Senin, 11 Maret 2013

Dari Infanteri Ke Kavaleri


Socah, 10 maret 2013
Aku mengelus-elus benda ini. Mirip orang gila.
Akhirnya, kuda pertamaku.
Avenger mati. Dicabut oleh sang penguasa karena tak sesuai lagi dengan inang tubuhnya. Bayangan tentang Devotion Knight yang akan kudapat jika saja aku lolos tes keistiqomahan memang jauh sekali dari sekedar angan-angan sekalipun. Badai pergulata batin memang mereda, walaupun belum sepenuhnya hilang. Luka masih lebar menganga. Antidote disuntikkan terus menerus. Membuat respon syaraf jadi kurang berfungsi dengan baik. Jadi yah.. raga ini seperti debu. jiwa ini seperti awan kelabu. Hitam tidak, putih pun bukan. Semua hal dalam hidup ini jadi berjalan tanpa arti.


            Tapi, setelah sekian lama seismograf hidup menuliskan gelombang datar, akhirnya Tuhan menorehkan segores getaran. Sedikit, Cuma patut disyukuri dengan sangat. Dan disinilah aku, menikmati terpaan angin pantai utara pulau madura. Tidak kusangka kakek berkenan Honda Supra tua warisan paman kuboyong ke surabaya. Warnanya hitam kelam. Aku beri dia nama Shadowfax. Kuda terbaik bangsa Rohirrin yang dikendarai penyihir putih Mithrandir.  
Kurasakan dadaku lapang sekali. Ini jarang terjadi. Bukan senang, tapi lapang. Entahlah, agak sulit dijelaskan. Pokoknya semua suasana ini, Deru mesin yang renyah, sejuk terpaan angin di wajah. Hamparan sawah hijau yang berlari di kiri dan riak ombak yang berlari di kanan memberikan ketentraman tersendiri. Aku berkendara di aspal ini, tidak lambat tidak cepat. mengunyah kilometer demi kilometer sendiri. Sesekali  berdendang ria seperti anak kecil. Berseru pelan saat terguncang diatas jalan bergelombang. Atau bersiul sambil menatap angkasa, mengusir kebosanan karena perjalanan jauh.
Kawan, ada saatnya kita bisa berhenti mengingat seberapa perih sebuah luka. Kita bisa melupakan sejenak seberapa berat sebuah beban. Walau sambil tetap memikulnya. Kita bisa berhenti mengingat masa lalu dan mempertimbangkan masa depan. Ada saat kita bisa mengingat fakta bahwa tuhan itu sangat baik. Dan Sialan! Dia memang baik sekali...
Bagaimana tidak! Aku sudah susah susah menata kesabaran saat melihat orang lain berkedara. Gagah dan tampan dengan Honda Vario, CBR, Revo, Supra-X 125nya. sedang kepala dan telapak kaki ini terbakar matahari karena berjalan kaki. Payah aku mensugesti diri ini bahwa kualitas kita tidak dilihat dari penampilan. Ataupun sepeda motor. Berusaha menghapus khayalan kelak aku bisa seperti mereka. Setelah Susah payah bersabar, bersyukur, menghibur diri sendiri, dan selalu meminggrikan rasa iri, eehhh.. tiba tiba dia mendudukkanku disini di jok sepeda motorku. Sepeda motorku sendiri. Nah, kan kawan?, si Tuhan sialan itu memang baik hati... Siaalaaaan...  Kurang Ajar! Dia pasti sedang tertawa menikmati ketololanku di bawah sini. Dia menang skak. Dia lenakan aku dengan Nikmat, aku harus terima kasih. Dia gencet aku dengan derita, lagi-lagi aku harus terima kasih. dasar Tuhan sialan!       
Aku akan mencatat hari ini. Di ingatanku. Matahari yang berpendar jingga di atas kilau logam. Perlahan turun mendekat ke pesisir awan pulau tercintaku. Sebentar lagi warna sore akan ditelan mendung. Penghujung pulau madura semakin dekat, dan Surabaya yang pekat diselimuti hujan mulai tampak di depan. Yah, kota itu memang penuh dengan  peperangan. Jihad setiap jiwa murni manusia untuk terbebas dari segala anasir debu dan kegelapan. Kotaku, pertempuranku. Tapi kini aku tak akan pernah sendiri lagi.
Kuturunkan penutup helmet, kuacungkan tangan kedepan. Dan kuputar gas kuat-kuat sambil berteriak. Shadowfax menderu keras, melesat ke dalam gelap. menerobos rintik hujan yang mulai menyerbu.  
“Ride On! Shadowfax! Tell them the mean of Fast!”


Looking ahead for the first time that we... could... drive...
out on our own... to speed away...

over that sidewalks... we running away from the street with you...
sidewalks... like the time we thought we pray... for you...

0 komentar :

Posting Komentar