Senin, 27 Mei 2013

Division of Labour di Angkatan Kita


Villa Bahtera, Tretes Pasuruan, 17 Mei 2013

di masa krisis, setidaknya dua hal yang akan menjaga sebuah organisasi tetap bertahan.
Nilai Persahabatan, dan Hati seorang pemimpin yang kuat.
Aku ragu kita punya yang pertama. Dan jelas aku tahu kita tidak memiliki yang kedua.


           Aku agak risih memasuki bangunan villa sebelah tenggara khusus panitia dan tamu di PKD 2013 ini. Karena mungkin disana hanya ada kerusuhan demi kerusuhan setiap jamnya. Aku memilih mangkir dari pekerjaan. Tidak sok sibuk seperti MAPABA dulu. Biarlah kelak aku dihujat sebagai orang yang tak peduli kesusahan teman, tak punya rasa solidaritas, atau apalah... toh, kalaupun benar orang-orang di villa itu menilai keadaan dengan terlebih dahulu memasang stigma buruk terhadapku, Aku kerja sampai keluar darah pun tidak akan ada artinya. Lagipula, aku sadar aku tidak punya kontribusi apa-apa bagi mereka. Jadi, terima sajalah.
         Aku memilih diam. mencari ketenangan di sudut jauh villa. Membiarkan kabut pegunungan prigen memeluk tubuhku. Disana sudah ada Faid dan Azzam, dua Expert konsumsi bertenaga yang mampu menyiapkan makanan untuk ratusan orang. Erlik, dewi dan ayu tidak diragukan untuk memasakkan lauk yang enak untuk semua orang. Alfian sudah lebih dari mampu mengatur segala urusan. Tidak membutuhkan aku lagi. sang menteri keuangan, si cantik Nisa. Semua orang di tempat ini bergantung pada tas kecilnya.  mungkin otakku sudah tidak mampu menggapai hitung-hitungan di kepalanya. Dan sang Pioner sejati untuk kedua kalinya, Rio. Nampaknya di PKD ini dialah Man of the match. Kawan-kawanku... kalian sudah berkembang pesat. Kalian tumbuh menjadi pioner-pioner hebat. Dan ini baru permulaan.
           Aku sudah tua, ternyata. Old and Expired.
Kulangkahkan kaki ke pinggir halaman. Menghampiri kepik tua yang hinggap di sebatang rumput tinggi. teman-temanku sibuk, pak kepik... ujarku padanya. Bagaimana jika aku cerita padamu saja. Si kepik melompat terbang dan hinggap di jaketku.
‘Aku penyuka teori sosiolog Perancis, Emile Durkheim, pak kepik... dan mungkin apa yang dikatakannya tentang Pembagian kerja di masyarakat. Kini terjadi pula di angkatanku’. Tuturku sambil  duduk bersandar di pohon. ‘terlalu berlebihan jika aku mengaku-ngaku sebagai penjaga persahabatan. Tapi, katakanlah itu bukan sebagai sebuah sesumbar. Namun sebuah tekad. Tekad dari seorang tua yang tak punya hal lain lagi kecuali kalian semua. Aku sudah pernah menyaksikan persahabatan yang berlangsung sangat manis crumble before my eyes. Pecah menyisakan kebencian dan ktidakpedulian. Aku tidak mau itu terjadi pada kalian. Aku tidak mau itu terjadi pada Angkatanku.
Aku selalu percaya, Bahwa persahabatan sejati dibangun diatas tawa dan keakraban. Kemudian harus diuji dengan konflik, keringat, dan air mata. Aku seperti gemetar sendiri saat membaca sejarah angkatan kader-kader PMII diatas kita. Tiap detik mereka dihajar ujian-ujian mengerikan. Tapi mereka yang survive, Keluar sebagai pribadi-pribadi tangguh siap tempur.  Aku selalu melihat seorang sosok sentral diantara mereka. Seorang figur pemimpin. Dia mampu memecah aral ditengah kebuntuan. Memompa semangat ditengah redup keputus-asaan. Jadi yang berdiri disaat yang lain roboh. Jadi yang berani saat yang lain takut. Jadi yang tersenyum saat yang lain bersedih. Aku? Ah, menyemangati diri sendiri saja tidak mampu.
