di masa krisis, setidaknya dua hal yang akan menjaga sebuah organisasi tetap bertahan.
Nilai Persahabatan, dan Hati
seorang pemimpin yang kuat.
Aku ragu kita punya yang pertama.
Dan jelas aku tahu kita tidak memiliki yang kedua.
Aku
agak risih memasuki bangunan villa sebelah tenggara khusus panitia dan tamu di
PKD 2013 ini. Karena mungkin disana hanya ada kerusuhan demi kerusuhan setiap
jamnya. Aku memilih mangkir dari pekerjaan. Tidak sok sibuk seperti MAPABA
dulu. Biarlah kelak aku dihujat sebagai orang yang tak peduli kesusahan teman,
tak punya rasa solidaritas, atau apalah... toh, kalaupun benar orang-orang di
villa itu menilai keadaan dengan terlebih dahulu memasang stigma buruk
terhadapku, Aku kerja sampai keluar darah pun tidak akan ada artinya. Lagipula,
aku sadar aku tidak punya kontribusi apa-apa bagi mereka. Jadi, terima sajalah.
Aku
memilih diam. mencari ketenangan di sudut jauh villa. Membiarkan kabut pegunungan
prigen memeluk tubuhku. Disana sudah ada Faid dan Azzam, dua Expert konsumsi
bertenaga yang mampu menyiapkan makanan untuk ratusan orang. Erlik, dewi dan
ayu tidak diragukan untuk memasakkan lauk yang enak untuk semua orang. Alfian
sudah lebih dari mampu mengatur segala urusan. Tidak membutuhkan aku lagi. sang
menteri keuangan, si cantik Nisa. Semua orang di tempat ini bergantung pada tas
kecilnya. mungkin otakku sudah tidak
mampu menggapai hitung-hitungan di kepalanya. Dan sang Pioner sejati untuk kedua
kalinya, Rio. Nampaknya di PKD ini dialah Man of the match. Kawan-kawanku...
kalian sudah berkembang pesat. Kalian tumbuh menjadi pioner-pioner hebat. Dan
ini baru permulaan.
Aku
sudah tua, ternyata. Old and Expired.
Kulangkahkan kaki ke
pinggir halaman. Menghampiri kepik tua yang hinggap di sebatang rumput tinggi.
teman-temanku sibuk, pak kepik... ujarku padanya. Bagaimana jika aku cerita
padamu saja. Si kepik melompat terbang dan hinggap di jaketku.
‘Aku penyuka teori
sosiolog Perancis, Emile Durkheim, pak kepik... dan mungkin apa yang
dikatakannya tentang Pembagian kerja di masyarakat. Kini terjadi pula di
angkatanku’. Tuturku sambil duduk
bersandar di pohon. ‘terlalu berlebihan jika aku mengaku-ngaku sebagai penjaga
persahabatan. Tapi, katakanlah itu bukan sebagai sebuah sesumbar. Namun sebuah
tekad. Tekad dari seorang tua yang tak punya hal lain lagi kecuali kalian
semua. Aku sudah pernah menyaksikan persahabatan yang berlangsung sangat manis crumble
before my eyes. Pecah menyisakan kebencian dan ktidakpedulian. Aku tidak
mau itu terjadi pada kalian. Aku tidak mau itu terjadi pada Angkatanku.
Aku selalu percaya,
Bahwa persahabatan sejati dibangun diatas tawa dan keakraban. Kemudian harus
diuji dengan konflik, keringat, dan air mata. Aku seperti gemetar sendiri saat
membaca sejarah angkatan kader-kader PMII diatas kita. Tiap detik mereka
dihajar ujian-ujian mengerikan. Tapi mereka yang survive, Keluar sebagai
pribadi-pribadi tangguh siap tempur. Aku
selalu melihat seorang sosok sentral diantara mereka. Seorang figur pemimpin.
Dia mampu memecah aral ditengah kebuntuan. Memompa semangat ditengah redup
keputus-asaan. Jadi yang berdiri disaat yang lain roboh. Jadi yang berani saat
yang lain takut. Jadi yang tersenyum saat yang lain bersedih. Aku? Ah, menyemangati
diri sendiri saja tidak mampu.
