Rabu, 30 Juli 2014

Pledged Allegiance...



Bondowoso, 1Syawal 1435 H.
The siege is done,but the war.. is far from Over

Disini, pada pusara satu setengah meter, pada batu dan kerak lumut, terbaring  RS. KHL. Shanhaji Yusuf. Tulisan itu perlu kugosok beberapa kali agar tampak lebih jelas. Sama seperti snapshot memori yang tiba-tiba terlintas saat aku membuat tulisan itu. Delapan tahun lalu. Saat membersihkan pesarean ini bersama ayah. Empat hari sebelum idul fitri.

Kuburan ini adalah pilihan yang jarang akan orang kunjungi di hari bahagia ini. Saat moment bahagia tak tergantikan bersama keluarga. Yah, begitulah manusia, kawan. Selalu mengagumi bunga, tapi lupa pada akar. Cinta pada dinding-dinding berukir, namun lupa pada fondasi di bawah tanah. Mengejar kupu-kupu namun menjauhi ulat. Mengingat kemengangan namun melupakan pertumpahan darah.
Hari ini jam delapan pagi di tanggal 28 Juli 2014. Shalat ‘id selesai dilaksanakan bersamaan dengan sirine kota yang melengking tinggi tiga kali. Serta cahaya jingga yang perlahan menghangat. Gema takbir masih lantang terdengar di langit. Sayup-sayup diatara kubah dan menara.  Dan orang-orang itu  melangkah keluar dari masjid seolah mereka baru keluar dari rahim ibu-ibu mereka. Cerah berseri-seri. Satu sama lainnya akan saling melempar senyum. Saling memeluk,menepuk bahu dan berjabat tangan. Dan itu.. tidak hanya sebuah jabat tangan. Setiap satu diantaranya, mengencangkan rantai pengikat agama ini. Dan itu, bukan hanya telapak tangan manusia, namun ide-ide kemanusiaan, persaudaraan, persahabatan, cinta dan kasih sayang.diikat dengan norma religiusitas, iman, dan ketakwaan sedang berdialog dan semakin insaf dalam ketundukan mereka pada sang Ide Absolut.
Masyarakat yang kuat, kawan.. satu-satunya yang membuat Rasulullah bangga dengan kita.

Aku? Entahlah sedang bahagia atau sedih. Namun situasi saat ini mendorong roda tafakkur dalam  jiwaku terus-terusan berputar. Layaknya lubang yang menerima deras pusaran air, begitulah kesadaran-kesadaran baru mengalir deras kedalam qalbu. Membuatku kadang harus jungkir balik menjaga agar jiwaku tidak shock.  Kadang harus melompat-lompat. Kadang harus berjalan berputar-putar, kerap  juga harus menenggak air banyak-banyak. Saat kebenaran-kebenaran baru tersingkap, aku selalu kembali ke sudut-sudut hening. Tempat pikiran ini bebas kulepas kemanapun ia akan terbang.
Sekarang aku tahu rasanya saat rasullullah menerima wahyu ilahiyah.
Secara hukum.beliau adalah kakekku. Tiri. Ayahku adalah putera angkatnya. Makamnya tampak paling menonjol di seluruh kompleks karena dilantai khusus dan dipagari. Semacam teras ubin terhampar di sekitarnya untuk para peziarah. Letaknya di sebelah timur, seberang jalan depan masjid. Terletak di tanah yang lebih tinggi. Dari sani bisa kulihat cungkup masjid dengan hiasan pengera suara yang sejak tadi malam mengumandangkanm takbir. Beliau yang membangunnya. Ayahku yang meneruskannya. Secara teknis, mereka berdua membangun dan merawat masjid. Dalam substansinya, mereka berdua membangun dan memberdayakan masyarakat yang kuat. Yang diimpikan Rasulullah sebagai Khairu Ummah.

Hebatnya islam, hebatnya sang utusan, dan hebatnya mereka, para pembawanya. Merekahkan jutaan senyum. Menyambungkan banyak yang terputus. Mengobati dalam yang terluka. Merekatkan luas yang terpecah-pecah. Dan menerangi begitu yang gulita. Menara-menara dan kubah emas itu… yang berkilauan diterpa mentari pagi adalah jawaban untuk mereka. Dari putaran tasbih dan kelumat kamit doa-doa yang dipanjatkan. Sebuah mahakarya. Serta lencana atas pengabdian dan keberhasilan mereka. melaksanakan tugas dan tanggung jawab.dan apa yang lebih mulia daripada itu semua?
Aku pernah merasakannya, kawan...  kebahagiaan ketika semua tugas dan tanggung jawab selesai di laksanakan. Tugas kuliah, tahapan organisasi, Praktek magang sebulan yang menguras tenaga dan pikiran. Semuanya terasa ringan saat berhasil diselesaikan dengan baik. Maka aku tidak bisa membayangkan setentram apa beliau di dalam sana. Di mataku, beliau menikmati peristirahatannya layaknya seorang yang tidur siang diatas balai-balai dibawah naungan pohon randu ini. Dibelai dengan angin yang membawa wangi cempaka.  Ah, Rabb.. aku pun ingin seperti itu.
Mungkin..ini jawabannya. Banyak perjalanan ditempuh, pertanyaan-pertanyaan diajukan. Berbagai proses pencarian Jati Diri. Akhirnya, memang Jalanku tidak pernah jauh dari sini. Rama telah purnatugas, ayah telah separuh menyelesaikan tugasnya. Membangun masyarakat, menyemarakkan syiar-syiar keagamaan. Pendidikan berbasis agama, mengajarkan persaudaraan, cinta kasih, empati, bersama menjaga kerukunan dan persatuan. Menyibukkan mereka dengan kegiatan-kegiatan sosial. Gotong royong. Tawashau bis-shabri, tawashau bil Haqqi. Amar Makruf Nahi Munkar, serta tolong menolong dalam kebaikan. Lalu… sebentar lagi tiba giliranku.
Aku meraup tanah pemakaman itu.  Menciumnya saat butiran tanahnya jatuh dari sela-sela jariku. inilah jalanku. Aku harus berhenti menangis. Berhenti kalut dan cengeng. Harus mulai menanam Meneruskan apa yang telah mereka bangun, bata demi bata, kayu demi kayu. Meski harus kurekatkan dengan darah, keringat, dan air mataku. Aku tumbuh disini dan kelak, akupun akan mati disini, berharap bisa menikmati tidur siang seperti beliau. Sebelum nanti dipanggil ke hadirat ilahi untuk mempertanggung jawabkan amanah mahaberat ini.  
Aku berdiri, mengakhiri sesi nyekar pagi itu. Melangkah pergi. Diiringi keresak daun jati dibawah kakiku.

Ya Rabb.. kuharap aku bisa berbaring disamping beliau. Saat purna tugas kelak.


You and me.. will all go down in history..
With the.. sad statue Liberty
And the generations that didn’t agree..

0 komentar :

Posting Komentar