Selasa, 09 September 2014

Narasi Hidup (Interlude)

Jalan Tol Surabaya-Malang, 5 September 2014
             Sembilan jam perjalanan ke rumah
        Untung bis ini ada wi-fi nya. Haha, mujur. Bisa sambil buka-buka internet melihat koleksi backpack-nya  Zalora di situsnya Zalora Indonesia. Ah, ingin juga punya seri Planet Ocean seperti itu. Ekspedisi Muharram  kan sebulan lagi. aku harus menyiapkan semua perbekalannya. Tahun ini pasti spesial. Kembali ke laptop.
Aku jadi ingin membentuk  Narasi Hidup seperti Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhammad untuk Tempo. Tapi gimana ya, dulunya ini cuma sekedar curhat asal-asalan saja. Karakter tulisannya kocak dan menceritakan hal-hal remeh seputar pahit getir hidup di kampus. Yus dan lainnya bilang mereka sakit perut setelah membaca laporan WBL. Apalagi sampai pada insiden badthi yang menimpa Ussy dan Bos wafa. Semua begitu ceria dan semarak. Saat semua momen masih terasa begitu manis.
                

                Itu dulu. Belum, belum begitu lama.
                Lalu seiring waktu, tulisan –tulisan di Narasi Hidup berubah. It grows more desperate
               
Cak encing menyuruh kami untuk membuat tulisan apapun tentang diri kita sendiri. Habis akal, kuputuskan untuk menulis tentang keindahan eh, keanehan kota surabaya. Jadi. Kuberi judul City of Evil (gak kreatif banget ya.) dan tentu saja, Redaksi waktu itu samasekali buta bahasa inggris. Jadilah tulisanku cuma seharga sampah. Harusnya aku sadar. Sama seperti cerpenku “Salib Jatuh di Lembah Hittin.” Yang divonis oleh cak habib nyontek film Kingdom of Heaven. Benar-benar konyol. Orang itu mana ngerti beginian?
                Waktu itu juga, kami kru magang di sarankan bikin blog. Aku nurut, tapi tak tahu mau diisi apa. Jadi kupungutlah tulisan itu dari tempat sampah. Kuedit  seperlunya agar sesuai dengan bahasa para Blogger. Dan terbitlah tulisan pertama Narasi Hidup. Episode 10 September 2011, judulnya : Thousand Story From the City of Heroes. Setelah itu aku malas nulis. Satu semester terbit cuma dua kali. Untung laporan WBL terbit  sembilan pos sekaligus.
                Itu dulu, saat semua momen masih terasa manis.
 Tahun-tahun yang cerah tak berlangsung lama. and the years of watchful night, is coming.

Sekeluarnya  dari Arta. Aku limbung. Merasa kalau impian jadi penulis hebat yang kurangkai dengan penuh perjuangan sejak SMA, tamat. Aku anjlok. Terjungkal dari satu-satunya rel yang kupercaya dapat membawaku pada kenyataan yang kuimpikan. Aku kalap, Putus asa, kecewa dan sakit hati untuk pertama kalinya. And all those beautiful dreams, turns into a Nightmare.    
                Jadi waktu itu kubuang semua koleksi berita, Opini, artikel, dan makalah-makalah yang kukumpulkan selama jadi kru magang. Kubersihkan dari laptop, flash disk, memori hape, milik sendiri maupun yang minjem (astaga). Kulumat habis, kuludahi, kusemprot spiritus, lalu kubakar dengan penyemprot api tekanan tinggi yang kupinjam dari metal slug (sori lebay). Terlebih lagi, kubersihkan teori-teori jurnalistik  itu dari kepalaku. semua sampai bersih. Sih. Setelah itu aku jadi gila selama sepuluh hari.
                Setelah cukup waras untuk menerima kenyataan, aku mulai melihat laptop lagi. layarnya putih. Melihat cursor yang berkedap kedip memanggil, aku jadi tidak tega. Kuraba kembali keyboard
Dan mulai mengetik. Dengan persetan korelasi kalimat, persetan bahasa baku, persetan logika paragraf, persetan bias makna, serta persetan kesatuan argumen. Persetan juga cak habib dan seluruh pengurus Arta. Aku cuma ingin menulis. Entah nanti jadi apa. Tanganku bergerak sendiri. Lalu kepedihan-kepedihan itu tiba-tiba mencuat seperti kelelawar keluar gua. Berlompatan keluar kepala dan menempelkan diri di atas workspace  Ms Word, setelah susah payah diatur oleh kursor yang tak berhenti berkedip. Still, aku menganggap tulisan-tulisan ini bukan apa-apa. Cuma sampah otak.
                Aku kemudian sadar sehabis membaca tulisan Hilmy si kurus jenius itu bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Butuh beberapa bulan hingga kemudian aku move on. Jurnalistik boleh mati. Tapi Narasi Hidup adalah satu-satunya lilin yang harus kujaga agar tak padam. Berhasil. aku tetap menulis. Selepas gempa bumi itu datanglah tsunami menyusul kemudian topan—badai—puting beliung. Ternyata cobaan tidak berhenti sampai disitu. Kekanan dan kekiri aku dihempaskan. Pedih dan perih datang bergantian tanpa ampun. Kesepian dan kesunyian mencengkram tanpa jeda. Tapi aku tetap menulis, menulis! Bagaimanapun keadaannya. Sambil termenung, sambil menangis dalam diam, sambil berdoa,  sambil terkantuk-kantuk, sambil menjerit, bahkan aku menulis sambil menulis!  
                It grows more and more desperate

               Jadi kawan, aku bingung Narasi Hidup ini mau kuapakan nantinya. Tulisannya lucu mirip teenlit di awal-awal. Kemudian cengeng dan picisan di tengah-tengahnya. Tapi tak jarang pula penuh ibrah dan kebijaksanaan. Seiring perkembangan kedewasaan, Menyerbulah Filsafat dan premis-premis rumitnya. Dalam keadaan tenang, tampil Nuansa tasawuf. Lalu kadang menertawakan diri sendiri. Getir. Benar kata Karl Marx, sejarah selalu terulang. pertama sebagai sebuah tragedi, selanjutnya terasa seperti lelucon.

 Tuh, kan berfilsafat lagi...

                 

0 komentar :

Posting Komentar