Rabu, 25
Januari 2012
Judul
diatas diambil dari musik orkestra gubahan Timothy Pinkham. Nadanya enak. Merdu
mendayu, setiap loncatan nadanya seperti menghibur diri ini. Memang
kupersiapkan untuk moment seperti ini. Selalu kudengarkan di bis saat
perjalanan pulang. Sesaat sebelum masuk perbatasan Situbondo-Bondowoso.
Dari
jauh, mereka sudah tampak. Hijau, Tegak, Membisu, garang, magis, misterius dan
diselimuti kabut.
Mereka adalah tembok abadi yang ditugaskan sang bumi untuk
menjaga kotaku. Benteng alami yang berbaris sepanjang puluhan kilometer. Dijaga
oleh barisan tentara yang tak pernah tidur, tak pernah beranjak satu sentipun
dari tempatnya berdiri. Tatapan imtimidatif mereka seolah mengingatkanku dan
seluruh penumpang bahwa kita hanya manusia kecil dan lemah yang bisa mereka
remukkan dengan mudah.
Mereka
bukan satu-satunya alasan aku sangat mencintai kota ini (sementara ini aku baru
bisa mencintai benda-benda saja, belum berani mencintai manusia). Airnya yang
sejuk. Kabut pagi yang membelai kulit. Dan Lukisan mendung dilangit. Semua itu
selalu membuatku rindu untuk pulang. Investor, Pemilik modal, Pengelola
pariwisata, Pebisnis Properti, mungkin akan menggeleng saat ditawari menanamkan
bisnisnya di kota ini. Yap, kotaku memang tak semaju yang lain. Tapi benar, aku
mencintainya apa adanya.
Kurapatkan
kancing jaket dan kugeser tempat duduk lebih ke jendela saat bis mulai
merangkak naik. Jalanan di atas bahu tentara-tentara ini dinamakan arak-arak.
Karena setiap kendaraan yang melintas harus menurunkan kecepatan hingga 20
Km/jam serta menggunakan gigi satu. Harus berjalan perlahan serta beriringan,
tidak boleh saling mendahului. Jalannya berkelok-kelok, dengan jurang disatu
sisi, dan tebing curam disisi lain. Sedikit saja pak supir melenceng dari
jalur, kita semua tamat.
Itu kata orang,
menurutku, dinamakan demikian karena
barisan pohon yang memanjang seperti
arak- arakan serdadu. Memasuki perbatasan ini, aku merasa seperti berjalan
diatas tembok agung kota Minas Tirith, kota para raja. Aku tersenyum pada
mereka. Dan mereka pun membalas dengan lambaian, tetap sama seperti dulu.
Welcomeback, Warrior…
Welcomeback…
Aku
memejamkan mata, memutar kembali ingatan 7 tahun lalu, saat pertama kalinya aku
memulai perjalanan menuntut ilmu. Kau tau rasanya sahabat? Sesuatu di dada
seperti dicabik keluar secara perlahan-lahan. Perih. Dibelakang sana adalah
rumah tempat aku dibesarkan. Dinaungi oleh energi kasih sayang dan kehangatan
yang tak terhingga. Tempat semua keceriaan dan tawa orang orang yang kucintai.
Dan di kota belakang sana pertama kalinya aku mengenalnya. Seseorang yang amat
ingin kumiliki… semua harus ditinggalkan.
Aku
adalah anak laki-laki, dan salah satu derita terberat anak laki-laki adalah tak
boleh menangis. Seluruh rasa sakit terpaksa diampat dalam bungkam. Tak
tersalurkan. Hanya bisa melayangkan tatapan kosong keluar jendela. Dan, saat
itulah aku mengenal mereka. Pohon-pohon itu, aku berbicara dengan salah satu
diantara mereka. Dia tidak menyebutkan namanya. Jadi aku memberinya nama yang
mirip dengan nama-nama bangsa Wose kuno dalam dongeng, Elimarandul Rithrandil,
hmm.. cukup bagus.
EL-Randril : kami diberitahu malaikat seseorang akan pergi menuntut
ilmu siang ini.
Siapa namamu, nak?
Aku :
Taufiq,
El- Randril : Kuberi Nasihat, mau?
Aku mengangguk
El-Randril :
bersyukurlah kau, punya mata dan kaki untuk menjelajah dunia. Memetik pelajaran
hidup
pada negeri-negeri nun jauh di depan. Lalu Meraih kebijaksanaan. Tidak seperti
kami yang terpaku di atas tanah. Hanya bisa menyaksikan dunia kalian di
ketinggian. Selama hidupku, aku sudah banyak melihat para pengembara memulai
perjalanannya, sepertimu. Mereka selalu pulang dengan banyak cerita.
Air, akan menggenang dan menjadi busuk jika tetap pada
tempatnya.
Anak Panah, tidak pernah berguna jika tidak lepas dari
busurnya.
Singa, akan mati jika ia tetap berada di sarangnya.
Begitupun dirimu…
Tentu Saja aku selalu merasa
tersanjung saat mereka berbaris menyambutku. Aku mencintai mereka. Yang paham
akan beratnya mengemban sebuah tugas suci. Tugasku tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan tugas mereka menjaga keseimbangan. Tanpa mereka, gunung ini
hanyalah sebuah benteng rapuh. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, kali ini
mereka menyambutku.
El-Randril : Apa kabarmu, pejuang? Cerita apa
yang kau bawa?
Aku : sebuah peperangan
besar, tapi bukan yang terbesar. Baru saja kumenangkan
El-Randril : Baiklah, ceritakan
Aku : Begini, beberapa hari
lalu….
wait new post
BalasHapussegera, makasih mb yus udah mau baca
BalasHapus