surabaya.

This.. ride.. that take us trough life,
Lead us trough the darkness and emerged into light
No one.. can ever slow us down...
We.. still... unbound...

0 komentar :

Posting Komentar