Bondowoso, 1Syawal 1435 H.
The siege is done,but the war.. is far from
Over
Disini, pada pusara satu
setengah meter, pada batu dan kerak lumut, terbaring RS. KHL. Shanhaji Yusuf. Tulisan itu perlu
kugosok beberapa kali agar tampak lebih jelas. Sama seperti snapshot memori
yang tiba-tiba terlintas saat aku membuat tulisan itu. Delapan tahun lalu. Saat
membersihkan pesarean ini bersama
ayah. Empat hari sebelum idul fitri.
Kuburan
ini adalah pilihan yang jarang akan orang kunjungi di hari bahagia ini. Saat
moment bahagia tak tergantikan bersama keluarga. Yah, begitulah manusia, kawan.
Selalu mengagumi bunga, tapi lupa pada akar. Cinta pada dinding-dinding
berukir, namun lupa pada fondasi di bawah tanah. Mengejar kupu-kupu namun menjauhi
ulat. Mengingat kemengangan namun melupakan pertumpahan darah.
Hari
ini jam delapan pagi di tanggal 28 Juli 2014. Shalat ‘id selesai dilaksanakan
bersamaan dengan sirine kota yang melengking tinggi tiga kali. Serta cahaya
jingga yang perlahan menghangat. Gema takbir masih lantang terdengar di langit.
Sayup-sayup diatara kubah dan menara. Dan
orang-orang itu melangkah keluar dari
masjid seolah mereka baru keluar dari rahim ibu-ibu mereka. Cerah berseri-seri.
Satu sama lainnya akan saling melempar senyum. Saling memeluk,menepuk bahu dan
berjabat tangan. Dan itu.. tidak hanya sebuah jabat tangan. Setiap satu
diantaranya, mengencangkan rantai pengikat agama ini. Dan itu, bukan hanya
telapak tangan manusia, namun ide-ide kemanusiaan, persaudaraan, persahabatan,
cinta dan kasih sayang.diikat dengan norma religiusitas, iman, dan ketakwaan
sedang berdialog dan semakin insaf dalam ketundukan mereka pada sang Ide
Absolut.
Masyarakat
yang kuat, kawan.. satu-satunya yang membuat Rasulullah bangga dengan kita.
Aku?
Entahlah sedang bahagia atau sedih. Namun situasi saat ini mendorong roda
tafakkur dalam jiwaku terus-terusan
berputar. Layaknya lubang yang menerima deras pusaran air, begitulah
kesadaran-kesadaran baru mengalir deras kedalam qalbu. Membuatku kadang harus
jungkir balik menjaga agar jiwaku tidak shock.
Kadang harus melompat-lompat. Kadang
harus berjalan berputar-putar, kerap
juga harus menenggak air banyak-banyak. Saat kebenaran-kebenaran baru
tersingkap, aku selalu kembali ke sudut-sudut hening. Tempat pikiran ini bebas
kulepas kemanapun ia akan terbang.
Sekarang aku
tahu rasanya saat rasullullah menerima wahyu
ilahiyah.
Secara
hukum.beliau adalah kakekku. Tiri. Ayahku adalah putera angkatnya. Makamnya
tampak paling menonjol di seluruh kompleks karena dilantai khusus dan dipagari.
Semacam teras ubin terhampar di sekitarnya untuk para peziarah. Letaknya di
sebelah timur, seberang jalan depan masjid. Terletak di tanah yang lebih
tinggi. Dari sani bisa kulihat cungkup masjid dengan hiasan pengera suara yang
sejak tadi malam mengumandangkanm takbir. Beliau yang membangunnya. Ayahku yang
meneruskannya. Secara teknis, mereka berdua membangun dan merawat masjid. Dalam
substansinya, mereka berdua membangun dan memberdayakan masyarakat yang kuat.
Yang diimpikan Rasulullah sebagai Khairu
Ummah.
Hebatnya
islam, hebatnya sang utusan, dan hebatnya mereka, para pembawanya. Merekahkan
jutaan senyum. Menyambungkan banyak yang terputus. Mengobati dalam yang
terluka. Merekatkan luas yang terpecah-pecah. Dan menerangi begitu yang gulita.
Menara-menara dan kubah emas itu… yang berkilauan diterpa mentari pagi adalah
jawaban untuk mereka. Dari putaran tasbih dan kelumat kamit doa-doa yang
dipanjatkan. Sebuah mahakarya. Serta lencana atas pengabdian dan keberhasilan mereka.
melaksanakan tugas dan tanggung jawab.dan apa yang lebih mulia daripada itu
semua?
Aku
pernah merasakannya, kawan... kebahagiaan ketika semua tugas dan tanggung
jawab selesai di laksanakan. Tugas kuliah, tahapan organisasi, Praktek magang
sebulan yang menguras tenaga dan pikiran. Semuanya terasa ringan saat berhasil
diselesaikan dengan baik. Maka aku tidak bisa membayangkan setentram apa beliau
di dalam sana. Di mataku, beliau menikmati peristirahatannya layaknya seorang
yang tidur siang diatas balai-balai dibawah naungan pohon randu ini. Dibelai
dengan angin yang membawa wangi cempaka.
Ah, Rabb.. aku pun ingin seperti itu.
Mungkin..ini
jawabannya. Banyak perjalanan ditempuh, pertanyaan-pertanyaan diajukan.
Berbagai proses pencarian Jati Diri. Akhirnya, memang Jalanku tidak pernah jauh
dari sini. Rama telah purnatugas, ayah telah separuh menyelesaikan tugasnya.
Membangun masyarakat, menyemarakkan syiar-syiar keagamaan. Pendidikan berbasis
agama, mengajarkan persaudaraan, cinta kasih, empati, bersama menjaga kerukunan
dan persatuan. Menyibukkan mereka dengan kegiatan-kegiatan sosial. Gotong
royong. Tawashau bis-shabri, tawashau bil Haqqi. Amar Makruf Nahi Munkar, serta tolong
menolong dalam kebaikan. Lalu… sebentar lagi tiba giliranku.
Aku
meraup tanah pemakaman itu. Menciumnya
saat butiran tanahnya jatuh dari sela-sela jariku. inilah jalanku. Aku harus
berhenti menangis. Berhenti kalut dan cengeng. Harus mulai menanam Meneruskan
apa yang telah mereka bangun, bata demi bata, kayu demi kayu. Meski harus
kurekatkan dengan darah, keringat, dan air mataku. Aku tumbuh disini dan kelak,
akupun akan mati disini, berharap bisa menikmati tidur siang seperti beliau.
Sebelum nanti dipanggil ke hadirat ilahi untuk mempertanggung jawabkan amanah
mahaberat ini.
Aku
berdiri, mengakhiri sesi nyekar pagi
itu. Melangkah pergi. Diiringi keresak daun jati dibawah kakiku.
Ya
Rabb.. kuharap aku bisa berbaring disamping beliau. Saat purna tugas kelak.
You and me.. will all go down in history..
With the.. sad statue Liberty
And the generations that didn’t agree..
0 komentar :
Posting Komentar