Dulu, mungkin kita
masih putra-putri ideologi yang baru menguncup mekar. Dengan ambisi yang sama,
semangat yang sama. Saat berkumpul dalam satu lingkaran, aku memandang rata
pada kalian semua. Kita teman, sahabat. Sebaya, senasib, sefakultas,
seideologi, dengan tujuan yang sama. Berproses dan belajar. Aku mengenal kalian
sebagai sahabat, tidak lebih. Aku mengenal Alfan sebagai Alfan. Khori sebagai
Khori. Romi sebagai Romi. Dzakir sebagai Dzakir. Yuni sebagai Yuni. Dian sebagai
Dian. Muklis sebagai Muklis. Eko sebagai Eko
Apakah akan terus
seperti itu? Tentu tidak. Kita tidak selamanya se- lagi.
Tamparlah jika aku
berlebihan, kawan. Tapi entah kenapa ada rasa cemas yang hebat merasukiku malam
itu saat kalian duduk melingkar. Ini baru pembagian kerja secara temporal
sebagai Ketua Panitia, Bendahara, Konsumsi, DPA, Protokuler dan sebagainya.
Kita sudah berani mengoreksi orang lain secara berlebihan. Kita tidak hanya
mengoreksi kinerja sahabat kita, bahkan terang-terangan mengoreksi kepribadian,
tata cara berperilaku, sikap, dan astagfirullah... kita bahkan menjastis
sahabat kita sendiri dengan kata-kata munafik, sombong, apatis, tidak tahu
diri, dan kata-kata menyakitkan lainnya.
Ini baru pembagian
kerja secara temporal.
Beberapa dari kita
sudah merasa lebih berjasa daripada beberapa yang lain. Beberapa dari kita
merasa lebih hebat dari beberapa yang lain. Tamparlah akau jika aku berlebihan,
kawan. Tapi aku melihat di villa bahtera hari-hari itu bukan sekumpulan kawan
yang bahu-membahu mengerjakan sesuatu bersama-sama. Namun, lebih pada
sekelompok pekerja pabrik yang pasti menimbulkan keributan saat salah seorang
pekerja lalai dalam tugasnya. Bukankah kita diajarkan untuk ikhlas? Bukankah
kita diajarkan untuk bekerja tanpa pamrih? Bukankah kita sama-sama paham,
perintah La Tubthilus shadaqaatikum bil manni wal ‘ada?. Bukankah sayang
sekali jika seluruh jerih payah kita bernilai nol di mata Allah gara-gara kita
yang mengungkit-ungkit. Apalagi dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan?
Ini baru pembagian
kerja secara temporal.
Isu-isu sektarian
mulai menguak ke permukaan. Perbedaan-perbedaan makin diperuncing. Ini orang
madura, ini orang jawa. Ini orang lapangan, ini orang teori. Ini yang pioner,
ini yang pekerja serabutan. Yang ini boleh dipuji sampai mabuk, Yang ini boleh
diinjak sampai remuk. Kemana ta’adul? Kemana tawazun? Kemana Tawassuth
dan Tasamuh? Kemana nilai-nilai yang diajarkan PMII pada kita?
Ini baru pembagian
kerja secara temporal.
Tamparlah jika aku
berlebihan, kawan. Tapi bagaimana jika kelak yang duduk di lingkaran kita
adalah Gubernur SEMA, ketua MHM, ketua HMJ, ketua Rayon, Pimpinan UKM? Akankah
kita mengenal sahabat kita seperti kita mengenalnya dahulu? Mampukah kita
menyingkirkan ego pribadi dan mendahulukan sahabat kita diatas semuanya.
Mampukah kita mengesampingkan ambisi pribadi dan memelihara kepentingan
kolektif?
Akankah angkatan kita
memasuki masa anomi dimana semua nilai dan ajaran dianggap omong kosong?
Akankah setiap dari kita mengambil kesempatan untuk mencapai elektabilitas
tertinggi? Saling membuktikan bahwa diri kitalah yang terbaik. Saling hujat dan
menjatuhkan orang lain? Saling rebut perhatian dan kekuasaan. Akankah kita
mampu mempertahankan nilai persahabatan seperti ini lagi?
Si kepik melesat
pergi.
Entah, Entah... seribu
kali entah.
This common place
is lazy, cold, and tied..
All my ideas are so
bleak, old, and expired...
Take more than one
idea, more than one person to fight the fight...
How many time did you
told me not conspired..?
0 komentar :
Posting Komentar