Sembilan
jam perjalanan ke rumah
Untung bis ini ada wi-fi nya. Haha, mujur. Bisa sambil buka-buka internet melihat koleksi backpack-nya Zalora di situsnya Zalora Indonesia. Ah, ingin juga punya seri Planet Ocean seperti itu. Ekspedisi Muharram kan sebulan lagi. aku harus menyiapkan semua perbekalannya. Tahun ini pasti spesial. Kembali ke laptop.
Aku
jadi ingin membentuk Narasi Hidup
seperti Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhammad untuk Tempo. Tapi gimana ya,
dulunya ini cuma sekedar curhat asal-asalan saja. Karakter tulisannya kocak dan
menceritakan hal-hal remeh seputar pahit getir hidup di kampus. Yus dan lainnya
bilang mereka sakit perut setelah membaca laporan WBL. Apalagi sampai pada
insiden badthi yang menimpa Ussy dan Bos wafa. Semua begitu ceria dan semarak.
Saat semua momen masih terasa begitu manis.
Itu
dulu. Belum, belum begitu lama.
Lalu
seiring waktu, tulisan –tulisan di Narasi Hidup berubah. It grows more
desperate
Cak encing menyuruh kami untuk membuat
tulisan apapun tentang diri kita sendiri. Habis akal, kuputuskan untuk menulis
tentang keindahan eh, keanehan kota surabaya. Jadi. Kuberi judul City of
Evil (gak kreatif banget ya.) dan tentu saja, Redaksi waktu itu
samasekali buta bahasa inggris. Jadilah tulisanku cuma seharga sampah. Harusnya
aku sadar. Sama seperti cerpenku “Salib Jatuh di Lembah Hittin.” Yang divonis
oleh cak habib nyontek film Kingdom of Heaven. Benar-benar konyol. Orang itu
mana ngerti beginian?
Waktu
itu juga, kami kru magang di sarankan bikin blog. Aku nurut, tapi tak tahu mau
diisi apa. Jadi kupungutlah tulisan itu dari tempat sampah. Kuedit seperlunya agar sesuai dengan bahasa para
Blogger. Dan terbitlah tulisan pertama Narasi Hidup. Episode 10 September 2011,
judulnya : Thousand Story From the City of Heroes. Setelah itu aku malas
nulis. Satu semester terbit cuma dua kali. Untung laporan WBL terbit sembilan pos sekaligus.
Itu
dulu, saat semua momen masih terasa manis.
Tahun-tahun yang cerah tak berlangsung lama. and
the years of watchful night, is coming.
Sekeluarnya dari Arta. Aku limbung. Merasa kalau impian
jadi penulis hebat yang kurangkai dengan penuh perjuangan sejak SMA, tamat. Aku
anjlok. Terjungkal dari satu-satunya rel yang kupercaya dapat membawaku pada
kenyataan yang kuimpikan. Aku kalap, Putus asa, kecewa dan sakit hati untuk
pertama kalinya. And all those beautiful dreams, turns into a Nightmare.
Jadi
waktu itu kubuang semua koleksi berita, Opini, artikel, dan makalah-makalah
yang kukumpulkan selama jadi kru magang. Kubersihkan dari laptop, flash disk,
memori hape, milik sendiri maupun yang minjem (astaga). Kulumat habis,
kuludahi, kusemprot spiritus, lalu kubakar dengan penyemprot api tekanan tinggi
yang kupinjam dari metal slug (sori lebay). Terlebih lagi,
kubersihkan teori-teori jurnalistik itu dari kepalaku. semua sampai bersih. Sih.
Setelah itu aku jadi gila selama sepuluh hari.
Setelah
cukup waras untuk menerima kenyataan, aku mulai melihat laptop lagi. layarnya
putih. Melihat cursor yang berkedap kedip memanggil, aku jadi tidak tega.
Kuraba kembali keyboard
Dan mulai mengetik. Dengan persetan
korelasi kalimat, persetan bahasa baku, persetan logika paragraf, persetan bias
makna, serta persetan kesatuan argumen. Persetan juga cak habib dan seluruh
pengurus Arta. Aku cuma ingin menulis. Entah nanti jadi apa. Tanganku bergerak
sendiri. Lalu kepedihan-kepedihan itu tiba-tiba mencuat seperti kelelawar
keluar gua. Berlompatan keluar kepala dan menempelkan diri di atas workspace
Ms Word, setelah susah payah diatur
oleh kursor yang tak berhenti berkedip. Still, aku menganggap tulisan-tulisan
ini bukan apa-apa. Cuma sampah otak.
Aku
kemudian sadar sehabis membaca tulisan Hilmy si kurus jenius itu bahwa menulis
adalah bekerja untuk keabadian. Butuh beberapa bulan hingga kemudian aku move
on. Jurnalistik boleh mati. Tapi Narasi Hidup adalah satu-satunya lilin
yang harus kujaga agar tak padam. Berhasil. aku tetap menulis. Selepas gempa
bumi itu datanglah tsunami menyusul kemudian topan—badai—puting beliung.
Ternyata cobaan tidak berhenti sampai disitu. Kekanan dan kekiri aku
dihempaskan. Pedih dan perih datang bergantian tanpa ampun. Kesepian dan
kesunyian mencengkram tanpa jeda. Tapi aku tetap menulis, menulis! Bagaimanapun
keadaannya. Sambil termenung, sambil menangis dalam diam, sambil berdoa, sambil terkantuk-kantuk, sambil menjerit,
bahkan aku menulis sambil menulis!
It
grows more and more desperate
Jadi
kawan, aku bingung Narasi Hidup ini mau kuapakan nantinya. Tulisannya lucu mirip
teenlit di awal-awal. Kemudian cengeng dan picisan di tengah-tengahnya.
Tapi tak jarang pula penuh ibrah dan kebijaksanaan. Seiring perkembangan
kedewasaan, Menyerbulah Filsafat dan premis-premis rumitnya. Dalam keadaan
tenang, tampil Nuansa tasawuf. Lalu kadang menertawakan diri sendiri. Getir.
Benar kata Karl Marx, sejarah selalu terulang. pertama sebagai sebuah tragedi,
selanjutnya terasa seperti lelucon.
Tuh, kan berfilsafat lagi...
0 komentar :
Posting Komentar