Selasa, 19 Februari 2013

The Legend of Luthien, And The Rise of Black Swan


Suatu waktu di hutan yang Indah, SOJ KPI, Dan siksaan dimulai...

Bagiku dia tidak terlihat begitu nyata. 
Caranya nampak... diantara pohon-pohon itu, ditengah horizon fajar  itu...
Kupikir aku akan segera buta karena pesonanya.

Heran, aku yakin dia adalah Iis yang kukenal. Sahabat dekatku. Kami menghabiskan waktu bersama-sama. Tertawa. Saling menggojlok. Saling memukul bahu masing-masing tanpa ragu dan sungkan. Senyumnya sama. Pakaiannya sama. Hanya saja... dia tampak lebih sekarang. Senyumnya. Suaranya. Tawanya. Gerak tubuhnya. Tidak... bukan karena dia cantik. Dia cantik sudah dari dulu. Dia hanya tampak lebih... lebih berarti daripada sebelumnya. Semakin lama semakin berarti.
Aku berusaha mensugesti diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Itu hanya kesima sekejap yang akan pudar dimakan waktu. Seperti yang lainnya. Toh, aku sering mengalami hal ini setiap kepergok perempuan cantik semenjak pertama kuliah. Tapi, they’re all gone soon.
Ok taufiq, just take a sleep. And everything will be alright as the morning come
                Akupun tidur di tenda malam itu, mengabaikan tugas jaga.
Aku tidur, merasa, terbaring dan bermimpi seperti sedang berada di rumah. Namun, saat terjaga, warna biru tirai tenda menyambutku. Hari sudah siang. Subuh terlewat. Aku masih menunda untuk bangkit. Entah mengapa ingin berlama-lama menatap atap tenda itu. Semuanya tampak tidak begitu nyata. Hutan ini, SOJ KPI, Teman-temanku, Malang, Surabaya, IAIN Sunan Ampel, Aku seperti sedang melompat jauh dari kotak kehidupan lamaku. Aku merasa mimpiku barusan adalah dunia nyata. Dan ini adalah dunia semu.
                Yang pertama kucek adalah Emosi. Kuraba dadaku sendiri. Astaga, jantungku seperti mengedor-gedor keluar tulang rusukku. Beberapa rasa takut entah dari mana datangnya mulai menyergapku. Ini hari kedua. Sekarang mungkin sudah agak siang. Setelah itu sore setelah itu malam. Dan besok kami harus sudah mengepak pulang. Itu berarti liburan ini berakhir. Itu berarti teman-teman harus berpisah. Itu berarti aku harus berpisah dengan tema-teman. Itu berarti aku tidak akan melihat mereka lagi.
                Tapi, dulu juga begitu. Tapi rasa takutnya tak separah ini. Sampai-sampai tubuhku gemetar. Kuteliti lebih dalam..., Astaga! Puncak ketakutan terdalam ternyata aku takut tidak akan bertemu lagi dengannya.
                Aku bangkit setengah melenting dengan Nafas memburu. Kusibak tirai tenda, keluar dengan terburu-buru. Pandangan belum sempurna. Ingatan belum kembali utuh, tiba-tiba aku terpergok dengan sosok cemerlang itu. Nyaris menabrak.
                Ya allah mas, ndang adhus dhisik. Ambune lho gak karu-karuan. Katanya sambil berkacak pinggang. Dengan sorot mata jenaka. Guyonan harian seperti yang biasa kami lakukan. Aku biasanya membalas dengan guyonan yang akan membuatnya memukul bahuku. Tapi, tidak kulakukan. Aku malah lari sambil memengang separuh kepalaku. Menuju pojok lokasi hutan. Menjauh dari keramaian.
                Kuraba sekali lagi dadaku. Kali ini agak kebawah.
                Dan.. something that I feared the most, occured..
                God! Damn! Shit!
                Kenapa harus dia? Kenapa harus sahabat terbaikku? Oh, tidak.. parahnya lagi dia masih terhitung muridku. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya waktu itu juga.
Hari itu aku sadar. Sebuah mendung pekat sedang mendekat pada hatiku. Its really bad Omen, jauh di dalam sini, Sesuatu yang lama tertidur mulai menggeliat bangkit. Memberontak dari kerangkengnya. Berusaha membebaskan diri. Sesuatu yang lebih mengerikan dari apapun. Sesuatu yang berhasil kuikat setelah sembilan tahun berperang dengannya. Nameless fear, the essence of pain itself. The long-forgotten spirit. An evil Infestion, a Plagued, a deadly disease,
                We called it... Love

                Aku terduduk memegang pohon. Melempar pandangan jauh ke seluruh hutan. Dibawah sana. Dia muncul. Seolah dia bukan temanku yang kukenal. Seolah dia bukan penumpang yang naik dari surabaya bersamaku kemarin. Dia datang dari hutan ini. Kehadirannya, sewarna, senada, setema, dan seirama dengan hutan ini. Dan kehadirannya yang telah membangkitkan kekuatan itu. Membangunkannya.
                Kelak aku akan menyesali hari ini. Menyesali aku terbangun di pagi harinya. Menyesali mataharinya yang terbit. Menyesali anginnya yang bertiup. Menyesali waktunya yang berputar. Karena hari ini perasaan itu bangkit. Jauh lebih sakit, jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Hari ini, The Black Swan bangkit.
Bersiap Taufiq, Mulai hari ini, Siksaan dimulai...
               
                someday,
                I lay in this forest,
                And I saw her...
                Flower of all Leaves
                Gift of the nature
                Echantress of the wooden palace
                And Daughter.. of the starry sky,
                Beauty, Like an Ithilien Blossom...
                Swift, Like a North Springwind...
                She is.. The Princess Luthien of Tinuviel
               
               

0 komentar :

Posting Komentar