Dulu, mungkin kita masih putra-putri ideologi yang baru menguncup mekar. Dengan ambisi yang sama, semangat yang sama. Saat berkumpul dalam satu lingkaran, aku memandang rata pada kalian semua. Kita teman, sahabat. Sebaya, senasib, sefakultas, seideologi, dengan tujuan yang sama. Berproses dan belajar. Aku mengenal kalian sebagai sahabat, tidak lebih. Aku mengenal Alfan sebagai Alfan. Khori sebagai Khori. Romi sebagai Romi. Dzakir sebagai Dzakir. Yuni sebagai Yuni. Dian sebagai Dian. Muklis sebagai Muklis. Eko sebagai Eko
Apakah akan terus seperti itu? Tentu tidak. Kita tidak selamanya se- lagi.
Tamparlah jika aku berlebihan, kawan. Tapi entah kenapa ada rasa cemas yang hebat merasukiku malam itu saat kalian duduk melingkar. Ini baru pembagian kerja secara temporal sebagai Ketua Panitia, Bendahara, Konsumsi, DPA, Protokuler dan sebagainya. Kita sudah berani mengoreksi orang lain secara berlebihan. Kita tidak hanya mengoreksi kinerja sahabat kita, bahkan terang-terangan mengoreksi kepribadian, tata cara berperilaku, sikap, dan astagfirullah... kita bahkan menjastis sahabat kita sendiri dengan kata-kata munafik, sombong, apatis, tidak tahu diri, dan kata-kata menyakitkan lainnya.
Ini baru pembagian kerja secara temporal.
Beberapa dari kita sudah merasa lebih berjasa daripada beberapa yang lain. Beberapa dari kita merasa lebih hebat dari beberapa yang lain. Tamparlah akau jika aku berlebihan, kawan. Tapi aku melihat di villa bahtera hari-hari itu bukan sekumpulan kawan yang bahu-membahu mengerjakan sesuatu bersama-sama. Namun, lebih pada sekelompok pekerja pabrik yang pasti menimbulkan keributan saat salah seorang pekerja lalai dalam tugasnya. Bukankah kita diajarkan untuk ikhlas? Bukankah kita diajarkan untuk bekerja tanpa pamrih? Bukankah kita sama-sama paham, perintah La Tubthilus shadaqaatikum bil manni wal ‘ada?. Bukankah sayang sekali jika seluruh jerih payah kita bernilai nol di mata Allah gara-gara kita yang mengungkit-ungkit. Apalagi dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan?
Ini baru pembagian kerja secara temporal.
Isu-isu sektarian mulai menguak ke permukaan. Perbedaan-perbedaan makin diperuncing. Ini orang madura, ini orang jawa. Ini orang lapangan, ini orang teori. Ini yang pioner, ini yang pekerja serabutan. Yang ini boleh dipuji sampai mabuk, Yang ini boleh diinjak sampai remuk. Kemana ta’adul? Kemana tawazun? Kemana Tawassuth dan Tasamuh? Kemana nilai-nilai yang diajarkan PMII pada kita?
Ini baru pembagian kerja secara temporal.
Tamparlah jika aku berlebihan, kawan. Tapi bagaimana jika kelak yang duduk di lingkaran kita adalah Gubernur SEMA, ketua MHM, ketua HMJ, ketua Rayon, Pimpinan UKM? Akankah kita mengenal sahabat kita seperti kita mengenalnya dahulu? Mampukah kita menyingkirkan ego pribadi dan mendahulukan sahabat kita diatas semuanya. Mampukah kita mengesampingkan ambisi pribadi dan memelihara kepentingan kolektif?
Akankah angkatan kita memasuki masa anomi dimana semua nilai dan ajaran dianggap omong kosong? Akankah setiap dari kita mengambil kesempatan untuk mencapai elektabilitas tertinggi? Saling membuktikan bahwa diri kitalah yang terbaik. Saling hujat dan menjatuhkan orang lain? Saling rebut perhatian dan kekuasaan. Akankah kita mampu mempertahankan nilai persahabatan seperti ini lagi?
Si kepik melesat pergi.

Entah, Entah... seribu kali entah.


This common place is lazy, cold, and tied..
All my ideas are so bleak, old, and expired...
Take more than one idea, more than one person to fight the fight...
How many time did you told me not conspired..?

0 komentar :

Posting Komentar